03 Juli 2009

NILAI EKONOMI PENDIDIKAN TINGGI

A. Pendahuluan
Di antara sekian banyak agenda pembangunan bangsa, pendidikan merupakan salah satu agenda penting dan strategis yang menuntut perhatian sungguh-sungguh dari semua pihak. Sebab, pendidikan adalah faktor penentu kemajuan bangsa di masa depan. Jika kita, sebagai bangsa, berhasil membangun dasar-dasar pendidikan nasional dengan baik, maka diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kemajuan di bidang-bidang yang lain. Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi modal manusia (human investment), yang akan menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa.
Bangsa-bangsa maju di dunia pasti ditopang oleh SDM berkualitas, sehingga memiliki keunggulan hampir di semua bidang, termasuk ekonomi. Menurut sejumlah ahli, krisis ekonomi yang demikian dahsyat yang melanda Indonesia, selain disebabkan oleh faktor-faktor teknis ekonomi, juga dikarenakan terbatasnya SDM yang kita miliki. Padahal SDM yang berkualitas merupakan unsur penting dalam membangun daya tahan (ekonomi) bangsa. Krisis akut sekarang ini seolah menegaskan dan semakin meyakinkan kita, betapa faktor SDM itu amat vital. Pendidikan merupakan salah satu elemen paling penting dalam SDM.
Terlebih lagi memasuki abad ke-21 yang ditandai oleh proses globalisasi, dengan persaingan yang sangat ketat, maka bangsa Indonesia dituntut untuk menyiapkan SDM berkualitas yang memiliki keunggulan kompetitif. Semua itu hanya bisa diperoleh melalui pendidikan yang bermutu. Dengan demikian, pendidikan yang baik dan bermutu merupakan conditio sine quanon bagi upaya memenangkan kompetisi global.
Dalam teori pembangunan konvensional, masalah SDM belum mendapat perhatian secara proporsional. Teori ini masih meyakini bahwa sumber pertumbuhan ekonomi itu terletak pada konsentrasi modal fisik (physical capital) yang diinvestasikan dalam suatu proses produksi seperti pabrik dan alat-alat produksi. Modal fisik termasuk pula pembangunan infrastruktur seperti transportasi, komunikasi, dan irigasi untuk mempermudah proses transaksi ekonomi. Namun, belakangan terjadi pergeseran teori pembangunan, bahwa yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi justru faktor modal manusia (human capital) yang bertumpu pada pendidikan. Pendidikan mempunyai nilai ekonomi yang demikian tinggi, sampai-sampai MJ Bowman (1996) menyebut the human investment revolution in economic thought.
Pergeseran teori ini terjadi bersamaan dengan pergeseran paradigma pembangunan, yang semula bertumpu pada kekuatan sumber daya alam (natural resource based), kemudian berubah menjadi bertumpu pada kekuatan sumber daya manusia (human resource based) atau lazim pula disebut knowledge based economy. Pergeseran paradigma ini makin menegaskan, betapa aspek SDM bernilai sangat strategis dalam pembangunan. Tidak terkecuali SDM yang berasal dari lulusan perguruan tinggi.
Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk menguraikan topik tentang nilai ekonomi pendidikan tinggi dengan terlebih dahulu menjelaskan tentang pendidikan sebagai sebuah investasi, konsep nilai ekonomi, dan nilai ekonomi pendidikan tinggi.
B. Pendidikan sebagai Investasi
Pendidikan merupakan barang investasi (invesment goods) yang berarti sejumlah pengeluaran untuk mendukung pendidikan yang dilakukan orang tua, masyarakat dan pemerintah dalam jangka pendek untuk mendapatkan manfaat dalam jangka panjang. Keluarga, masyarakat dan pemerintah rela melakukan pengorbanan untuk kepentingan pendidikan demi manfaat dimasa depan.
Pengelola pendidikan adalah pihak yang terkait langsung dengan proses pendidikan. Pendidikan tidak ubahnya dengan proses produksi yang bergerak untuk merubah serangkaian sumber-sumber menjadi output atau keluaran. Dengan demikian proses pendidikan adalah tindakan merubah sumber-sumber pendidikan menjadi keluaran pendidikan.
Pendidikan berbasis pemerintah, dan pendidikan berbasis masyarakat serta keluarga merupakan pengelola pendidik yang sesungguhnya terjadi di negeri ini. Pengelola-pengelola inilah yang melakukan proses pendidikan. Pengelola pendidikan dalam nlelakukan proses pendidikan menghadapi berbagai masalah antara lain, Pertama, keluaran pendidikan yang bagaimana yang dikehendaki. Kedua, sumber-sumber pendidikan dan kombinasi yang bagaimana yang diperlukan. Biasanya pengelola pendidikan memiliki tujuan yang tidak jauh berbeda dengan pengelola bisnis pada umumnya
Pendidikan sebagai suatu lembaga tidak langsung menghasilkan produk tetapi terjadi melalui usaha pemberian jasa baik oleh tenaga pengajar, administrasi maupun pengelola. Keluaran pendidikan bukan barang yang dapat di konsumsi bersamaan dengan waktu dihasilkan, bukan sesuatu yang berwujud. Berbagai definisi diberikan tentang jasa pelayanan, salah satu diantaranya mengatakan bahwa usaha pelayanan jasa adalah suatu perbuatan dari satu orang/kelompok menawarkan kepada orang lain/kelompok, sesuatu yang tidak berwujud, produknya berkaitan atau tidak dengan fisik produk (Kotler 2000), karena itulah dapat dikatal:an bahwa pendidikan adalah suatu usaha yang bergerak dibidang jasa. Karena itu perlu memperhatikan aspek-aspek pembiayaan agar dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Masyarakat dunia saat ini sudah dihadapkan pada situasi yang menggelobal, globalisasi demikian istilah yang sering didengar. Globalisasi merupakan proses masuknya ke ruang lingkup dunia. Globalisasi tersebut memiliki konsekuensi terjadinya perubahan dalam segala tatanan kehidupan, tidak hanya dihadapi oleh sektor pendidikan akan tetapi semua sektor yang ada turut menghadapinya, globalisasi mau tidak mau harus dihadapi.
Syafaruddin (2002: 5) menjelaskan dua acuan dalam memahami arti globalisasi tersebut yaitu Thinks, and Acts. Dua kata kerja aktif yaitu berpikir (Thinks) dan bertindak (Acts). Agar dapat berpikir dan bertindak sehingga dapat mengambil manfaat positif maka diperlukan kualitas berpikir dan kualitas bertindak. Kualitas tersebut hanya akan terjadi apabila ada semacam perubahan kualitas pandangan masyarakat, perubahan kualitas pandangan masyarakat hanya akan terjadi melalui proses pendidikan. Sehingga tidak berlebihan apabila globalisasi yang akan dihadapi dengan berpikir dan bertindak tersebut hanya akan mendapatkan hasil yang optimal melalui pelaksanaan proses pendidikan yang berkualitas dan atau bermutu yang mampu nnrnjawab tuntutan yang global tersebut.
Kualitas pendidikan meliputi pertama, produk pendidikan yang dihasilkan berupa persentase peserta didik yang berhasil lulus dari lulusan tersebut dapat diserap oleh lapangan kerja yang tersedia atau membuka lapangan kerja sendiri, baik dengan cara meniru yang sudah ada atau menciptakan yang baru. Kedua, Proses pendidikannya sendiri, proses pendidikan ini menyangkut pengelolaan kelas yang scsuai pada kondisi kelas yang relatif kecil, penggunaan metode pengajaran yang tepat serta pada lingkungan masyarakat yang kondusif. Ketiga, adanya kontrol pada sumber-sumber pendidikan (inputs) yang ada.
Secara umum kualitas pendidikan tersebut diwarnai empat kriteria yaitu pertama, kualitas awal peserta didik. Kedua, penggunaan dan pemilihan sumber-sumber pendidikan yang berkualitas. Ketiga, proses belajar dan mengajar. Keempat, keluaran pendidikan. Berbagai masalah yang terjadi dan belum terciptanya kualitas atau mutu pendidikan yang dicita-citakan, mensyaratkan bahwa pendidikan di Indonesia harus terus dibangun dan dibenahi.
Empat aspek sasaran pembangunan pendidikan yang ada adalah: Pertama, pembangunan pendidikan harus dapat menjamin kesempatan belajar bagi warga masyarakat secara keseluruhan. Kedua, pembangunan pendidikan harus memiliki relevansi, yaitu proses pendidikan yang dilakukan dan lulusannya harus dapat memenuhi kebutuhan industri. Ketiga, pembangunan pendidikan harus diarahkan pada mutu pengajaran dan lulusan. Pengembangan mutu ini akan tergantung dari efektivitas belajar mengajar dan sumber daya pendidikan seperti guru yang bermutu, dana memadai, fasilitas dan infrastruktur yang memadai pula. Keempat, pembangunan pendidikan harus mengarah pada terciptanya efisiensi pengelolaan pendidikan, efisiensi pengelolaan pendidikan akan tercapai apabila tujuan pendidikan tercapai (Ministry of Education and Cultural, 1992). Pembangunan pendidikan tersebut memiliki tujuan pada terciptanya kualitas pendidikan.
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement) telah berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya sebelum abad ke-19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.
Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggak penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Investement in human capital” dihadapan The American Economic Association merupakan peletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi (Fattah, 2004: 5)
Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang lainnya turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini.
Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investement) dan menjadi leading sector atau salah satu sektor utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitment politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.
Hasil penelitian yang dilakukan Bramley (1991:9) mengemukakan bahwa “Ada beberapa hasil efektif dari pendidikan untuk peningkatan kualitas SDM, yaitu: pencapaian tujuan, peningkatan kualitas sumber daya (SDM dan sumber daya lain), kepuasan pelanggan, dan perbaikan proses internal.”
Sebelumnya, Sutermeister (1976:3) mengemukakan bahwa “Perubahan dan peningkatan kualitas SDM dipengaruhi oleh pendidikan. Pendidikan diperhitungkan sebagai faktor penentu keberhasilan seseorang, baik secara sosial maupun ekonomi. Nilai pendidikan merupakan aset moral, yaitu dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dalam pendidikan merupakan investasi. Pandangan ini ditinjau dari sudut human capital (SDM sebagai unsur modal).”
Beberapa penelitian neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program bantuan internasionalnya di berbagai negara. Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya.
Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.
Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu komponen integral dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus meliputi suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Pengembangan SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return).
Sejumlah hubungan telah diuji dalam rangka kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank Dunia mengenai 83 negara sedang berkembang menunjukan bahwa di 10 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek hurup pada tahun 1960 rata-rata 16 persen lebih tinggi daripada nehara-negara lain. Juga telah digambarkan bahwa investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap produktivitas individu dan penghasilannya. Kebanyakan bukti berasal dari pertanian. Kajian antara poetani yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan di negara-negara berpendapa tan rendah menunjukan, ketika masukan-masukan seperti pupuk dan bibit unggul tersedia untuk teknik-teknik usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seorang petani yang tidak berpendidikan. Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para petani yang berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World Bank, World Development Report, 1980).
Peranan wanita dalam mengasuh dan membesarkan anak begitu penting sehingga membuat pendidikan bagi anak perempuan menjadi sangat berarti. Studi-studi menunjukan adanya orelasi signifikan antara tingkat pendidikan ibu dan status gizi anaknya dan angka harapan hidup. Lebih jauh, manfaat kesehatan dan gizi yang lebih baik dan tingkat fertilitas yang lebih rendah yang diakibatkan oleh investasi-investasi lainnya dalam sektor pembangunan lainnya.
Sebuah studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World Development Report 1980 menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of return) terhadap investasi dalam bidnag pendidikan di 44 negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan berada jauh diatas 10 persen.
Investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Suryadi: 1999, 247).
Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Mantan Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kriteria equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan UNESCO.
Itulah sebabnya Profesor Kinosita, seperti dikutip oleh Nurkholis (2008:1) menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Lebih lanjut Kinosita merekomendasikan agar anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
C. Konsep Nilai Ekonomi
Dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia, perlu melihat dulu nilai ekonomi dari pendidikan, sedangkan dalam membuka lapangan kerja diperlukan investasi fisik. Untuk mengukur nilai ekonomi pendidikan dapat dilakukan dengan menilai modal yang telah dikeluarkan (human capital), dan menggunakan pendekatan ongkos produksi (Hasibuan, 1991). Sejak tahun 1960-an telah dikembangkan pula analisis rasio biaya-manfaat (benefit-costs analysis) dan Retedin (return to educational invesment) atau yang sering pula disebut IRR (internal rate of return).
Nilai ekonomi pendidikan secara singkat dapat dirumuskan setidak-tidaknya, manfaatnya sama dengan jumlah nilai biaya yang telah dikorbankan selama dalam masa pendidikan. Bilamana seseorang (dengan anggapan bahwa faktor-faktor lain adalah tetap) telah menamatkan suatu program pendidikan, tetapi setelah bekerja sampai dengan pensiun tidak dapat mengembalikan akumulasi nilai investasi yang pernah digunakan untuk mendapatkan pengetahuan, kerampilan, dan kemampuannya (human capital), maka nilai pasar dari segala kemampuannya relatif rendah.
Sebelum variabel-variabel pendidikan diakomodasi ke dalam ilmu ekonomi, variabel-variabel itu termasuk ke dalam kelompok variabel ilmu sosial, tetapi lama kelaziman ilmu ekonomi berkembang, dan mulai mempelajari bahwa perilaku variabel sosial itu dapat dipandang sebagai variabel ekonomi. Dalam arti, perilaku variabel-variabel tersebut balk sebagian maupun seluruhnya dikendali¬kan oleh motif ekonomi. Semua komponen pembiayaan yang dikeluarkan untuk kelangsungan proses pendidikan, menjadi biaya investasi bilamana dilihat bahwa sumber daya manusia balk sebagal faktor produksi maupun sebagai tujuan dari proses produksi.
Dari perspektif benefit pendidikan, Cohn (1979) memerinci empat nilai ekonomi pendidikan, yaitu: Pertama, berdasarkan pendekatan human capital yang mengkonstantasi hubungan linier antara investment of education dengan higher productivity dan higher earning. Dalam pengertian, manusia sebagai modal dasar yang diinvestasikan dalam pendidikan akan menghasilkan manusia terdidik yang produktif, dan meningkatnya penghasilan sebagai akibat dari kualitas kinerja yang ditampilkan oleh manusia terdidik tersebut.
Kedua, berdasarkan pendekatan radikal yang menyatakan bahwa pendidikan yang lebih balk- diperuntukkan bagi tingkatan ekonomi tinggi. Tingkatan pendidikan sebagai penentu masa depan manusia harus mendukung seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan kemampuan akademik dan sosial mereka.
Ketiga, berdasarkan taxonomy of education benefit diperlihatkan bahwa peningkatan kapasitas penghasilan manusia terdidik berhubungan nyata dengan tingkat pendidikan, aktualisasi pendidikan pada level tertentu menggambarkan keterkaitan antara private dengan social benefit pendidikan; dan keempat intergeneration effect atau peningkatan pendidikan, lebih tinggi terjadi pada generasi muda dibanding generasi terdahulu.
Pendidikan Sebagai Konsumsi dan Investasi Ekonomi
Mikro ekonomi pendidikan mempelajari unsur-unsur permintaan, penawaran, dan harga dari produk jasa pendidikan. Pada unsur permintaan dipelajari tentang bagaimana calon siswa/mahasiswa memaksimumkan pendapatan neto seumur hidup yang diharapkan. Sedang pada pihak produsen, yaitu satuan pendidikan dipelajari tentang bagaimana mengkombinasikan input agar dapat memperoleh biaya total terendah, oleh karena itu maka pembahasan juga akan menyangkut pembahasan tentang pendidikan sebagai industri.
Pendidikan diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan, di mana lembaga pendidikan dapat mendirikan sebuah atau beberapa satuan pendidikan, maka ini berarti bahwa lembaga pendidikan mempunyai kedudukan sebagai badan usaha, dan satuan pendidikan seperti SD, SLTP, SMU, SMK, dan program-program studi di perguruan tinggi berkedudukan sebagai perusahaan (firm).
Di samping itu karena produk pendidikan berupa jasa, maka perlu diketahui pula mengenai karakteristik dari industri jasa, dalam hal ini adalah jasa pendidikan.
Pasar, Permintaan, dan Penawaran Jasa Pendidikan
Pasar pendidikan adalah keseluruhan permintaan dan penawaran terhadap sejenis jasa pendidikan tertentu. Seperti halnya pada bidang ekonomi, maka pasar di dalam pendidikan dapat dibedakan atas pasar konkret dan pasar abstrak. Dilihat dari bentuknya, pasar pendidikan mempunyai kesamaan dengan pasar persaingan monopoli. Berbicara tentang pasar pendidikan, maka paling tidak ada dua unsur penting, yaitu permintaan pendidikan dan penawaran pendidikan.
Tentang pasar pendidikan ada beberapa definisi. Antara lain yang dikemukakan oleh Hector Corea, ia mengemukakan bahwa permintaan pendidikan menggambarkan kebutuhan, dan dimanifestasikan oleh keinginan untuk diberi pelajaran tertentu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan pendidikan seperti budaya, politik, dan ekonomi. Kemudian permintaan pendidikan perorangan secara agregat dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: pendapatan orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, biaya pendidikan, kebijaksanaan umum (Pemerintah), kebijaksanaan lembaga, dan persepsi individu terhadap tiap-tiap jenis pendidikan. Permintaan pendidikan juga tergantung kepada cara pandangnya, yaitu apakah pendidikan itu dianggap sebagai konsumsi, sebagai investasi, atau konsumsi dan investasi.
Penawaran pendidikan dapat dilihat secara makro dan secara mikro. Secara makro, pengadaan pendidikan dapat dilaksanakan berdasarkan pendekatan ketenagakerjaan. Sedang secara mikro, yaitu pengadaan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, seperti sebuah SLTP, sebuah SMU, dan sebagainya.Terlepas oleh siapa pendidikan itu diselenggarakan, maka proses pengadaan pendidikan harus dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Tentang harga pendidikan. Untuk menentukan harga dari jasa pendidikan tidak sederhana, seperti halnya pada harga barang-barang. Karena banyak komponen yang harus dihitung, antara lain yaitu uang pendaftaran, uang pangkal (BP3, dan sebagainya), uang tes sumatif, uang laporan pendidikan, uang pendaftaran ulang, dan sebagainya.
Kemudian tentang elastisitas harga. Elastisitas harga atau elastisitas permintaan pendidikan ialah perbandingan antara perubahan relatif dari permintaan jasa pendidikan dengan perubahan relatif dari harganya. Sesuai dengan bentuk pasarnya, yaitu persaingan monopoli, maka sifat elastisitas permintaannya inelastis.
Pendidikan sebagai Barang Publik dan Barang Swasta
Pendidikan dapat merupakan barang publik dan dapat merupakan barang swasta. Barang publik (public goods) adalah suatu jenis barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi tak ada seorang pun yang bersedia untuk menghasilkannya. Ada dua sifat pokok dari barang ini, yaitu nonrival consumption dan non-exclusion. Berdasarkan definisi dan sifat-sifat dari barang publik tersebut, agar pendidikan dapat digolongkan sebagai barang publik, maka harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Pendidikan harus merupakan barang/jasa konsumsi.
2. Pendidikan dibutuhkan oleh semua orang.
3. Pihak swasta tidak bersedia untuk menghasilkannya.
4. Pendidikan, konsumsinya mempunyai sifat nonrival consumption dan non-exclusion.
Sesuai dengan kriteria tersebut, maka pendidikan dasar atau pendidikan wajib belajar yang terdiri dari SD dan SLTP dapat digolongkan sebagai barang publik. Ada beberapa teori yang mendasari tentang barang publik. Teori-teori tersebut dikemukakan oleh Bowen, Eric Lindahl, dan Samuelson. Ketiga teori tersebut pada prinsipnya membahas tentang bagaimana pengadaan dan pembebanan biayanya.
Pendidikan juga dapat digolongkan sebagai barang swasta. Barang swasta (private goods) adalah barang yang penyediaannya dilakukan melalui mekanisme pasar. Termasuk ke dalam kategori ini adalah pendidikan pada tingkat setelah pendidikan wajib belajar, yaitu SLTA (SMU dan SMK), dan Perguruan Tinggi. Pada tingkat ini pengadaan pendidikan bukan hanya didorong oleh motivasi-motivasi yang bersifat keagamaan, dan kebangsaan, tetapi juga didorong oleh pertimbangan-pertimbangan bisnis. Sehingga ada atau tidak adanya atau banyak sedikitnya produksi pendidikan dipengaruhi oleh banyak sedikitnya permintaan dan pendapatan yang mungkin diterima oleh penyelenggara/pengelola di masa yang akan datang.
Pendidikan sebagai Konsumsi dan sebagai Investasi
Pendidikan dapat dipandang sebagai konsumsi, sebagai investasi, dan sebagai konsumsi dan investasi secara komplementer. Pendidikan sebagai konsumsi adalah pendidikan sebagai hak dasar manusia. Atau merupakan salah satu hak demokrasi yang dimiliki oleh setiap warga negara. Sehingga sampai tingkat tertentu pengadaan harus dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu maka di banyak negara pendidikan dasar (SD dan SLTP) dijadikan sebagai pendidikan wajib belajar. Sebagai konsekuensinya pendidikan pada tingkat ini pendidikan bukan hanya sebagai hak, tetapi juga sebagai kewajiban bagi setiap warga negara pada tingkat umur tertentu (di Indonesia antara 6 sampai 15 tahun).
Dilihat dari segi sifat kebutuhan, pengadaannya pendidikan pada tingkat ini merupakan barang publik. Kemudian dilihat dari motivasinya, maka pendidikan sebagai konsumsi ini dimotivasi oleh keinginan untuk memuaskan kebutuhan akan pengembangan kepribadian, kebutuhan sosial, kebutuhan akan pengetahuan dan pemahaman. Selanjutnya mengenai orientasi waktunya adalah sekarang. Permintaan pendidikan ini dipengaruhi oleh besar kecilnya pendapatan disposibel.
Pendidikan sebagai investasi bertujuan untuk memperoleh pendapatan neto atau rate of return yang lebih besar di masa yang akan datang. Biaya pendidikan dalam jenis pendidikan ini dipandang sebagai jumlah uang yang dibelikan untuk memperoleh atau ditanamkan dalam sejumlah modal manusia (human capital) yang dapat memperbesar kemampuan ekonomi di masa yang akan datang. Pendidikan sebagai investasi didasarkan atas anggapan bahwa manusia merupakan suatu bentuk kapital (modal) sebagaimana bentuk-bentuk kapital lainnya yang sangat menentukan terhadap pertumbuhan produktivitas suatu bangsa. Melalui investasi dirinya seseorang dapat memperluas alternatif untuk kegiatan-kegiatan lainnya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya di masa yang akan datang.

D. Nilai Ekonomi Pendidikan Tinggi
Paling tidak ada empat isu yang tengah berkembang kaitannya dengan pendidikan tinggi, yaitu:
1. Pendidikan Tinggi mempersiapkan seseorang dengan kualifikasi tinggi untuk menjadi seseorang yang berkualitas amat tinggi.
2. Pendidikan tinggi mempersiapkan profesional dalam berbagai bidang keilmuan untuk kepentingan pembangunan nasional bangsa itu.
3. Pendidikan tinggi adalah tonggak Perkembangan Civilization manusia.
4. Unesco mempromosikan Pendidikan Tinggi untuk semua.

Penyelenggaraan pendidikan tinggi memang memerlukan biaya besar, yang tidak mungkin bila hanya mengandalkan sumber dana pemerintah semata (baca: dana publik). Selama ini, yang menikmati layanan pendidikan tinggi adalah kelompok masyarakat, yang dalam strata sosial tergolong kelas menengah ke atas.
Ada argumen rasional dan alasan logis yang mendukung langkah universitas menaikkan biaya pendidikan. Sebab, sasaran utamanya adalah meningkatkan kontribusi (dalam bentuk uang pangkal dan SPP) bagi mahasiswa yang berasal dari lapisan kelas menengah tersebut.
Jika masyarakat kelas menengah yang paling banyak mendapat akses pendidikan tinggi, maka penggunaan dana publik (yang bersumber dari pajak) untuk membiayai universitas justru bertentangan dengan prinsip keadilan.
Dengan kata lain, investasi dana publik untuk pengembangan perguruan tinggi harus menghitung besaran nilai ekonomi dan tingkat kemanfaatan bagi kepentingan masyarakat luas. Jadi, ada rasionalitas ekonomi di balik kenaikan biaya pendidikan itu, yang secara teknis dilakukan dengan membuat analisis perbandingan antara public economic benefits dan private economic benefits.
Dalam teori ekonomi, terminologi public economic benefits diartikan sebagai keuntungan ekonomis yang memberi manfaat bagi masyarakat luas setelah seseorang berhasil menamatkan jenjang pendidikan tinggi. James Merisotis dalam Who Benefits from Higher Education? (1988) membuat lima kategori public economic benefits.
Pertama, peningkatan pendapatan pajak. Kedua, peningkatan produktivitas. Tesis umum yang berlaku adalah: semakin tinggi level pendidikan yang dicapai, kian luas pula pengetahuan dan keterampilan teknis yang didapat. Ketiga, peningkatan konsumsi. Berbagai studi menunjukkan, peningkatan konsumsi itu paralel dengan level pendidikan. Keempat, peningkatan adaptabilitas tenaga kerja. Persaingan ekonomi yang sangat ketat pada level global menuntut tenaga kerja bisa cepat beradaptasi dengan perubahan. Kelima, penurunan ketergantungan pada bantuan finansial pemerintah. Para lulusan perguruan tinggi cenderung kurang memerlukan program bantuan sosial yang diberikan pemerintah. Sebab, secara ekonomis mereka sudah berkecukupan dan mampu memenuhi sendiri berbagai kebutuhan dasar tersebut.
Sementara terminologi private economic benefits diartikan sebagai keuntungan ekonomis yang memberi manfaat hanya bagi individu bersangkutan setelah ia berhasil menamatkan jenjang pendidikan tinggi. Ada lima kategori private economic benefits.
Pertama, peningkatan gaji dan penghasilan. Para lulusan perguruan tinggi yang berbekal pengetahuan dan keterampilan dipastikan bisa memperoleh gaji dan panghasilan tinggi pula menurut keahlian yang dimiliki. Kedua, pilihan pekerjaan yang luas. Ketiga, tabungan (savings) relatif lebih besar. Dengan pekerjaan yang baik serta gaji dan penghasilan besar, sangat logis bila para sarjana mempunyai tabungan yang besar pula. Keempat, jenis pekerjaan dan tempat bekerja yang baik. Bagi lulusan perguruan tinggi relatif mudah mendapatkan pekerjaan yang baik dan tempat bekerja yang comfortable. Kelima, mobilitas individual. Para lulusan perguruan tinggi lebih mampu bertukar jenis pekerjaan. Dengan bekal keahlian yang memadai dan kompetensi yang mumpuni, para sarjana lebih mudah memperoleh pekerjaan baru atau berpindah profesi bahkan untuk bidang keahlian yang berlainan sekalipun.
Itulah parameter kualitatif yang lazim digunakan untuk mengukur keuntungan ekonomi pendidikan tinggi. Parameter kualitatif itu bisa dikonversi secara kuantitatif dengan menggunakan metode cost-benefit analysis. Metode analisis ini melihat perbedaan antara private and social rates of return lulusan perguruan tinggi, sehingga bisa diketahui berapa besar tingkat kemanfaatan ekonomi pendidikan tinggi baik bagi individu maupun masyarakat.
Metode analisis ini bisa dijadikan dasar bagi pemerintah untuk berinvestasi di level pendidikan tinggi. Studi mutakhir yang dilakukan oleh dua ahli ekonomi konsultan Bank Dunia, Psacharopoulos dan Patrinos, Returns to Investment in Education (2002), membuat perbandingan antara private and social rates of return pada jenjang pendidikan tinggi di lima kawasan. Hasil studi itu dengan jelas menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan antara private rate of return dan social rate of return di seluruh kawasan.
Perbandingan masing-masing kawasan adalah: (i) Asia: 18,2 persen dan 11,0 persen, (ii) Eropa/Timur Tengah/Afrika Utara: 18,8 persen dan 9,9 persen, (iii) Amerika Latin/Karibia: 19,5 persen dan 12,3 persen, (iv) Negara-negara OECD: 11,6 persen dan 8,5 persen, dan (v) Sub-Sahara Afrika: 27,8 persen dan 10,3 persen. Adapun rata-rata Dunia sebesar 19,0 persen dan 10,8 persen.
Data di atas secara terang-benderang menggambarkan betapa nilai kemanfaatan ekonomi pendidikan tinggi yang diperoleh orang per orang (individual) itu lebih besar dibandingkan masyarakat luas (publik). Bila pemerintah berinvestasi di jenjang pendidikan tinggi, maka yang akan memperoleh manfaat ekonomi hanya kelompok masyarakat tertentu saja.
Temuan studi ini bisa ditafsirkan, bila dana publik dalam jumlah besar digunakan untuk membiayai pendidikan tinggi, maka yang paling beruntung justru lapisan masyarakat kelas menengah ke atas. Bagi penganut mazhab Marxian, ini jelas akan melenggangkan struktur kemampuan sosial dan menghambat mobilitas vertikal masyarakat kelas bawah.
Dalam perspektif demikian, sejatinya arah kebijakan BHMN bisa dikatakan on the right track. Bagi orang kaya harus membayar lebih mahal untuk bisa kuliah di universitas terbaik itu. Namun, pemerintah dan universitas harus membuat kebijakan affirmative action guna melindungi dan memberi kesempatan bagi orang miskin yang berprestasi, untuk bisa kuliah di perguruan tinggi.

E. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan sebagai suatu invertasi diharapkan mampu menjadi instrumen yang dapat meningkatkan petumbuhan dan nilai ekonomi suatu bangsa. Walaupun memang diakui bahwa kuantitas masyarakat yang dapat mengecap pendidikan tinggi jumlahnya masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pendidikan dasar dan menengah.
Kualitas manusia yang tangguh, andal dan unggul harus dipersiapkan oleh pendidikan, sebab menunjang terhadap perikehidupan yang sedang ditempuh. Kualitas unggul dalam proses pendidikan ini, selain memiliki karakteristik abadi seperti ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kejujuran, budi pekerti yang luhur, harus ditambah dengan keuletan, kegigihan, daya saing, kemandirian, keberanian memecahkan masalah dan menghadapi realitas serta rajin dan bekerja keras juga berdisiplin tinggi.
Kita perlu membenahi pendidikan tinggi di Indonesia guna merespons dinamika perkembangan global, yang menempatkan perguruan tinggi (PT) sebagai salah satu institusi penggerak kemajuan ekonomi. Untuk itu, kita harus merumuskan strategi baru dalam pengembangan PT guna menjawab tantangan masa depan saat perkembangan ekonomi justru lebih banyak didorong institusi Perguruan Tinggi.



DAFTAR PUSTAKA


Bramley, Peter. 1991. Evaluating Training Effectiveness. London. The McGraw-Hill Training Series.
Cheng, Yin Cheong. 1996. School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development. Washington D.C: The Palmer Press.
Fattah, Nanang. 2003. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurkolis. 2008. Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang [On line]. Tersedia: http.//www.pendidikan.net. [16 Oktober 2008].
Sidi, Indra DJati. 2003. Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina.
Suryadi, Ace. 1999. Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta.
Sutermeister, Robert A. 1976. People and Productivity. Tokyo: Mc Graw-Hill Books Company.
Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Konsep, Startegi dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.
Tilaar, H.A.R. 2008. Stadarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinajauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta.
Anwar, Moch. Idochi (2004). Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Cohn, Elchanan (1983). The Economics of Education: An Introduction. Massachussets: Ballinger Publishing Company.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Menurut saya, di dalam mengembangkan kebudayaan dan peradaban di dasari sikap yang seimbang dan menjaga kesinambungan antara yang sudah ada dan mengambil hal yang baru. budaya lama yang masih relavan terus di jaga dan dilestarikan sementara budaya baru di terima setelah melakukan penyaringan dan penyesuaian. terhadap peradaban dan kebudayaan modern yang datang dari barat pada dasarnya memandang sebagai hasil inovasi dan kreatifitas manusia atas dasar rasionalisme dalam menjawab tantangan yang di hadapi dalam bentuk nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi. semua yang ada dalam peradaban modern kebudayaan berupa etos kerja, kedisiplinan, oreantasi ke depan, dorongan penggunaan rasio dan kreatipitas serta penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih merupakan warisan kemanusian yang membawa manfaat untuk kesejahteraan hidup manusia. peradaban dan kebudayaan modern dapat dimanfaatkan sepanjang tidak memgakibatkan bahaya dan tidak bertentangan dengan sendi-sendi dasar akidah dan syriat islam.
komentar saya tentang pemerintahan demokrasi. pemerintahan dalam suatu negara merupakan sunatullah yang mesti terwujud secara syar'i maupun aqli untuk menjaga kedaulatan mengatur tata kehidupan, melindungi hak-hak setiap warga negaranya dan mewujudkan kemaslahatan bersama. kebijakan yang di buat oleh pemerintah sebagai pengemban mandat amanah dari rakyat harus selalu berorientasi pada kepentingan bersama.
kekuasaan dan kewenangan pemerintah selain mengandung amanah ketuhanan yang kelak akan di mintai pertanggung-jawaban di sisi allah SWT. sehingga apapun bentuknya dan bagaimanapun keadaannya harus di dasari oleh rasa tanggungjawab ketuhanan dan di laksanakan sesuai dengan tuntunan moral ke agamaan. paradigma yang di bangun dalam sistem peradaban dan kebudayaan adalah tegaknya moralitas ke agaman dan harkat ke manusiaan juga tegaknya hak-hak asasi manusia demi terwujudnya kemaslahatan di muka bumi.

Jauharuddin Luthfi mengatakan...

Saya kira Globalisasi yang membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain tak bisa dilepaskan dari perkembangan information and communication technology (ICT). Kondisi ini menjadi peluang dan tantangan baru bagi akademisi dan praktisi yang berkecimpung dalam disiplin ilmu komunikasi. Sebab globalisasi komunikasi memunculkan tatanan kehidupan baru dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. Tidak bisa di pungkiri bahwasanya bahwa dengan berkembangnya berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan itu berdampak negative dan positive bagi ummat Islam.
Di samping mendatangkan hal-hal positif, globalisasi sepertinya juga menumbuhkan kecenderungan baru masyarakat terhadap sesuatu yang bersifat kebendaan (materialisme), mementingkan diri sendiri (individualisme), kenikmatan badaniah (hedonisme) serta hasrat untuk menguasai yang lain dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karenanya, sering terjadi pelanggaran terhadap unsur-unsur normatif yang telah menjadi anutan nilai masyarakat.
alam era globalisasi, umat Islam harus mampu menunjukkan bahwa mereka telah modern dan dapat menjadi rahmat serta membawa kebaikan bagi umat lainnya. Institusi pendidikan Islam atau pesantren sudah sewajarnya mengembangkan kelembagaan dan sistem organisasi yang sesuai dengan tuntutan zaman. Di samping menghadapi globalisasi, umat Islam secara normatif juga harus mampu menjaga diri dan memerangi hawa nafsu yang jika tidak terkendali akan merusak tatanan sosial kemasyarakatan. Cita-cita untuk menjadi masyarakat madani hanya akan dapat apabila umat Islam dapat merealisasikan ajaran Islam secara kaffah dalam kehidupan mereka sehari-hari.