22 Januari 2010

Cara Penulisan Laporan Ilmiah

Format laporan ilmiah
Ada berbagai macam format penulisan .Namun perbedaan di antara format format yang ada jangan terlalu dipermasalahkan. Hal yang perlu diperhatikan adalah:

1. Pembaca dapat memahami dengan jelas bahwa penelitian telah dilakukan tujuan dan hasilnya.
2. Langkah – langkah medannya jelas , agar jika pembaca tertarik dapat mengulang kembali.

Pada dasarnya ada dua bentuk sistematika penulisan ilmiah ,Yaitu penulisan proposal penelitian dan laporan hasil penelitian . Pada umumnya sistematika penulisan proposal penelitian danpenulisan laporan penelitian sebagai berikut :
Bagian awal

1. halaman judul
2. Halamn persetujuan dan pengesahan (pada laporan penelitian ,sebelum halaman kata pengantar dicantumkan intisari /abstrak)
3. Halamn kata pengantar atau prakata
4. Daftar isi
5. Daftar tabel (jika ada)
6. Daftar gambar (jika ada)
7. Daftar lampiran (jika ada)

Bagian Utama
BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
2. Rumusan masalah
3. Tujuan penelitian
4. Ruang lingkup
5. Manfaat penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Landasan teori/ tinjauan teoretis
2. Kerangak teori
3. Kerangka konsep
4. Hipotesis atau pertamyaan penelitian (jika ada hipotesis)

BAB III METODE PENELITIAN ATAU CARA PENELITIAN

* Jenis penelitian
* Populasi sample (untuk penelitian disertai unit penelitian )
* Variabel penelitian (untuk penelitian laboratorium / eksperimental, sebelum variabel penelitian dicantumkan bahan dan alat)
* Definisi operasioanal variabel atau istilah –istilah lain yang digunakan untuk memberi batasan operasional agar jelas yang dimahsud dalam penelitian itu.
* Desain / rancangan penelitian ( tidak harus , kecuali pada penelitian eksperimental)
* Lokasi dan waktu penelitian
* Teknik pengumplan data.
* Instrumen penelitian yang digunakan
* Pengolahan dan Analisis data

Khusus laporan penelitian dilanjutkan dengan bab IV -VI berikut ini :

BAB IV – HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V – KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI – RINGKASAN

Bagian Akhir

1. Daftar pustaka

2. Lampiran – lampiran;
# Instrumen penelitian
# Berbagai data sekunder yang diperlukan
# Anggaran penelitian
# Jadwal penelitian

09 Januari 2010

Rekonstruksi Ideologi Cak Nur di HMI

Oleh: Andito


HANYA dengan Al-Quran dan terjemahnya kita sudah dapat memakai dan ‘memelintir’ ayat-ayat suci dengan bebasnya. Masalah kemampuan bahasa arab, asbab al-nuzul dan tetek bengek lainnya ‘tidak dipentingkan’. Memang lazimnya demikian. Toh, semuanya akan berpusing-pusing pada tafsir. Itu bahasa sadisnya saat kita berhadapan dengan majlis pengajian pada umumnya.
Praktik tadi sungguh berbeda saat kita berhadapan dengan naskah Nilai-nilai Dasar Perjuangan/Nilai Identitas Kader (selanjutnya ditulis NDP), sebuah rumusan Islam yang khas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikan pada 5 Februari 1947. Naskah NDP itu sendiri baru disahkan pada Kongres HMI IX di Malang (Mei 1969).
Untuk memahami, apalagi mengajarkan, NDP kita harus menjalani praktik-praktik ritual tertentu yang tidak sembarang orang dapat melakukannya, mulai dari Basic Training (Latihan Kader I/LK I), pendalaman NDP Pasca LK, Training Up Grading NDP, Senior Course sampai Training Instruktur NDP. Kita juga tidak boleh meninggalkan wirid intensif dengan membaca karya-karya Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Pembalseman Cak Nur
Mengapa hal ini dapat terjadi? Banyak alasan dapat dikemukakan. Pertama, Pembalseman Cak Nur secara sistematis. Pengaguman terhadap Cak Nur membuat semua orang merasa rendah diri ketika berhadapan dengan pemikiran-pemikirannya. Penjara imajinasi ini mengkondisikan Cak Nur laksana Tuhan bagi agama HMI. Ia bersabda di puncak gunung dan umat di bawahnya cuma mengaminkannya. Fobia kritik dijadikan alasan utama melarang dan menghakimi orang agar berbuat hal yang sama sebagaimana dirinya.
Padahal, NDP bukan tafsir kitab suci, juga bukan kumpulan hadis. Orang lupa, Cak Nur yang membuat draft NDP di periode 69-an berbeda dengan Cak Nur millenium baik dari sisi usia, intelektualitas, pengalaman dan lain-lain. NDP merupakan sebuah cara pandang Islam ala Cak Nur muda, yang ekstremnya, belum tentu benar. Repotnya, kader HMI sulit memahami evolusi pemikiran seseorang yang dapat berubah seiring waktu, kontemplasi, dan kedewasaan. Adalah hal biasa pemikiran masa lalu tidak lagi sesuai dengan pemikiran masa kini. Tidak ada alasan untuk takut mengkritik Cak Nur muda.
Mengkritisi NDP tidak ada hubungannya sama sekali dengan penghormatan kepada Cak Nur. Cak Nur tetap kita hormati dan terhormat dengan sendirinya ketika pemikiran-pemikirannya turut memperkaya khazanah pemikiran Islam Indonesia. Cak Nur adalah sedikit tokoh yang pemikiran brilyannya didengar betul oleh paling tidak 4 presiden mulai dari Suharto sampai Gus Dur.
Bias Figur dalam Kerja Kolektif
Kedua, bias personalisasi dalam realitas kolektif. Sesungguhnya perumusan NDP dihasilkan dari kerja kolektif, bukan individual. Beberapa bagian NDP jelas dikerjakan oleh kader muda HMI lainnya, seperti Endang Saefuddin Anshari, Saqib Mahmud, M Dawam Rahardjo dan yang lain. Bukan tidak mungkin terjadi benturan ide dan paradigma satu sama lain. Penguapan konsistensi ideologi dapat berbanding lurus pada wilayah ini.
Ketiga, pada saat itu, arus pemikiran keislaman disemarakkan oleh pertentangan yurisprudensi simbolis antara berbagai organisasi Islam tradisional dan modernis; di sisi lain, terbatasnya wacana keislaman alternatif dan referensi —ditandai dengan sangat minimalnya peredaran buku-buku pemikiran keislaman berbahasa Indonesia— turut memainkan peranan yang tidak sedikit pada gaya bahasa, kedalaman bahasan dan kelengkapan tema NDP. Apalagi saat itu HMI sedang berada pada dua arus besar konflik politis-ideologis, dengan CGMI, dan rezim transisional dari Orla ke Orba.
Dengan seluruh fenomena di atas, wacana-wacana keagamaan alternatif —yang mungkin bukan sesuatu yang “luar biasa” di masa kini— seperti mendapat momentum. Pemikiran-pemikiran radikal, Ahmad Wahib misalnya, menjadi sesuatu yang wah diperhadapkan dengan pemikiran keislaman konvensional saat itu.
Pada posisi inilah kita dapat mencoba memahami mengapa dalam suatu kurun waktu yang panjang, NDP menjadi sesuatu yang khas dan sulit untuk dikoreksi. Keterjagaan momentum ini, secara alamiah, terus “dilestarikan” dengan semakin gemilangnya tokoh-tokoh perumus NDP dalam konstelasi pemikiran sosial keagamaan di Indonesia. Hal berbeda mungkin akan kita temukan seandainya para perumus NDP berevolusi sebagai orang-orang kebanyakan sehingga tidak populer.
Akhirnya, kita juga paham mengapa banyak kader tidak memahami naskah NDP, meskipun membaca berulang kali. Ketidakmengertian dinisbahkan pada kebekuan intelektual mereka dan bukan pada naskahnya. Setiap kali selesai membaca yang berakhir dengan kebingungan, setiap kali itu pula kader seakan berkata bahwa ia ternyata begitu bodoh. Dan masih saja bodoh meskipun telah membaca referensi-referensi lainnya.
Pengapuran Intelektualisme
Keempat, pengapuran intelektualisme, akibat semakin menggejalanya wacana politis praktis ketimbang intelektualisme. HMI yang menang perang bharatayudha melawan PKI/CGMI dan anasir Orla lainnya seperti ketiban pulung. Gelombang besar mahasiswa yang mendaftar sebagai kader HMI baru pasca Orla ternyata tidak berdampak signifikan pada pembaruan dan pematangan teologis. Memang format dan materi perkaderan senantiasa terus berkembang, tapi semua itu tidak dibarengi dengan peninjauan ulang seluruh nilai yang menjadi landasan ideologis HMI.
Perkembangan struktural konstelasi politik dan kesibukan lainnya membuat kader-alumni HMI boleh dikata tidak dapat lagi mencurahkan sedikit perhatian kepada materi-materi utama perkaderan yang mendasar. Bahkan fenomena bombastis di atas dijadikan salah satu alasan untuk tidak menoreh tinta merah pada materi ideologi. Apalagi yang harus diutak-atik, kalau dengan keadaan sekarang saja HMI sudah dapat besar, kader-kadernya banyak yang sudah jadi orang dan menjadi motor di banyak wilayah strategis?
Alih-alih memperbarui, keberadaan NDP diperkokoh dengan polesan dalil-dalil ayat suci sebagai lampiran untuk mencuatkan dimensi keagamaan naskah tersebut. Kongres diadakan sebagai legitimasi naskah. Padahal, perangkat hukum yang menopang bagi kemungkinan diadakannnya sebuah rekonstruksi naskah ideologi sudah cukup memadai.
Lengkaplah sudah mistifikasi NDP. Ia merupakan naskah suci, sakral sehingga anti kritik. Padahal, sakralisasi pada segala sesuatu selain Allah adalah praktik kemusyrikan.
Mengawali Rekonstruksi
Sebagai nilai dasar perjuangan, NDP membutuhkan unsur-unsur penyempurna bagi tumbuhnya sebuah ideologi/paradigma/filsafat hidup/pandangan dunia: Sistematika yang jelas dalam penalaran rasional (filosofis), kemudahan aplikasi teori praktis (sosiologis), efek perubahan individu dan masyarakat.
Penguatan dimensi kemanusiaan yang ada di NDP jelas membawa dampak signifikan. Di satu sisi ia membawa dengan genial pesan-pesan peradaban, agar kader HMI tidak gamang dan takut menghadapi perubahan zaman. Di sisi lain, materi NDP menjauh dari pendekatan filosofis, sesuatu yang selayaknya menjadi titik sentral ideologi. Pendekatan sosiologis membuat Islam ditampilkan sebagai ‘Kehadiran’ yang mendahului ‘Kebenaran’, dasar teologi Kristen, bukan ‘Kebenaran’ mendahului ‘Kehadiran’.
Aspek filosofis di NDP, kalaulah ada, juga berputar-putar pada paradigma Calvinian. Kerancuan aspek filosofis dan sosiologis ketika berhadapan dengan teologi membuat kader semakin percaya bahwa tiada keterkaitan sama sekali antara ruang publik (rasionalisme) dan ruang privat (keimanan). Alih-alih mewartakan kebenaran Islam, pemberian materi NDP menggiring kader pada paradigma Kristen (pada Bab Ketuhanan, Bab Kemanusiaan dan Bab Ilmu Pengetahuan) dan Marxian (pada Bab Individu-Masyarakat dan Bab Keadilan Sosial Ekonomi).
Kesenjangan inilah yang menyebabkan mengapa instruktur NDP cenderung berbeda visi dan pemahaman satu sama lain. Ketidakmampuan memahami konteks historis yang melatarbelakangi perumusan NDP; ketidakmampuan memahami paradigma yang dipakai para perumus; ketidaktahuan batasan liberalisasi NDP; kurangnya referensi perbandingan dalam memahami NDP; dan kurangnya ilmu alat yang dimiliki pemateri NDP dapat dijadikan kambing hitam susulan.
Efeknya, sebagian pemateri NDP, terutama pada LK I, membawa materi seperti pengajian yang monolitik dan dogmatik. Alih-alih menggiring kader menuju kesadaran teologis, instruktur malah membuat kader terhalusinasi pada ghirah kebablasan.
Pemateri NDP cenderung membawa materi dengan paradigmanya masing-masing. Cak Nur difitnah untuk membenarkan keyakinan pemateri. Perlu dicurigai bahwa banyak pemateri yang belum bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran Cak Nur dan studi banding dengan referensi lain yang berhubungan. Di sisi lain, studi kritis NDP dimentahkan oleh alasan bahwa segala penjelasan tentang nasklah ideologi tahun 1969 telah ada di buku-buku Cak Nur yang baru beredar tahun 1990an. Ini tidak logis. Tiada relevansi apa pun antara buku Cak Nur dengan NDP qua NDP.
Nampaknya banyak pihak yang tidak bisa membedakan dengan jernih antara rekonstruksi dan dekonstruksi. Sedari awal tulisan ini hanyalah kritik terhadap pondasi bangunan NDP Cak Nur yang lebih nampak sebagai ‘Natsir Muda’. Namun penulis tetap yakin bahwa nilai-nilai pengubah/perbaikannya masih dapat dilihat pada evolusi pemikiran Cak Nur setelah ia semakin kosmopolit dan universal.
Pada tingkat struktural, bias ideologi berkembang semakin kompleks ketika organisasi dituntut agar memberikan kejelasan arah kaderisasi. Pada satu aspek HMI telah berhasil membentuk kader yang mempunyai karakter ideologis tertentu. Namun pada aspek lain, sebagaimana telah diterangkan di atas, HMI boleh dikata telah gagal membentuk format keislaman yang utuh.
Menjawab keparsialan NDP, instruktur yang mempunyai dalil kuat untuk menolak isi materi NDP Cak Nur bermain dengan kerangkanya sendiri. Pada aspek dinamika intelektual, ia layak diacungi jempol karena mampu membuat sebuah konsep alternatif. Pada aspek struktural, ia dikategorikan menyimpang dari kurikulum baku dan melanggar aturan main organisasi. Apalagi yang ‘didekonstruksi’ adalah materi ideologi.
Menyusun Agenda Rekonstruksi
Niat awal yang melandasi pembuatan rekonstruksi ini adalah bagaimana kita melihat wacana perubahan dalam menatap (naskah) ideologi. Biarkanlah semua pihak menimbang NDP dengan sudut pandangnya masing-masing. Toh semuanya akan dinilai secara objektif lagi proporsional untuk mencari yang terbaik. Dari mana pun datangnya hikmah itu. Yang penting, tidak boleh ada satu pun wilayah yang bebas kritik. Namun hendaknya perlu diingat bahwa sebuah rumusan ideologi senantiasa berisi konsep-konsep umum, bukan semacam juklak atau juknis.
Sudah barang tentu setiap draft tidak boleh disebut sempurna. Masih banyak hal yang perlu dikoreksi, diperjelas dan disempurnakan. Masih banyak tema dan bahasan yang perlu ditambah. Draft rekonstruksi ini juga tidak menafikan keberadaan draft lain yang dibuat oleh perorangan dan/atau institusi lain. Semakin banyak konseptor akan semakin baik. Maka dari itu, sangat disayangkan apabila ada pihak yang menganggap rekonstruksi diarahkan atau dimonopoli oleh seseorang/kelompok tertentu.
Satu hal lain yang perlu dicermati adalah keberadaan senior/instruktur ideologi di daerah masing-masing. Lepas dari kadar keilmuan masing-masing, menurut penulis, mereka layak dikunjungi untuk dimintakan urun rembuknya. Biar bagaimana pun, mereka punya kontribusi tak ternilai bagi perkaderan HMI secara nasional.
Dengan iklim politis HMI yang kental, keterlibatan mereka akan menguatkan rekonstruksi secara konseptual dan faktual, sehingga tidak akan ada ungkapan sinis kepada perekonstruksi, “Anak kemarin mau menandingi Cak Nur?” tentu kita sudah tahu kesalahan logika dari ungkapan melankolis tersebut. Namun dalam ‘dunia politik’ HMI, ketidaksetujuan sebagian kalangan bisa menjadi duri. Alih-alih bicara ideologi, praktiknya adalah saling jegal setiap ide baru. Bukan rahasia, banyak pihak yang tidak setuju atas ide rekonstruksi NDP hanya karena dirinya tidak merasa dilibatkan dalam perumusannya.
Membentuk Tim
Sebuah usulan konseptual cenderung mudah diterima ketika hadir sebagai sebuah kebutuhan kolektif dalam suasana yang kondusif. Pada kondisi yang tidak tepat sebuah tawaran alternatif dari segelintir individu dan/atau institusi, misalnya menjelang suksesi, dapat didramatisasi-dipolitisasi-dinilai secara a priori.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, sebuah tim yang mengakomodasi seluruh perumus dari level komisariat hingga PB perlu dibentuk. Rumusan-rumusan yang terseleksi secara konseptual ini (seleksi I) sebaiknya diuji coba dalam sebuah pilot project yang akan dievaluasi dalam forum khusus (seleksi II) dan diuji kembali (seleksi III). Setelah konsep ini utuh, draft rekonstruksi NDP dapat diajukan dalam Kongres mendatang.
Dengan demikian, gerakan rekonstruksi NDP dapat dilakukan dengan gerakan kultural dan struktural. Pada satu sisi kita mengikuti ketentuan dan hierarki organisasi dengan keputusan akhir tetap di Kongres. Di sisi lain penguatan basis (komisariat/korkom/cabang) tetap dilakukan. Tanpa basa-basi birokrasi, internalisasi NDP dapat dilakukan sedini mungkin. Praktik ini secara alamiah pula dapat dianggap sebagai proses pembentukan Lembaga Pengelola Latihan (LPL) di setiap insitusi cabang, kalau memang belum ada.
Pasca rekonstruksi ideologi, kita perlu juga memikirkan rekonstruksi perkaderan mengingat perubahan materi berimplikasi signifikan pada pembumian materi. NDP yang selama ini diformat dalam satu naskah dapat dikembangkan menjadi tiga naskah dengan titik fokus dan berat yang berbeda mengikuti tingkatan perkaderan formal: basic (LK I), intermediate (LK II) dan advance (LK III).
Merangkai Mimpi
Itu harapan idealnya. Jangan berharap banyak bahwa pada akhir pelaksanaan rekonstruksi berikut segala pelatihan percontohannya akan menghasilkan kader-kader yang menjadi pemikir tercerahkan (rausyan fikr). Eksplorasi wacana ini bukanlah indoktrinasi mekanis seperti yang dilakukan banyak harakah, yang mengalami split personality, menuhankan dirinya karena bingung membedakan pendapatnya dengan ayat-ayat Tuhan yang ditentengnya ke sana ke mari. Juga bukan seperti kebanyakan aktivis rasialis himpunan mahasiswa yang mengalami post-power syndrome, menganggap kebenaran hanya datang dari duli senior.
Pada dirinya sendiri, NDP bukanlah himpunan peraturan operasional yang menawarkan tindakan praktis. Tidak seperti materi-materi informatif lainnya, materi NDP kering dan abstrak sehingga tidak menarik minat banyak kader untuk mengkajinya. Dengan demikian, adalah hal wajar kalau hanya ada segelintir orang yang berhasil tersaring, syukur-syukur menjadi pemateri, dari ramaian peserta kajian atau pelatihan.
Setelah seluruh aktivitas rekonstruksi ini berjalan, boleh kita bermimpi tentang terbentuknya kader yang dapat menggabungkan pengetahuan tradisional dan modern; yang menghimpun nilai-nilai kebijakan secara harmonis. Kader seperti ini tiada pernah meninggalkan dan melupakan dimensi transenden; mempunyai pemahaman yang integral seputar diri/manusia-alam-Tuhan; tidak mudah terseret pada paradigma politis, serta tidak mudah terhegemoni oleh negara. Boleh kita mengharap kader yang menjadi cahaya, yang terang dengan sendirinya dan menerangi segala sesuatu di luar dirinya. Rekonstruksi ideologi adalah sebuah tindakan wajar sebuah organisasi kader ketika ingin mereposisi diri pada dunia yang terus berubah. [andito]

KONSEP ISLAM SEBAGAI RAHMATAN LIL ‘ALAMIIN DALAM SOLUSI PROBLEMATIKA EKONOMI UMMAT

Oleh: Mulyawan SN
Presidium Forum Ukhuwah Islamiyah Warga Ciaul (FU-Warci)
Email: mulyawan77@yahoo.co.id


A. Pendahuluan
Oleh sebagian kalangan, banyak yang berpendapat bahwa al-Qur’an (baca: Islam) sudah “tidak dapat” lagi untuk menyelesaikan problem kehidupan sosial-keagamaan yang terjadi di lapangan. Mereka menilai bahwa al-Qur’an saat ini hanya dapat digunakan untuk menyentuh aspek “habl min Allah ” saja, sedangkan “habl min al-Naas” hanya dapat didekati dengan ilmu-ilmu yang oleh mereka diklaim berasal dari bangsa Barat.
Sebaliknya, masih ada pihak yang tetap mengakui bahwa sampat saat ini al-Qur’an -masih dan akan terus- dapat digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan manusia – bukan hanya untuk umat Islam, tetapi juga untuk umat non Muslim. Pendapat ini, didasari karena hanya al-Qur’an-lah yang dapat dijadikan rujukan sepanjang masa, dan tentunya harus dilakukan penafsiran secara terus-menerus, karena sudah jelas bahwa al-Qur’an berbicara secara umum (mujmal). Oleh sebab itu, tidak heran jika dewasa ini, banyak pihak yang menyerukan untuk menerapkan syariat Islam, mengampanyekan gerakan islamisasi sains, banyak diskusi-diskusi dengan membahas tema-tema al-Qur’an, dan lainnya.
Melalui tulisan ini, akan diungkap bagaimana seharusnya Islam benar-benar dapat menjalankan fungsinya sebagai agama yang rahmatan lil ‘aalamiin dalam kontels solusi problematika ekonomi ummat dengan mengetengahkan kondisi ummat masa lalu, masa kini dan mendatang.
B. Makna Rahmatan Lil ‘Alamiin
Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya titipan dari Allah swt agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah swt untuk dipertanggungjawabkan.

Islam juga merupakan agama yang diturunkan Tuhan untuk menjadi rahmat bagi alam semestanya. Pesan kerahmatan dalam Islam benar-benar tersebar dalam teks-teks Islam, baik Alquran maupun hadis.Kata 'rahman' yang berarti kasih sayang, berikut derivasinya, disebut berulang-ulang dalam jumlah yang begitu besar, lebih dari 90 ayat dalam Alquran. Bahkan, dua kata rahman dan rahim yang diambil dari kata 'rahmat' dan selalu disebut-sebut kaum Muslim setiap hari adalah nama-nama Tuhan sendiri (asmaul husna).
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,

"Sayangilah siapa saja yang ada di muka bumi niscaya Tuhan menyanyanginya."

Alquran, sumber Islam paling otoritatif, menyebutkan misi kerahmatan ini, wamaa ar salnaka illa rahmantan lil'alamin (Aku tidak mengutus Muhammad, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta). Ibnu Abbas, ahli tafsir awal, mengatakan bahwa kerahmatan Allah meliputi orang-orang Mukmin dan orang kafir. Alquran juga menegaskan, rahmat Tuhan meliputi segala hal (QS 7: 156). Karena itu, para ahli tafsir sepakat bahwa rahmat Allah mencakup orang-orang Mukmin dan orang-orang kafir, orang baik ( al-birr ) dan yang jahat ( al-fajir ), serta semua makhluk Allah.

Alquran memiliki posisi yang amat vital dan terhormat dalam masyarakat Muslim di seluruh dunia. Di samping sebagai sumber hukum, pedoman moral, bimbingan ibadah, dan doktrin keimanan, Alquran juga merupakan sumber peradaban yang bersifat historis dan universal.Kehadiran sosok Muhammad Rasulullah dan Alquran ini telah mengubah orientasi cara berpikir masyarakat Arab yang kala itu sangat 'kabilahisme sentris' menjadi berpikir kosmopolit.

Kaitan dengan hal tersebut, baiknya kita lihat bagaimana Islam di masa lalu, masa kini dan masa depan.
C. Islam Masa Lalu
Kita dapat menengok kembali masa-masa romantisme dan kejayaan Islam di sekitar abad 13 H. Pada masa itu, banyak pakar dan ahli yang lahir dari Islam, seperti Ibnu Sina, al-Ghazali, al-Farabi, Ibnu Rusyd, al-Khawarizmi dan lainnya. Mereka dikenal dan diakui bukan hanya ahli dalam bidang “keagamaan” saja (hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan), melainkan juga dikenal mahir dengan disiplin ilmu yang seperti berkembang saat ini, misalnya ilmu kedokteran, ilmu matematika, astronomi, politik, teknik, dan sejenisnya. Sehingga, kalau boleh penulis katakan Islam merupakan agama yang paling lengkap dengan segalanya, karena semua “kebutuhan” manusia –duniawi dan ukhrawi– dapat tercukupi. Sehingga sangat logis dan masuk akal jika ingin mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, maka Islam-lah jawabannya.
Namun, di balik kejayaan tersebut menjadikan umat Islam terlengah. Mereka tidak sadar akan keberadaan dan keaktifan umat di luar Islam yang tengah mengintip kejayaan Islam. Akibatnya banyak karya-karya hebat orang Muslim yang “dirampas” oleh pihak luar yang kemudian dipelajari olehnya sehingga kejayaan yang dimiliki umat Islam sedikit demi sedikit hijrah kepada bangsa Barat. Lambat laun, kejayaan iptek yang dulunya dipegang oleh umat Islam sekarang justeru dikendalikan oleh bangsa Barat. Makanya, tidak heran jika banyak pihak yang beranggapan bahwa ilmu-ilmu modern bukan termasuk ilmu Islam, dan oleh mereka ilmu-ilmu modern itu dianggap sebagai ilmu sekuler yang hanya berorientasi pada duniawi saja. Hal ini karena didasarkan pada kebanyakan ilmu tersebut berasal dari Barat, padahal kalau ditelusuri dalam dokumen sejarah, tidaklah demikian kenyataannya. Yang benar justru sebaliknya. Kenyataan ini merupakan salah satu akibat dari keteledoran umat Islam itu sendiri, sehingga tidak perlu berdebat terlalu jauh untuk mempermasalahkan hal tersebut, melainkan kita juga harus segera berintropeksi diri untuk segera meraih kembali kejayaaan tersebut.
D. Islam Masa Kini
Terkait dengan upaya “kembali” ke Islam ini, sekarang telah banyak pihak/masyarakat kita yang sedang menuju ke arah tersebut. Tengoklah, saat ini sudah mulai banyak pihak yang mendirikan bank syariah, yakni bank yang tidak menggunakan sistem riba, melainkan dengan sistem bagi hasil, banyak lembaga pendidikan Islam yang berkualitas dan bermutu, banyak berdiri perguruan tinggi Islam, adanya perubahan beberapa IAIN/STAIN menjadi UIN, banyak pesantren yang berkualitas, banyak toko buku dan penerbit yang menerbitkan buku-buku dengan tema seputar keislaman, rumah makan dan hotel yang dikelola dengan manajemen islami, bergulirnya konsep pelatihan yang berbasis kecerdasan spiritual, dan lainnya.
Fenomena ini kiranya dapat menunjukkan bahwa manusia sekarang (terutama umat Islam) sudah “sadar” bahwa ternyata dalam ajaran Islam itu sesungguhnya sudah sangat lengkap (complete) untuk dijadikan referensi dalam menjalani roda kehidupan. Al-Qur’an merupakan sumber terlengkap –tiada tandingannya- bagi perjalanan kehidupan manusia, sehingga dapat disimpulkan jika kita ingin “sukses”dalam menjalani kehidupan (dunia sampai akhirat) maka tiada kata lain, kecuali berpegang teguh pada al-Qur’an. Kenyataannya sekarang, banyak kita saksikan, justeru kebahagiaan itu banyak dimiliki oleh umat non Muslim. Mengapa? Menurut pengamatan penulis, karena sebagian besar mereka dalam menjalani kehidupan itu sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam al-Qur’an. Sedangkan umat Islam tidaklah demikian.
Misalnya, di bidang teknologi. Diakui atau tidak, umat Islam adalah termasuk umat yang ketinggalan di bidang yang satu ini. Di antara penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia di bidang teknologi. Kebanyakan umat Islam hanya “numpuk” di bidang keagamaan semata. Padahal jika ditelisik lebih jauh, kemampuan di bidang teknologi juga diharuskan oleh agama Islam selama hal tersebut benar-benar dapat memberi kemanfaatan. Kalau diteruskan, di antara penyebab kurangnya SDM adalah karena sampai sekarang sulit kita temukan lembaga pendidikan (terutama bidang teknologi) yang bermutu yang didirikan oleh umat Islam (yang benar-benar membawa identitas dan karakter Islam). Oleh karena itu, sudah waktunya umat Islam untuk tumbuh dan berkembang untuk menegakkan agama Islam dan menjadikan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘aalamiin.
E. Zakat: Solusi Ekonomi Ummat
Termasuk dalam bidang ekonomi, Ummat Islam masih terpuruk dan berbeda jauh dengan kondisi ekonomi non Muslim. Tidak sedikit terjadi kasus konversi (pindah) agama, karena persoalan ekonomi. Jika kita meyakini bahwa Islam adalah agama yang ajarannya sempurna dan mengandung prinsip-prinsip hidup yang untuk kebahagaiaan manusia, maka pasti dalam Islam ada solusi jitu mengenai penanggulangan masalah ekonomi ummat. Dan ternyata, berdasarkan pengamatan penulis, jawabannya tidak jauh dari kita. ZAKAT, INFAK dan SODAQOH. Itu sebenarnya jawaban terhadap solusi ummat.
Zakat sebagai suatu kewajiban, ditambah dengan mengeluarkan infak dan sodakoh bila dikelola dengan professional, ter-manage dengan baik, maka akan menjadi kekuatan dan solusi bagi krisis ekonomi ummat saat ini. Kondisi yang monoton dan perilaku pemimpin ummat yang “kurang” peduli terhadap masalah zakat, infak dan sodaqoh ini, sepertinya harus segera dihentikan dan disadarkan. Betapa tidak.. inilah sebenarnya yang harus dilakukan.
Penulis teringat sabda rasulullah, yang maknanya adalah bahwa terbangunnya suatu negeri adalah dengan adilnya para umaro (pemerintah), ilmunya Ulama (cendikiawan), dermawannya para hartawan dan do’anya para fakir miskin. Aspek zakat, infak dan sodakoh pun harus dimaknai sebagai bentuk kerjasamanya keempat komponen tadi dalam membangunnya.
Artinya di sini diperlukan pemerintahan yang peduli terhadap ekonomi ummat, dengan menggandeng para ulama dan hartawan untuk membantu fakir miskin dengan menggalang zakat, infak dan sodakoh. Ingat kasus Prita Mulyasari yang dituntut membayar denda sebesar 250 juta oleh RS Omni Internasional, yang ternyata mengundang banyak simpati dan bantuan dari masyarakat luas, tidak terkecuali orang miskin, juga ikut membantu. Uang koin yang terkumpul pun sangat fantastis. Saat tulisan ini ditulis, bantuan uang koin itu sudah mencapai angka 610 juta. Dan itupun masih akan terus bertambah.
Bayangkan…. Bila kondisi tersebut adalah untuk Zakat, infak dan sodakoh. Mungkin akan terasa indah. Zakat adalah salah satu kewajiban umat Islam terpenting dan merupakan pilar tegaknya agama Islam. Siapapun yang telah memiliki harta kekayaan melewati nishob (batas minimal) dan telah memenuhi haul (putaran masa) wajib untuk membayarkan zakat harta tersebut. Begitu pentingnya kewajiban membayar zakat ini bagi tegaknya Islam, sampai - sampai Khalifah Abu Bakar memerangi qabilah yang menolak membayar zakat. Maka dari itu perlu dilakukan sosialisasi sistem perekonomian islam dalam mengoptimalkan fungsi zakat.
Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam system Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjadi puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
a. keselamatan keyakinan agama ( al din)
b. kesalamatan jiwa (al nafs)
c. keselamatan akal (al aql)
d. keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
e. keselamatan harta benda (al mal)

Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu
3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
6. Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka yang dimaksud “Pengelolaan Zakat” adalah kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Sebelum mendiskusikan tentang pengelolaan zakat maka yang perlu pertama kali di dibicarakan adalah menentukan VISI dan MISI dari lembaga zakat yang akan dibentuk. Bagaimana Visi lembaga zakat yang akan dibentuk serta misi apa yang hendak dijalankan guna menggapai visi yang telah ditetapkan, akan sangat mewarnai gerak dan arah yang hendak dituju dari pembentukan lembaga zakat tersebut. Visi dan misi ini harus disosialisasikan kepada segenap pengurus agar menjadi pedoman dan arah dari setiap kebijakan atau keputusan yang diambil. Sehingga lembaga zakat yang dibentuk memiliki arah dan sasaran yang professional.

Tujuan besar dilaksanakannya pengelolaan zakat adalah :
1. Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat. Sebagaimana realitas yang ada dimasyarakat bahwa sebagian besar umat Islam yang kaya (mampu) belum menunaikan ibadah zakatnya, jelas ini bukan persoalan “kemampuan” akan tetapi adalah tentang “kesadaran ibadah zakat” yang kurang terutama dari umat Islam sendiri. Hal ini menyimpan pekerjaan rumah tersendiri bagaimana secara umum umat Islam meningkat kesadaran beragamanya.
2. Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Zakat adalah merupakan salah satu institusi yang dapat dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau menghapuskan derajad kemiskinan masyarakat serta mendorong terjadinya keadilan distribusi harta. Karena zakat itu dipungut dari orang-orang kaya untuk kemudian didistribusikan kepada mustadz’afiin (fakir miskin) di daerah dimana zakat itu dipungut. Jelas hal ini akan terjadi aliran dana dari para aghniya kepada dhuafa dalam berbagai bentuknya mulai dari kelompok konsumtif maupun produktif (investasi). Maka secara sadar, penunaian zakat akan membangkitkan solidaritas sosial, mengurangi kesenjangan sosial dan pada gilirannya akan mengurangi derajad kejahatan ditengah masyarakat. Lembaga zakat harus memahami peranan ini, sebagaimana Qur’an sendiri menfirmankan, “… Kaila yakuna dhulatan Bainal Aghniya’a Minkum…” yang artinya: agar harta itu tidak saja beredar diantara orang-orang kaya saja disekitarmu.
3. Meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat. Setiap lembaga zakat sebaiknya memiliki database tentang muzakki dan mustahiq. Profil muzakki perlu didata untuk mengetahui potensi-potensi atau peluang untuk melakukan sosialisasi maupun pembinaan kepada muzakki. Muzakki adalah nasabah kita seumur hidup, maka perlu adanya perhatian dan pembinaan yang memadai guna memupuk nilai kepercayaannya. Terhadap mustahiqpun juga demikian, program pendistribusian dan pendayagunaan harus diarahkan sejauh mana mustahiq tersebut dapat meningkatkan kualitas kehidupannya, dari status mustahiq berubah menjadi muzakki.

Ada dua kelembagaan pengelola zakat yang diakui pemerintah, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Kedua-duanya telah mendapat payung perlindungan dari pemerintah. Wujud perlindungan pemerintah terhadap kelembagaan pengelola zakat tersebut adalah Undang-Undang RI Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, serta Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Disamping memberikan perlindungan hukum pemerintah juga berkewajiban memberikan pembinaan serta pengawasan terhadap kelembagaan BAZ dan LAZ di semua tingkatannya mulai ditingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota sampai Kecamatan. Dan pemerintah berhak melakukan peninjauan ulang (pencabutan ijin) bila lembaga zakat tersebut melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap pengelolaan dana yang dikumpulkan masyarakat baik berupa zakat, infaq, sadaqah, & wakaf.

Untuk mendapatkan sertifikasi atau pengukuhan dari pemerintah, setiap Lembaga Amil Zakat mengajukan permohonan kepada pemerintah dengan melampirkan :
1. Akte pendirian (berbadan hukum)
2. Data (base) muzakki dan mustahiq.
3. Daftar susunan pengurus.
4. Rencana program kerja jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang
5. Neraca atau laporan posisi keuangan
6. Surat pernyataan kesediaan untuk diaudit oleh lembaga yang independen.

Selanjutnya setiap lembaga zakat yang telah mendapat sertifikasi dari pemerintah berkewajiban:
1. Segera melakukan kegiatan sesuai dengan program kerja yang dicanangkan.
2. Menyusun laporan termasuk laporan keuangan
3. Membuat publikasi laporan keuangan yang telah diaudit melalui media massa.
4. Menyerahkan laporan kepada pemerintah.

Teknis operasional pengelolaan zakat dilakukan oleh amil dengan beberapa kriteria, yaitu memiliki sifat amanah, mempunyai visi dan misi, berdedikasi, professional dan berintegritas tinggi

F. Urgensi Peningkatkan Peran Lembaga-lembaga dan Badan Amil Zakat

”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” (At-Taubah : 103)

Ayat di atas menjelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzaki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Yang bertugas mengambil dan yang menjemput itu adalah para petugas (Amil) zakat. Menurut Imam Qurthubi Amil itu adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam/pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung, dan mencatat zakat yang diambil dari para muzaki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Pada zaman Rasulullah SAW, beliau pernah mempekerjakan seorang pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim. Beliau juga pernah mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi Amil zakat. Selain Ali bin Abi Thalib, Rasulullah juga pernah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, yang disamping bertugas sebagai dai (menjelaskan Islam secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi Amil Zakat.

Sejarah perjalanan profesi Amil Zakat telah di torehkan berabad abad silam. Dan telah di contohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Di Indonesia sejarah kelahiran Amil zakat telah di gagas sejak 13 abad yang silam. Saat Islam mulai masuk ke bumi nusantara. Sejak itu cahaya islam menerangi tanah air yang membentang dari Aceh hingga Papua. Setahap demi setahap masyarakat di berbagai daerah mulai mengenal, memahami dan akhirnya mempraktekkan Islam. Namun dalam perjalanan yang telah melewati masa berabad-abad tersebut, praktek pengelolaan zakat masih dilakukan dengan sangat sederhana dan alamiah. Setelah melewati fase pengelolaan zakat secara individual, sebgai kaum muslimin di Indonesia menyadari perlunya peningkatan kualitas pengelolaan zakat. Masyarakat mulai merasakan perlunya lembaga pengelola zakat, infaq dan sedekah. Dorongan untuk melembagakan pengelolaan zakat ini terus menguat.

Hingga saat ini pertumbuhan Lembaga Amil Zakat dari tahun ke tahun terus berkembang dan cukup membanggakan. Dari pertumbuhan ini dapat disimak lebih dalam bagaimana LAZ itu bergeliat mengelola dana zakat, infaq dan sedekah. Salah satu tampak jelas adanya transparansi dan akuntabilitas dana-dana publik yang diamanahkan kepada lembaga zakat. Lahirnya lembaga amil zakat juga menyemangati masyarakat untuk membayar zakat melalui lembaga. Dari sisi kompetensi, Amil zakat dituntut untuk profesional, amanah dan memahami fikih serta manajemen zakat.

Aktivitas Amil menurut Dr Yusuf Qardawi, Amil adalah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, mulai dari para pengumpul sampai kepada bendahara dan para penjaganya. Juga mulai dari pencatat sampai kepada penghitung yang mencatat keluar masuk zakat, dan membagi kepada mustahiknya.

Salah satu aktivitas amil adalah melakukan kegiatan penggalangan dana zakat, infaq, sedekah dan wakaf dari masyarakat. Baik individu, kelompok organisasi dan perusahan yang akan disalurkan dan didayagunakan untuk mustahik atau penerima zakat. Dalam hal ini amil dituntut kompetensinya untuk merancang strategi penghimpunan yang efektif. Mulai dari memahami motivasi donatur, (muzaki), program dan metodenya. Secara manajemen, lembaga pengelola zakat telah melakukan berbagai perubahan.
G. Penutup : Islam Masa Depan
Di bagian ini, penulis hanya ingin menegaskan kembali bahwa, tiada jalan lain untuk meraih kebahagiaan hidup dunia akhirat, kecuali kembali melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang telah termaktub secara jelas dalam al-Qur’an. Umat Islam tidak boleh lagi kalah dengan umat lain yang notabene tidak memiliki kitab suci yang paling lengkap. Umat Islam tidak boleh hanya menjadi “penonton” (objek) di dunia fana ini, tetapi umat Islam harus benar-benar menjadi ‘pemain” (subjek) yang hebat untuk mengarungi samudera kehidupan.
Kalau sekarang umat Islam belum memiliki perguruan tinggi yang bagus, unggul, dan bermartabat, maka ke depan umat Islam harus berani dan mampu untuk mewujudkan perguruan tinggi yang benar-benar dapat diandalkan, baik dari sarana fisik, sumber daya manusia, sumber dana, hingga lulusannya. Kalau sekarang umat Islam belum memiliki restoran, hotel, rumah sakit dan sejenisnya yang representatif, maka ke depan sudah harus punya. Kalau sampai hari ini masih banyak umat Islam yang bekerja di perusahaan-perusahaan asing, maka nanti umat Islam harus memiliki perusahaan-perusahaan besar yang dapat menyerap banyak tenaga kerja sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan. Juga tidak lupa, bila saat ini ummat islam belum memiliki lembaga pengelola zakat, infak dan sodaqoh yang professional dan amanah dalam penyalurannya, ke depan harus ada lembaga milik ummat yang dikelola dengan baik, didukung oleh pemerintah, ulama dan para hartawan.hingga ummat Islam dapat menjadi lebih sejahtera.
Yang lebih penting dari semua hal tersebut, adalah masalah pendidikan. Hemat penulis, yang merupakan akar dari segala problem di atas adalah pendidikan. Yaitu, sampai sekarang masih belum ditemukan lembaga pendidikan Islam –dasar, menengah hingga perguruan tinggi- yang benar-benar menjadi rujukan umat Islam itu sendiri apalagi umat lain. Idealnya, minimal ada satu lembaga pendidikan yang benar-benar dapat menjadi referensi orang Islam, di mana lembaga tersebut harus menyediakan wadah untuk belajar (sekaligus sumber ilmu) dari berbagai displin kelimuan. Bukan hanya keagamaan saja, melainkan harus juga terdapat disiplin ilmu umum, seperti Teknik, Kedokteran, MIPA, Ekonomi, Sosial Politik, Humaniora dan Budaya, dan sejenisnya. Intinya ilmu yang harus dikembangkan adalah ilmu-ilmu yang dapat mengikuti perkembangan zaman secara dinamis. Dengan demikian, insyaallah umat Islam akan dapat kembali meraih kejayaan yang pernah dialami masa lalu dan Islam menjadi rahmatan lil ‘alamiin. Semoga…..

Ciaul, 1 Muharam 1431 H
18 Desember 2009 M