06 Januari 2009

KONSEP HUMAN INVESTMENT DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN MASYARAKAT

Oleh : Mulyawan S. Nugraha

A.Latar Belakang Masalah
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembangunan suatu bangsa. Berbagai kajian di banyak Negara menunjukan kuatnya hubungan antara pendidikan (sebagai sarana pengembangan sumber daya manusia manusia) dengan tingkat perkembangan bangsa-bangsa tersebut yang ditunjukkan oleh berbagai indikator ekonomi dan social budaya. Pendidikan yang mampu memfasilitasi perubahan adalah pendidikan yang merata, bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakatnya.
Pembangunan nasional yang kita laksanakan adalah manifestasi tanggung jawab kebangsaan dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Pembangunan bidang pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah ersama masyarakat merupakan upaya pengejawantahan salah satu cita-¬cita nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Proses pencerdasan bangsa dilakukan baik melalui jalur sekoelah maupun jalur luar sekolah. Pada gilirannya, kesempatan mem¬peroleh pendidikan untuk semua (education for all) semakin dirasakan masyarakat, karena pendidikan dijadikan kebutuhan pokok (basic needs) dalam kehidupan masyarakat.
Kemudian, pembangunan bidang pendidikan mengemban misi pemerataan pendidikan yang menimbulkan ledakan pendidikan (education explosion). Hal itu memberikan peningkatan mutu secara sangat signifikan dalam pengembangan sumber daya manusia (human resources development) bangsa kita. Strategi pendidikan nasional ketika itu adalah popularisasi pendidikan yang mengakar pada pemerataan pendidikan. Lebih jauh semakin dirasakan bahwa pembangunan sekolah-sekolah memiliki fungsi strategis bagi peningkatan kualitas warga negara, harkat, dan martabat bangsa Indonesia.
Pada tahun 1984, kita telah berhasil melaksanakan wajib belajar 6 tahun. Bahkan atas keberhasilan tersebut, United Na¬tions Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) memberikan penghargaan Avicenna kepada presiden RI. Kemudian tahun 1994 dilanjutkan dengan gerakan wajib belajar 9 tahun sebagai usaha peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan. Untuk memperbaiki mutu proses pencerdasan bangsa yang berkelanjutan, pelaksanaan pendidikan jalur sekolah melalui pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi serta pendidikan jalur luar sekolah, maka perlu disinergikan aktivitasnya. Lembaga pendidikan harus menempatkan dirinya sebagai pusat keunggulan (center of excellence) dalam pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) bangsa In¬donesia. Karena itu, kualitas pendidikan nasional perlu terus ditingkatkan yang dilaksanakan sebagai bagian integral dari program pembangunan nasional (Syafaruddin, 2002: 2).
Pembangunan bidang pendidikan di Indonesia memiliki kerangka hukum (legal frame work) yang kuat sejak. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. " Oleh karena itu, seluruh jalur, jenis, dan jenjang pendidikan diakomodasi dan dibina dalam suatu sistem pendidikan nasional.
Keberadaan lulusan lembaga pendidikan merupakan SDM yang menjadi subjek dan objek pembangunan yang perlu terus ditingkatkan kualitasnya. Semua jalur pendidikan dalam fungsi, proses, dan aktivitasnya, harus bermuara pada pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Makalah ini mencoba menganalisis Konsep human investment dalam konteks pembangunan masyarakat. Pokok bahasan ini mengkaji konsep educated people, multiflying effects, kecerdasan menurut mukadimah UUD'45, dimensi dan pendekatan human investment.

B. Konsep educated people
Konsep educated people (masyarakat terdidik) pada hakikatnya merupakan konsekwensi dari kebutuhan masyarakat dalam perubahan dan kebutuhan kehidupan. Amanat UUD 1945 mengatakan bahwa pemerintah akan mewujudkan suatu system pendidikan yang mencerdaskan rakyat. Artinya pendidikan yang mampu ngantarkan rakyatnya menjadi manusia manusia terdidik yang mampu menghadapi kehidupan dengan sebaiknya dalam kerangka mencapai tujuan nasional.
Dalam penelitiannya, Giddens, seperti dikutip oleh Tillar (2008:120), menyebutkan bahwa dalam proses demokrasi terjadi suatu proses yang rasional. Oleh sebab itu dibutuhkan anggota di dalam masyarakat yang demokratis memiliki kemampuan untuk menimbang dan mengambil keputusan yang rasional dan menguntungka seluruh masyarakat. Sudah dapat diterka, bahwa anggota masyarakat yang demikian adalah masyarakat yang terdidik (educated people).
Masyarakat yang terdidik atau cerdas adalah masyarakat yang terbuka yang dapat melihat secara transparan dan jernih keputusan yang diambil bersama serta melaksanakan keputusan tersebut. Inilah yang disebut prinsip akuntabilitas di dalam masyarakat demokratis, di mana kekuasaan bukan merupakan penerapan keinginan dari sekolompok kecil yang duduk di dalam pemerintahan atau tampuk kekuasaan, tetapi keputusan yang akuntabel yang lahir dari bawah.
Keputusan bersama itu telah dicapai melalui melalui suatu proses partisipasi dari para anggotanya.partisipasi yang reflektif dari para anggotanya hanya dapat diperoleh apabila para anggotanya adalah orang-orang yang cerdas, terdidik, yang tidak tertekan, yang tidak membeo, dan tidak mengikuti pendapat-pendapat yang tidak rasional.

C. Multiplying effects
Peranan dan fungsi multiplying effects manusia terdidik sebagai hasil investasi pendiddikan seperti diungkapkan Cheng (1996:7) bahwa bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan.
Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.

D. Kecerdasan Menurut Mukadimah UUD'45
Dalam mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 tersurat dan tersirat secara jelas bahwa salah satu tujuan nasional yang dirumuskan oleh para pendiri negeri ini adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Makna fundamental yang terkandung dalam pesan tersebut ialah bahwa kekuatan dan kemajuan suatu bangsa terletak dalam kualitas sumber daya manusianya. Kata kunci pengembangan sumber daya manusia ialah “pendidikan” bagi seluruh warga negara yang berlangsung sepanjang hayat sejak dari dalam keluarga, di sekolah, dan di dalam keluarga secara keseluruhan.
Keberadaan lulusan lembaga pendidikan merupakan SDM yang menjadi subjek dan objek pembangunan yang perlu terus ditingkatkan kualitasnya. Semua jalur pendidikan dalam fungsi, proses, dan aktivitasnya, harus bermuara pada pencapaian tujuan pendidikan nasional. Konsekuensinya adalah seluruh jalur, jenjang, dan jenis pendidikan di Indonesia bermuara pada pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut dalam wujud manusia Indonesia seutuhnya.
UNESCO (1996) dalam buku Learning: The Treasure Within telah mencanangkan empat pilar pendidikan abad ke-21 yang perlu diterapkan konsepnya dalam pendidikan nasional, yaitu: (1) belajar untuk mengetahui (learning to know), (2) belajar untuk melakukan sesuatu/bekerja terampil (learning to do), (3) belajar untuk menjadi seseorang/pribadi (learning to be), dan (4) belajar untuk menjalani kehidupan bersama (learning to live together). Dalam konteks keindonesiaan, sistem pendidikan nasional berkewajiban mempersiapkan setiap warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan dengan cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa. Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lembaga nonformal, bahkan di tempat kerja. Pendidikan jalur sekolah dan jalur luar sekolah secara bersama menjalankan fungsi untuk mencapai empat pilar pendidikan yang harus ada dalam tujuan pendidikan nasional kita.
Sebagai suatu subsistem dari sistem nasional, pendidikan dipengaruhi oleh subsistem ekonomi, politik, hukum, dan budaya yang berkembang. Di samping itu, sebagai sistem itu sendiri pendidikan nasional merupakan sistem terbuka (open system) yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya. Manajemen dan kepemimpinan pendidikan, sumber daya manusia (pendidik, pegawai), sumber daya material (sarana dan fasilitas), kurikulum, pembiayaan, dan organisasi pendidikan sebagai faktor internal, senantiasa dipengaruhi lingkungan eksternal yang mencakup regional dan internasional.

E. Dimensi dan Pendekatan Human Investment
Pendidikan merupakan barang investasi (invesment goods) yang berarti sejumlah pengeluaran untuk mendukung pendidikan yang dilakukan orang tua, masyarakat dan pemerintah dalam jangka pendek untuk mendapatkan manfaat dalam jangka panjang. Keluarga, masyarakat dan pemerintah rela melakukan pengorbanan untuk kepentingan pendidikan demi manfaat dimasa depan.
Pengelola pendidikan adalah pihak yang terkait langsung dengan proses pendidikan. Pendidikan tidak ubahnya dengan proses produksi yang bergerak untuk merubah serangkaian sumber-sumber menjadi output atau keluaran. Dengan demikian proses pendidikan adalah tindakan merubah sumber-sumber pendidikan menjadi keluaran pendidikan.
Pendidikan berbasis pemerintah, dan pendidikan berbasis masyarakat serta keluarga merupakan pengelola pendidik yang sesungguhnya terjadi di negeri ini. Pengelola-pengelola inilah yang melakukan proses pendidikan. Pengelola pendidikan dalam nlelakukan proses pendidikan menghadapi berbagai masalah antara lain, Pertama, keluaran pendidikan yang bagaimana yang dikehendaki. Kedua, sumber-sumber pendidikan dan kombinasi yang bagaimana yang diperlukan. Biasanya pengelola pendidikan memiliki tujuan yang tidak jauh berbeda dengan pengelola bisnis pada umumnya
Pendidikan sebagai suatu lembaga tidak langsung menghasilkan produk tetapi terjadi melalui usaha pemberian jasa baik oleh tenaga pengajar, administrasi maupun pengelola. Keluaran pendidikan bukan barang yang dapat di konsumsi bersamaan dengan waktu dihasilkan, bukan sesuatu yang berwujud. Berbagai definisi diberikan tentang jasa pelayanan, salah satu diantaranya mengatakan bahwa usaha pelayanan jasa adalah suatu perbuatan dari satu orang/kelompok menawarkan kepada orang lain/kelompok, sesuatu yang tidak berwujud, produknya berkaitan atau tidak dengan fisik produk (Kotler 2000), karena itulah dapat dikatal:an bahwa pendidikan adalah suatu usaha yang bergerak dibidang jasa. Karena itu perlu memperhatikan aspek-aspek pembiayaan agar dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Masyarakat dunia saat ini sudah dihadapkan pada situasi yang menggelobal, globalisasi demikian istilah yang sering didengar. Globalisasi merupakan proses masuknya ke ruang lingkup dunia. Globalisasi tersebut memiliki konsekuensi terjadinya perubahan dalam segala tatanan kehidupan, tidak hanya dihadapi oleh sektor pendidikan akan tetapi semua sektor yang ada turut menghadapinya, globalisasi mau tidak mau harus dihadapi.
Syafaruddin (2002: 5) menjelaskan dua acuan dalam memahami arti globalisasi tersebut yaitu Thinks, and Acts. Dua kata kerja aktif yaitu berpikir (Thinks) dan bertindak (Acts). Agar dapat berpikir dan bertindak sehingga dapat mengambil manfaat positif maka diperlukan kualitas berpikir dan kualitas bertindak. Kualitas tersebut hanya akan terjadi apabila ada semacam perubahan kualitas pandangan masyarakat, perubahan kualitas pandangan masyarakat hanya akan terjadi melalui proses pendidikan. Sehingga tidak berlebihan apabila globalisasi yang akan dihadapi dengan berpikir dan bertindak tersebut hanya akan mendapatkan hasil yang optimal melalui pelaksanaan proses pendidikan yang berkualitas dan atau bermutu yang mampu nnrnjawab tuntutan yang global tersebut.
Kualitas pendidikan meliputi pertama, produk pendidikan yang dihasilkan berupa persentase peserta didik yang berhasil lulus dari lulusan tersebut dapat diserap oleh lapangan kerja yang tersedia atau membuka lapangan kerja sendiri, baik dengan cara meniru yang sudah ada atau menciptakan yang baru. Kedua, Proses pendidikannya sendiri, proses pendidikan ini menyangkut pengelolaan kelas yang scsuai pada kondisi kelas yang relatif kecil, penggunaan metode pengajaran yang tepat serta pada lingkungan masyarakat yang kondusif. Ketiga, adanya kontrol pada sumber-sumber pendidikan (inputs) yang ada.
Secara umum kualitas pendidikan tersebut diwarnai empat kriteria yaitu pertama, kualitas awal peserta didik. Kedua, penggunaan dan pemilihan sumber-sumber pendidikan yang berkualitas. Ketiga, proses belajar dan mengajar. Keempat, keluaran pendidikan. Berbagai masalah yang terjadi dan belum terciptanya kualitas atau mutu pendidikan yang dicita-citakan, mensyaratkan bahwa pendidikan di Indonesia harus terus dibangun dan dibenahi.
Empat aspek sasaran pembangunan pendidikan yang ada adalah: Pertama, pembangunan pendidikan harus dapat menjamin kesempatan belajar bagi warga masyarakat secara keseluruhan. Kedua, pembangunan pendidikan harus memiliki relevansi, yaitu proses pendidikan yang dilakukan dan lulusannya harus dapat memenuhi kebutuhan industri. Ketiga, pembangunan pendidikan harus diarahkan pada mutu pengajaran dan lulusan. Pengembangan mutu ini akan tergantung dari efektivitas belajar mengajar dan sumber daya pendidikan seperti guru yang bermutu, dana memadai, fasilitas dan infrastruktur yang memadai pula. Keempat, pembangunan pendidikan harus mengarah pada terciptanya efisiensi pengelolaan pendidikan, efisiensi pengelolaan pendidikan akan tercapai apabila tujuan pendidikan tercapai (Ministry of Education and Cultural, 1992). Pembangunan pendidikan tersebut memiliki tujuan pada terciptanya kualitas pendidikan.
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement) telah berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.
Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggal penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Investement in human capital” dihadapan The American Economic Association merupakan peletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi (Fattah, 2004: 5)
Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang lainnya turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini.
Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investement) dan menjadi leading sector atau salah satu sektor utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitment politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.
Hasil penelitian yang dilakukan Bramley (1991:9) mengemukakan bahwa “Ada beberapa hasil efektif dari pendidikan untuk peningkatan kualitas SDM, yaitu: pencapaian tujuan, peningkatan kualitas sumber daya (SDM dan sumber daya lain), kepuasan pelanggan, dan perbaikan proses internal.”
Sebelumnya, Sutermeister (1976:3) mengemukakan bahwa “Perubahan dan peningkatan kualitas SDM dipengaruhi oleh pendidikan. Pendidikan diperhitungkan sebagai faktor penentu keberhasilan seseorang, baik secara sosial maupun ekonomi. Nilai pendidikan merupakan aset moral, yaitu dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dalam pendidikan merupakan investasi. Pandangan ini ditinjau dari sudut human capital (SDM sebagai unsur modal).”
Beberapa penelitian neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program bantuan internasionalnya di berbagai negara. Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya.
Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.
Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu komponen integral dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus meliputi suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Pengembangan SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return).
Sejumlah hubungan telah diuji dalam rangka kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank Dunia mengenai 83 negara sedang berkembang menunjukan bahwa di 10 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek hurup pada tahun 1960 rata-rata 16 persen lebih tinggi daripada nehara-negara lain. Juga telah digambarkan bahwa investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap produktivitas individu dan penghasilannya. Kebanyakan bukti berasal dari pertanian. Kajian antara poetani yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan di negara-negara berpendapa tan rendah menunjukan, ketika masukan-masukan seperti pupuk dan bibit unggul tersedia untuk teknik-teknik usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seorang petani yang tidak berpendidikan. Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para petani yang berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World Bank, World Development Report, 1980).
Peranan wanita dalam mengasuh dan membesarkan anak begitu penting sehingga membuat pendidikan bagi anak perempuan menjadi sangat berarti. Studi-studi menunjukan adanya orelasi signifikan antara tingkat pendidikan ibu dan status gizi anaknya dan angka harapan hidup. Lebih jauh, manfaat kesehatan dan gizi yang lebih baik dan tingkat fertilitas yang lebih rendah yang diakibatkan oleh investasi-investasi lainnya dalam sektor pembangunan lainnya.
Sebuah studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World Development Report 1980 menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of return) terhadap investasi dalam bidnag pendidikan di 44 negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan berada jauh diatas 10 persen.
Investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Suryadi: 1999, 247).
Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Mantan Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kriteria equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan UNESCO.
Itulah sebabnya Profesor Kinosita, seperti dikutip oleh Nurkholis (2008:1) menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Lebih lanjut Kinosita merekomendasikan agar anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
F. Penutup
Berbagai penelitian lainnya relatif selalu menunjukan bahwa nilai balikan modal manusia lebih besar daripada modal fisik. Tidak ada negara di dunia yang mengalami kemajuan pesat dengan dukungan SDM yang rendah pendidikannya. Jadi kalau kita mengharapkan kemajuan pembangunan dengan tidak menjadikan modal manusia (sektor pendidikan) sebagai prasyarat utama, maka sama dengan “si pungguk merindukan bulan”.
Globalisasi ditandai dari pergeseran tiga bidang, yaitu: ekonomi, politik, dan budaya. Dalam bidang ekonomi telah terjadi liberalisasi ekonomi, dalam bidang politik terjadi demokratisasi, dan dalam bidang budaya terjadi univer-salisasi nilai-nilai yang menuntut setiap bangsa membangun jati diri bangsanya. Di sini terjadi suatu pergantian paradigma pada berbagai aspek kehidupan suatu kelompok masyarakat dan bangsa yang disebabkan oleh globalisasi. Konsekuensinya adalah setiap negara dituntut untuk berperan dalam kompetisi global. Harapan itu akan bisa dicapai dengan baik jika didukung oleh SDM berkualitas yang dimiliki oleh setiap bangsa. Isu globalisasi yang gencar dengan tuntutan implementasi ide-ide demokratisasi, penggunaan IPTEK yang canggih, pemeliharaan lingkungan hidup dan penegakan hak asasi manusia (HAM), hanya mungkin terjawab oleh SDM yang bermutu dan memiliki integritas dan profesional. Dengan kata lain, perbaikan mutu (quality improvement) menjadi paradigma baru pendidikan ke depan. Hal yang fenomenal dewasa ini, bahwa untuk sebuah harapan hasil pendidikan bermutu, masyarakat atau orang tua mau membayar mahal biaya sekolah demi masa depan yang lebih baik bagi anak-anaknya.
Kita berada dalam situasi yang kurang menyenangkan, baik dilihat dari ekonomi maupun transisi politik menuju demokrasi, sementara desakan globalisasi terasa menyesakkan dada bagi orang yang peduli terhadap nasib bangsa ini. Dalam situasi inilah tantangan-tantangan harus dijawab, yaitu semakin meningkatnya hubungan ekonomi dan sosial antarbangsa yang berlangsung cepat, persaingan mutu SDM yang dimiliki suatu bangsa dengan bangsa lain, kemungkinan terjadinya eksploitasi negara yang lebih maju, punya modal, dan SDM unggul terhadap negara yang kurang mampu, dan penggunaan iptek yang merusak nilai martabat kemanusiaan (human dignity).
Investasi di bidang pengembangan SDM (human investment) merupakan suatu proses yang panjang dan untuk menunjang keberhasilan perencanaan tersebut, pendidikan dan pelathan harus dijadikan suatu tolok ukur untuk membangun suatu negara. Tetapi pendidikan diibaratkan sebagai suatu kereta yang ditarik kuda, artinya keberhasilan proses pendidikan merupakan kontribusi dari lintas sektoral yaitu tenaga kerja, industri ekonomi, budaya dan lain sebagainya.

Daftar Pustaka
Bramley, Peter. 1991. Evaluating Training Effectiveness. London. The McGraw-Hill Training Series.
Cheng, Yin Cheong. 1996. School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development. Washington D.C: The Palmer Press.
Fattah, Nanang. 2003. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurkolis. 2008. Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang [On line]. Tersedia: http.//www.pendidikan.net. [16 Oktober 2008].
Sidi, Indra DJati. 2003. Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina.
Suryadi, Ace. 1999. Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta.
Sutermeister, Robert A. 1976. People and Productivity. Tokyo:Mc Graw-Hill Books Company.
Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Konsep, Startegi dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.
Tilaar, H.A.R. 2008. Stadarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinajauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta.