22 Maret 2011

IUH.....

Masih nyaritakeun urang Jawa nu ngumbara di tatar Sunda. Hiji waktu budakna nu bungsu gering panas, nya ku manehna teh dibawa ka dokter. Ku tatanggana ditanya, “Ku naon Mas budak teh?”
“Nyeta, panas. Rek dibawa ka dokter.”
Kacaturkeun pasosore tatangga nu tadi nanya panggih deui, “Kumaha Mas budak teh cageur?”
“Alhamdulilah, tadi mah panas kacida, ayeuna mah geus iuh.”

22 Januari 2010

Cara Penulisan Laporan Ilmiah

Format laporan ilmiah
Ada berbagai macam format penulisan .Namun perbedaan di antara format format yang ada jangan terlalu dipermasalahkan. Hal yang perlu diperhatikan adalah:

1. Pembaca dapat memahami dengan jelas bahwa penelitian telah dilakukan tujuan dan hasilnya.
2. Langkah – langkah medannya jelas , agar jika pembaca tertarik dapat mengulang kembali.

Pada dasarnya ada dua bentuk sistematika penulisan ilmiah ,Yaitu penulisan proposal penelitian dan laporan hasil penelitian . Pada umumnya sistematika penulisan proposal penelitian danpenulisan laporan penelitian sebagai berikut :
Bagian awal

1. halaman judul
2. Halamn persetujuan dan pengesahan (pada laporan penelitian ,sebelum halaman kata pengantar dicantumkan intisari /abstrak)
3. Halamn kata pengantar atau prakata
4. Daftar isi
5. Daftar tabel (jika ada)
6. Daftar gambar (jika ada)
7. Daftar lampiran (jika ada)

Bagian Utama
BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
2. Rumusan masalah
3. Tujuan penelitian
4. Ruang lingkup
5. Manfaat penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Landasan teori/ tinjauan teoretis
2. Kerangak teori
3. Kerangka konsep
4. Hipotesis atau pertamyaan penelitian (jika ada hipotesis)

BAB III METODE PENELITIAN ATAU CARA PENELITIAN

* Jenis penelitian
* Populasi sample (untuk penelitian disertai unit penelitian )
* Variabel penelitian (untuk penelitian laboratorium / eksperimental, sebelum variabel penelitian dicantumkan bahan dan alat)
* Definisi operasioanal variabel atau istilah –istilah lain yang digunakan untuk memberi batasan operasional agar jelas yang dimahsud dalam penelitian itu.
* Desain / rancangan penelitian ( tidak harus , kecuali pada penelitian eksperimental)
* Lokasi dan waktu penelitian
* Teknik pengumplan data.
* Instrumen penelitian yang digunakan
* Pengolahan dan Analisis data

Khusus laporan penelitian dilanjutkan dengan bab IV -VI berikut ini :

BAB IV – HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V – KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI – RINGKASAN

Bagian Akhir

1. Daftar pustaka

2. Lampiran – lampiran;
# Instrumen penelitian
# Berbagai data sekunder yang diperlukan
# Anggaran penelitian
# Jadwal penelitian

09 Januari 2010

Rekonstruksi Ideologi Cak Nur di HMI

Oleh: Andito


HANYA dengan Al-Quran dan terjemahnya kita sudah dapat memakai dan ‘memelintir’ ayat-ayat suci dengan bebasnya. Masalah kemampuan bahasa arab, asbab al-nuzul dan tetek bengek lainnya ‘tidak dipentingkan’. Memang lazimnya demikian. Toh, semuanya akan berpusing-pusing pada tafsir. Itu bahasa sadisnya saat kita berhadapan dengan majlis pengajian pada umumnya.
Praktik tadi sungguh berbeda saat kita berhadapan dengan naskah Nilai-nilai Dasar Perjuangan/Nilai Identitas Kader (selanjutnya ditulis NDP), sebuah rumusan Islam yang khas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikan pada 5 Februari 1947. Naskah NDP itu sendiri baru disahkan pada Kongres HMI IX di Malang (Mei 1969).
Untuk memahami, apalagi mengajarkan, NDP kita harus menjalani praktik-praktik ritual tertentu yang tidak sembarang orang dapat melakukannya, mulai dari Basic Training (Latihan Kader I/LK I), pendalaman NDP Pasca LK, Training Up Grading NDP, Senior Course sampai Training Instruktur NDP. Kita juga tidak boleh meninggalkan wirid intensif dengan membaca karya-karya Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Pembalseman Cak Nur
Mengapa hal ini dapat terjadi? Banyak alasan dapat dikemukakan. Pertama, Pembalseman Cak Nur secara sistematis. Pengaguman terhadap Cak Nur membuat semua orang merasa rendah diri ketika berhadapan dengan pemikiran-pemikirannya. Penjara imajinasi ini mengkondisikan Cak Nur laksana Tuhan bagi agama HMI. Ia bersabda di puncak gunung dan umat di bawahnya cuma mengaminkannya. Fobia kritik dijadikan alasan utama melarang dan menghakimi orang agar berbuat hal yang sama sebagaimana dirinya.
Padahal, NDP bukan tafsir kitab suci, juga bukan kumpulan hadis. Orang lupa, Cak Nur yang membuat draft NDP di periode 69-an berbeda dengan Cak Nur millenium baik dari sisi usia, intelektualitas, pengalaman dan lain-lain. NDP merupakan sebuah cara pandang Islam ala Cak Nur muda, yang ekstremnya, belum tentu benar. Repotnya, kader HMI sulit memahami evolusi pemikiran seseorang yang dapat berubah seiring waktu, kontemplasi, dan kedewasaan. Adalah hal biasa pemikiran masa lalu tidak lagi sesuai dengan pemikiran masa kini. Tidak ada alasan untuk takut mengkritik Cak Nur muda.
Mengkritisi NDP tidak ada hubungannya sama sekali dengan penghormatan kepada Cak Nur. Cak Nur tetap kita hormati dan terhormat dengan sendirinya ketika pemikiran-pemikirannya turut memperkaya khazanah pemikiran Islam Indonesia. Cak Nur adalah sedikit tokoh yang pemikiran brilyannya didengar betul oleh paling tidak 4 presiden mulai dari Suharto sampai Gus Dur.
Bias Figur dalam Kerja Kolektif
Kedua, bias personalisasi dalam realitas kolektif. Sesungguhnya perumusan NDP dihasilkan dari kerja kolektif, bukan individual. Beberapa bagian NDP jelas dikerjakan oleh kader muda HMI lainnya, seperti Endang Saefuddin Anshari, Saqib Mahmud, M Dawam Rahardjo dan yang lain. Bukan tidak mungkin terjadi benturan ide dan paradigma satu sama lain. Penguapan konsistensi ideologi dapat berbanding lurus pada wilayah ini.
Ketiga, pada saat itu, arus pemikiran keislaman disemarakkan oleh pertentangan yurisprudensi simbolis antara berbagai organisasi Islam tradisional dan modernis; di sisi lain, terbatasnya wacana keislaman alternatif dan referensi —ditandai dengan sangat minimalnya peredaran buku-buku pemikiran keislaman berbahasa Indonesia— turut memainkan peranan yang tidak sedikit pada gaya bahasa, kedalaman bahasan dan kelengkapan tema NDP. Apalagi saat itu HMI sedang berada pada dua arus besar konflik politis-ideologis, dengan CGMI, dan rezim transisional dari Orla ke Orba.
Dengan seluruh fenomena di atas, wacana-wacana keagamaan alternatif —yang mungkin bukan sesuatu yang “luar biasa” di masa kini— seperti mendapat momentum. Pemikiran-pemikiran radikal, Ahmad Wahib misalnya, menjadi sesuatu yang wah diperhadapkan dengan pemikiran keislaman konvensional saat itu.
Pada posisi inilah kita dapat mencoba memahami mengapa dalam suatu kurun waktu yang panjang, NDP menjadi sesuatu yang khas dan sulit untuk dikoreksi. Keterjagaan momentum ini, secara alamiah, terus “dilestarikan” dengan semakin gemilangnya tokoh-tokoh perumus NDP dalam konstelasi pemikiran sosial keagamaan di Indonesia. Hal berbeda mungkin akan kita temukan seandainya para perumus NDP berevolusi sebagai orang-orang kebanyakan sehingga tidak populer.
Akhirnya, kita juga paham mengapa banyak kader tidak memahami naskah NDP, meskipun membaca berulang kali. Ketidakmengertian dinisbahkan pada kebekuan intelektual mereka dan bukan pada naskahnya. Setiap kali selesai membaca yang berakhir dengan kebingungan, setiap kali itu pula kader seakan berkata bahwa ia ternyata begitu bodoh. Dan masih saja bodoh meskipun telah membaca referensi-referensi lainnya.
Pengapuran Intelektualisme
Keempat, pengapuran intelektualisme, akibat semakin menggejalanya wacana politis praktis ketimbang intelektualisme. HMI yang menang perang bharatayudha melawan PKI/CGMI dan anasir Orla lainnya seperti ketiban pulung. Gelombang besar mahasiswa yang mendaftar sebagai kader HMI baru pasca Orla ternyata tidak berdampak signifikan pada pembaruan dan pematangan teologis. Memang format dan materi perkaderan senantiasa terus berkembang, tapi semua itu tidak dibarengi dengan peninjauan ulang seluruh nilai yang menjadi landasan ideologis HMI.
Perkembangan struktural konstelasi politik dan kesibukan lainnya membuat kader-alumni HMI boleh dikata tidak dapat lagi mencurahkan sedikit perhatian kepada materi-materi utama perkaderan yang mendasar. Bahkan fenomena bombastis di atas dijadikan salah satu alasan untuk tidak menoreh tinta merah pada materi ideologi. Apalagi yang harus diutak-atik, kalau dengan keadaan sekarang saja HMI sudah dapat besar, kader-kadernya banyak yang sudah jadi orang dan menjadi motor di banyak wilayah strategis?
Alih-alih memperbarui, keberadaan NDP diperkokoh dengan polesan dalil-dalil ayat suci sebagai lampiran untuk mencuatkan dimensi keagamaan naskah tersebut. Kongres diadakan sebagai legitimasi naskah. Padahal, perangkat hukum yang menopang bagi kemungkinan diadakannnya sebuah rekonstruksi naskah ideologi sudah cukup memadai.
Lengkaplah sudah mistifikasi NDP. Ia merupakan naskah suci, sakral sehingga anti kritik. Padahal, sakralisasi pada segala sesuatu selain Allah adalah praktik kemusyrikan.
Mengawali Rekonstruksi
Sebagai nilai dasar perjuangan, NDP membutuhkan unsur-unsur penyempurna bagi tumbuhnya sebuah ideologi/paradigma/filsafat hidup/pandangan dunia: Sistematika yang jelas dalam penalaran rasional (filosofis), kemudahan aplikasi teori praktis (sosiologis), efek perubahan individu dan masyarakat.
Penguatan dimensi kemanusiaan yang ada di NDP jelas membawa dampak signifikan. Di satu sisi ia membawa dengan genial pesan-pesan peradaban, agar kader HMI tidak gamang dan takut menghadapi perubahan zaman. Di sisi lain, materi NDP menjauh dari pendekatan filosofis, sesuatu yang selayaknya menjadi titik sentral ideologi. Pendekatan sosiologis membuat Islam ditampilkan sebagai ‘Kehadiran’ yang mendahului ‘Kebenaran’, dasar teologi Kristen, bukan ‘Kebenaran’ mendahului ‘Kehadiran’.
Aspek filosofis di NDP, kalaulah ada, juga berputar-putar pada paradigma Calvinian. Kerancuan aspek filosofis dan sosiologis ketika berhadapan dengan teologi membuat kader semakin percaya bahwa tiada keterkaitan sama sekali antara ruang publik (rasionalisme) dan ruang privat (keimanan). Alih-alih mewartakan kebenaran Islam, pemberian materi NDP menggiring kader pada paradigma Kristen (pada Bab Ketuhanan, Bab Kemanusiaan dan Bab Ilmu Pengetahuan) dan Marxian (pada Bab Individu-Masyarakat dan Bab Keadilan Sosial Ekonomi).
Kesenjangan inilah yang menyebabkan mengapa instruktur NDP cenderung berbeda visi dan pemahaman satu sama lain. Ketidakmampuan memahami konteks historis yang melatarbelakangi perumusan NDP; ketidakmampuan memahami paradigma yang dipakai para perumus; ketidaktahuan batasan liberalisasi NDP; kurangnya referensi perbandingan dalam memahami NDP; dan kurangnya ilmu alat yang dimiliki pemateri NDP dapat dijadikan kambing hitam susulan.
Efeknya, sebagian pemateri NDP, terutama pada LK I, membawa materi seperti pengajian yang monolitik dan dogmatik. Alih-alih menggiring kader menuju kesadaran teologis, instruktur malah membuat kader terhalusinasi pada ghirah kebablasan.
Pemateri NDP cenderung membawa materi dengan paradigmanya masing-masing. Cak Nur difitnah untuk membenarkan keyakinan pemateri. Perlu dicurigai bahwa banyak pemateri yang belum bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran Cak Nur dan studi banding dengan referensi lain yang berhubungan. Di sisi lain, studi kritis NDP dimentahkan oleh alasan bahwa segala penjelasan tentang nasklah ideologi tahun 1969 telah ada di buku-buku Cak Nur yang baru beredar tahun 1990an. Ini tidak logis. Tiada relevansi apa pun antara buku Cak Nur dengan NDP qua NDP.
Nampaknya banyak pihak yang tidak bisa membedakan dengan jernih antara rekonstruksi dan dekonstruksi. Sedari awal tulisan ini hanyalah kritik terhadap pondasi bangunan NDP Cak Nur yang lebih nampak sebagai ‘Natsir Muda’. Namun penulis tetap yakin bahwa nilai-nilai pengubah/perbaikannya masih dapat dilihat pada evolusi pemikiran Cak Nur setelah ia semakin kosmopolit dan universal.
Pada tingkat struktural, bias ideologi berkembang semakin kompleks ketika organisasi dituntut agar memberikan kejelasan arah kaderisasi. Pada satu aspek HMI telah berhasil membentuk kader yang mempunyai karakter ideologis tertentu. Namun pada aspek lain, sebagaimana telah diterangkan di atas, HMI boleh dikata telah gagal membentuk format keislaman yang utuh.
Menjawab keparsialan NDP, instruktur yang mempunyai dalil kuat untuk menolak isi materi NDP Cak Nur bermain dengan kerangkanya sendiri. Pada aspek dinamika intelektual, ia layak diacungi jempol karena mampu membuat sebuah konsep alternatif. Pada aspek struktural, ia dikategorikan menyimpang dari kurikulum baku dan melanggar aturan main organisasi. Apalagi yang ‘didekonstruksi’ adalah materi ideologi.
Menyusun Agenda Rekonstruksi
Niat awal yang melandasi pembuatan rekonstruksi ini adalah bagaimana kita melihat wacana perubahan dalam menatap (naskah) ideologi. Biarkanlah semua pihak menimbang NDP dengan sudut pandangnya masing-masing. Toh semuanya akan dinilai secara objektif lagi proporsional untuk mencari yang terbaik. Dari mana pun datangnya hikmah itu. Yang penting, tidak boleh ada satu pun wilayah yang bebas kritik. Namun hendaknya perlu diingat bahwa sebuah rumusan ideologi senantiasa berisi konsep-konsep umum, bukan semacam juklak atau juknis.
Sudah barang tentu setiap draft tidak boleh disebut sempurna. Masih banyak hal yang perlu dikoreksi, diperjelas dan disempurnakan. Masih banyak tema dan bahasan yang perlu ditambah. Draft rekonstruksi ini juga tidak menafikan keberadaan draft lain yang dibuat oleh perorangan dan/atau institusi lain. Semakin banyak konseptor akan semakin baik. Maka dari itu, sangat disayangkan apabila ada pihak yang menganggap rekonstruksi diarahkan atau dimonopoli oleh seseorang/kelompok tertentu.
Satu hal lain yang perlu dicermati adalah keberadaan senior/instruktur ideologi di daerah masing-masing. Lepas dari kadar keilmuan masing-masing, menurut penulis, mereka layak dikunjungi untuk dimintakan urun rembuknya. Biar bagaimana pun, mereka punya kontribusi tak ternilai bagi perkaderan HMI secara nasional.
Dengan iklim politis HMI yang kental, keterlibatan mereka akan menguatkan rekonstruksi secara konseptual dan faktual, sehingga tidak akan ada ungkapan sinis kepada perekonstruksi, “Anak kemarin mau menandingi Cak Nur?” tentu kita sudah tahu kesalahan logika dari ungkapan melankolis tersebut. Namun dalam ‘dunia politik’ HMI, ketidaksetujuan sebagian kalangan bisa menjadi duri. Alih-alih bicara ideologi, praktiknya adalah saling jegal setiap ide baru. Bukan rahasia, banyak pihak yang tidak setuju atas ide rekonstruksi NDP hanya karena dirinya tidak merasa dilibatkan dalam perumusannya.
Membentuk Tim
Sebuah usulan konseptual cenderung mudah diterima ketika hadir sebagai sebuah kebutuhan kolektif dalam suasana yang kondusif. Pada kondisi yang tidak tepat sebuah tawaran alternatif dari segelintir individu dan/atau institusi, misalnya menjelang suksesi, dapat didramatisasi-dipolitisasi-dinilai secara a priori.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, sebuah tim yang mengakomodasi seluruh perumus dari level komisariat hingga PB perlu dibentuk. Rumusan-rumusan yang terseleksi secara konseptual ini (seleksi I) sebaiknya diuji coba dalam sebuah pilot project yang akan dievaluasi dalam forum khusus (seleksi II) dan diuji kembali (seleksi III). Setelah konsep ini utuh, draft rekonstruksi NDP dapat diajukan dalam Kongres mendatang.
Dengan demikian, gerakan rekonstruksi NDP dapat dilakukan dengan gerakan kultural dan struktural. Pada satu sisi kita mengikuti ketentuan dan hierarki organisasi dengan keputusan akhir tetap di Kongres. Di sisi lain penguatan basis (komisariat/korkom/cabang) tetap dilakukan. Tanpa basa-basi birokrasi, internalisasi NDP dapat dilakukan sedini mungkin. Praktik ini secara alamiah pula dapat dianggap sebagai proses pembentukan Lembaga Pengelola Latihan (LPL) di setiap insitusi cabang, kalau memang belum ada.
Pasca rekonstruksi ideologi, kita perlu juga memikirkan rekonstruksi perkaderan mengingat perubahan materi berimplikasi signifikan pada pembumian materi. NDP yang selama ini diformat dalam satu naskah dapat dikembangkan menjadi tiga naskah dengan titik fokus dan berat yang berbeda mengikuti tingkatan perkaderan formal: basic (LK I), intermediate (LK II) dan advance (LK III).
Merangkai Mimpi
Itu harapan idealnya. Jangan berharap banyak bahwa pada akhir pelaksanaan rekonstruksi berikut segala pelatihan percontohannya akan menghasilkan kader-kader yang menjadi pemikir tercerahkan (rausyan fikr). Eksplorasi wacana ini bukanlah indoktrinasi mekanis seperti yang dilakukan banyak harakah, yang mengalami split personality, menuhankan dirinya karena bingung membedakan pendapatnya dengan ayat-ayat Tuhan yang ditentengnya ke sana ke mari. Juga bukan seperti kebanyakan aktivis rasialis himpunan mahasiswa yang mengalami post-power syndrome, menganggap kebenaran hanya datang dari duli senior.
Pada dirinya sendiri, NDP bukanlah himpunan peraturan operasional yang menawarkan tindakan praktis. Tidak seperti materi-materi informatif lainnya, materi NDP kering dan abstrak sehingga tidak menarik minat banyak kader untuk mengkajinya. Dengan demikian, adalah hal wajar kalau hanya ada segelintir orang yang berhasil tersaring, syukur-syukur menjadi pemateri, dari ramaian peserta kajian atau pelatihan.
Setelah seluruh aktivitas rekonstruksi ini berjalan, boleh kita bermimpi tentang terbentuknya kader yang dapat menggabungkan pengetahuan tradisional dan modern; yang menghimpun nilai-nilai kebijakan secara harmonis. Kader seperti ini tiada pernah meninggalkan dan melupakan dimensi transenden; mempunyai pemahaman yang integral seputar diri/manusia-alam-Tuhan; tidak mudah terseret pada paradigma politis, serta tidak mudah terhegemoni oleh negara. Boleh kita mengharap kader yang menjadi cahaya, yang terang dengan sendirinya dan menerangi segala sesuatu di luar dirinya. Rekonstruksi ideologi adalah sebuah tindakan wajar sebuah organisasi kader ketika ingin mereposisi diri pada dunia yang terus berubah. [andito]

KONSEP ISLAM SEBAGAI RAHMATAN LIL ‘ALAMIIN DALAM SOLUSI PROBLEMATIKA EKONOMI UMMAT

Oleh: Mulyawan SN
Presidium Forum Ukhuwah Islamiyah Warga Ciaul (FU-Warci)
Email: mulyawan77@yahoo.co.id


A. Pendahuluan
Oleh sebagian kalangan, banyak yang berpendapat bahwa al-Qur’an (baca: Islam) sudah “tidak dapat” lagi untuk menyelesaikan problem kehidupan sosial-keagamaan yang terjadi di lapangan. Mereka menilai bahwa al-Qur’an saat ini hanya dapat digunakan untuk menyentuh aspek “habl min Allah ” saja, sedangkan “habl min al-Naas” hanya dapat didekati dengan ilmu-ilmu yang oleh mereka diklaim berasal dari bangsa Barat.
Sebaliknya, masih ada pihak yang tetap mengakui bahwa sampat saat ini al-Qur’an -masih dan akan terus- dapat digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan manusia – bukan hanya untuk umat Islam, tetapi juga untuk umat non Muslim. Pendapat ini, didasari karena hanya al-Qur’an-lah yang dapat dijadikan rujukan sepanjang masa, dan tentunya harus dilakukan penafsiran secara terus-menerus, karena sudah jelas bahwa al-Qur’an berbicara secara umum (mujmal). Oleh sebab itu, tidak heran jika dewasa ini, banyak pihak yang menyerukan untuk menerapkan syariat Islam, mengampanyekan gerakan islamisasi sains, banyak diskusi-diskusi dengan membahas tema-tema al-Qur’an, dan lainnya.
Melalui tulisan ini, akan diungkap bagaimana seharusnya Islam benar-benar dapat menjalankan fungsinya sebagai agama yang rahmatan lil ‘aalamiin dalam kontels solusi problematika ekonomi ummat dengan mengetengahkan kondisi ummat masa lalu, masa kini dan mendatang.
B. Makna Rahmatan Lil ‘Alamiin
Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya titipan dari Allah swt agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah swt untuk dipertanggungjawabkan.

Islam juga merupakan agama yang diturunkan Tuhan untuk menjadi rahmat bagi alam semestanya. Pesan kerahmatan dalam Islam benar-benar tersebar dalam teks-teks Islam, baik Alquran maupun hadis.Kata 'rahman' yang berarti kasih sayang, berikut derivasinya, disebut berulang-ulang dalam jumlah yang begitu besar, lebih dari 90 ayat dalam Alquran. Bahkan, dua kata rahman dan rahim yang diambil dari kata 'rahmat' dan selalu disebut-sebut kaum Muslim setiap hari adalah nama-nama Tuhan sendiri (asmaul husna).
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,

"Sayangilah siapa saja yang ada di muka bumi niscaya Tuhan menyanyanginya."

Alquran, sumber Islam paling otoritatif, menyebutkan misi kerahmatan ini, wamaa ar salnaka illa rahmantan lil'alamin (Aku tidak mengutus Muhammad, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta). Ibnu Abbas, ahli tafsir awal, mengatakan bahwa kerahmatan Allah meliputi orang-orang Mukmin dan orang kafir. Alquran juga menegaskan, rahmat Tuhan meliputi segala hal (QS 7: 156). Karena itu, para ahli tafsir sepakat bahwa rahmat Allah mencakup orang-orang Mukmin dan orang-orang kafir, orang baik ( al-birr ) dan yang jahat ( al-fajir ), serta semua makhluk Allah.

Alquran memiliki posisi yang amat vital dan terhormat dalam masyarakat Muslim di seluruh dunia. Di samping sebagai sumber hukum, pedoman moral, bimbingan ibadah, dan doktrin keimanan, Alquran juga merupakan sumber peradaban yang bersifat historis dan universal.Kehadiran sosok Muhammad Rasulullah dan Alquran ini telah mengubah orientasi cara berpikir masyarakat Arab yang kala itu sangat 'kabilahisme sentris' menjadi berpikir kosmopolit.

Kaitan dengan hal tersebut, baiknya kita lihat bagaimana Islam di masa lalu, masa kini dan masa depan.
C. Islam Masa Lalu
Kita dapat menengok kembali masa-masa romantisme dan kejayaan Islam di sekitar abad 13 H. Pada masa itu, banyak pakar dan ahli yang lahir dari Islam, seperti Ibnu Sina, al-Ghazali, al-Farabi, Ibnu Rusyd, al-Khawarizmi dan lainnya. Mereka dikenal dan diakui bukan hanya ahli dalam bidang “keagamaan” saja (hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan), melainkan juga dikenal mahir dengan disiplin ilmu yang seperti berkembang saat ini, misalnya ilmu kedokteran, ilmu matematika, astronomi, politik, teknik, dan sejenisnya. Sehingga, kalau boleh penulis katakan Islam merupakan agama yang paling lengkap dengan segalanya, karena semua “kebutuhan” manusia –duniawi dan ukhrawi– dapat tercukupi. Sehingga sangat logis dan masuk akal jika ingin mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, maka Islam-lah jawabannya.
Namun, di balik kejayaan tersebut menjadikan umat Islam terlengah. Mereka tidak sadar akan keberadaan dan keaktifan umat di luar Islam yang tengah mengintip kejayaan Islam. Akibatnya banyak karya-karya hebat orang Muslim yang “dirampas” oleh pihak luar yang kemudian dipelajari olehnya sehingga kejayaan yang dimiliki umat Islam sedikit demi sedikit hijrah kepada bangsa Barat. Lambat laun, kejayaan iptek yang dulunya dipegang oleh umat Islam sekarang justeru dikendalikan oleh bangsa Barat. Makanya, tidak heran jika banyak pihak yang beranggapan bahwa ilmu-ilmu modern bukan termasuk ilmu Islam, dan oleh mereka ilmu-ilmu modern itu dianggap sebagai ilmu sekuler yang hanya berorientasi pada duniawi saja. Hal ini karena didasarkan pada kebanyakan ilmu tersebut berasal dari Barat, padahal kalau ditelusuri dalam dokumen sejarah, tidaklah demikian kenyataannya. Yang benar justru sebaliknya. Kenyataan ini merupakan salah satu akibat dari keteledoran umat Islam itu sendiri, sehingga tidak perlu berdebat terlalu jauh untuk mempermasalahkan hal tersebut, melainkan kita juga harus segera berintropeksi diri untuk segera meraih kembali kejayaaan tersebut.
D. Islam Masa Kini
Terkait dengan upaya “kembali” ke Islam ini, sekarang telah banyak pihak/masyarakat kita yang sedang menuju ke arah tersebut. Tengoklah, saat ini sudah mulai banyak pihak yang mendirikan bank syariah, yakni bank yang tidak menggunakan sistem riba, melainkan dengan sistem bagi hasil, banyak lembaga pendidikan Islam yang berkualitas dan bermutu, banyak berdiri perguruan tinggi Islam, adanya perubahan beberapa IAIN/STAIN menjadi UIN, banyak pesantren yang berkualitas, banyak toko buku dan penerbit yang menerbitkan buku-buku dengan tema seputar keislaman, rumah makan dan hotel yang dikelola dengan manajemen islami, bergulirnya konsep pelatihan yang berbasis kecerdasan spiritual, dan lainnya.
Fenomena ini kiranya dapat menunjukkan bahwa manusia sekarang (terutama umat Islam) sudah “sadar” bahwa ternyata dalam ajaran Islam itu sesungguhnya sudah sangat lengkap (complete) untuk dijadikan referensi dalam menjalani roda kehidupan. Al-Qur’an merupakan sumber terlengkap –tiada tandingannya- bagi perjalanan kehidupan manusia, sehingga dapat disimpulkan jika kita ingin “sukses”dalam menjalani kehidupan (dunia sampai akhirat) maka tiada kata lain, kecuali berpegang teguh pada al-Qur’an. Kenyataannya sekarang, banyak kita saksikan, justeru kebahagiaan itu banyak dimiliki oleh umat non Muslim. Mengapa? Menurut pengamatan penulis, karena sebagian besar mereka dalam menjalani kehidupan itu sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam al-Qur’an. Sedangkan umat Islam tidaklah demikian.
Misalnya, di bidang teknologi. Diakui atau tidak, umat Islam adalah termasuk umat yang ketinggalan di bidang yang satu ini. Di antara penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia di bidang teknologi. Kebanyakan umat Islam hanya “numpuk” di bidang keagamaan semata. Padahal jika ditelisik lebih jauh, kemampuan di bidang teknologi juga diharuskan oleh agama Islam selama hal tersebut benar-benar dapat memberi kemanfaatan. Kalau diteruskan, di antara penyebab kurangnya SDM adalah karena sampai sekarang sulit kita temukan lembaga pendidikan (terutama bidang teknologi) yang bermutu yang didirikan oleh umat Islam (yang benar-benar membawa identitas dan karakter Islam). Oleh karena itu, sudah waktunya umat Islam untuk tumbuh dan berkembang untuk menegakkan agama Islam dan menjadikan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘aalamiin.
E. Zakat: Solusi Ekonomi Ummat
Termasuk dalam bidang ekonomi, Ummat Islam masih terpuruk dan berbeda jauh dengan kondisi ekonomi non Muslim. Tidak sedikit terjadi kasus konversi (pindah) agama, karena persoalan ekonomi. Jika kita meyakini bahwa Islam adalah agama yang ajarannya sempurna dan mengandung prinsip-prinsip hidup yang untuk kebahagaiaan manusia, maka pasti dalam Islam ada solusi jitu mengenai penanggulangan masalah ekonomi ummat. Dan ternyata, berdasarkan pengamatan penulis, jawabannya tidak jauh dari kita. ZAKAT, INFAK dan SODAQOH. Itu sebenarnya jawaban terhadap solusi ummat.
Zakat sebagai suatu kewajiban, ditambah dengan mengeluarkan infak dan sodakoh bila dikelola dengan professional, ter-manage dengan baik, maka akan menjadi kekuatan dan solusi bagi krisis ekonomi ummat saat ini. Kondisi yang monoton dan perilaku pemimpin ummat yang “kurang” peduli terhadap masalah zakat, infak dan sodaqoh ini, sepertinya harus segera dihentikan dan disadarkan. Betapa tidak.. inilah sebenarnya yang harus dilakukan.
Penulis teringat sabda rasulullah, yang maknanya adalah bahwa terbangunnya suatu negeri adalah dengan adilnya para umaro (pemerintah), ilmunya Ulama (cendikiawan), dermawannya para hartawan dan do’anya para fakir miskin. Aspek zakat, infak dan sodakoh pun harus dimaknai sebagai bentuk kerjasamanya keempat komponen tadi dalam membangunnya.
Artinya di sini diperlukan pemerintahan yang peduli terhadap ekonomi ummat, dengan menggandeng para ulama dan hartawan untuk membantu fakir miskin dengan menggalang zakat, infak dan sodakoh. Ingat kasus Prita Mulyasari yang dituntut membayar denda sebesar 250 juta oleh RS Omni Internasional, yang ternyata mengundang banyak simpati dan bantuan dari masyarakat luas, tidak terkecuali orang miskin, juga ikut membantu. Uang koin yang terkumpul pun sangat fantastis. Saat tulisan ini ditulis, bantuan uang koin itu sudah mencapai angka 610 juta. Dan itupun masih akan terus bertambah.
Bayangkan…. Bila kondisi tersebut adalah untuk Zakat, infak dan sodakoh. Mungkin akan terasa indah. Zakat adalah salah satu kewajiban umat Islam terpenting dan merupakan pilar tegaknya agama Islam. Siapapun yang telah memiliki harta kekayaan melewati nishob (batas minimal) dan telah memenuhi haul (putaran masa) wajib untuk membayarkan zakat harta tersebut. Begitu pentingnya kewajiban membayar zakat ini bagi tegaknya Islam, sampai - sampai Khalifah Abu Bakar memerangi qabilah yang menolak membayar zakat. Maka dari itu perlu dilakukan sosialisasi sistem perekonomian islam dalam mengoptimalkan fungsi zakat.
Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam system Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjadi puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
a. keselamatan keyakinan agama ( al din)
b. kesalamatan jiwa (al nafs)
c. keselamatan akal (al aql)
d. keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
e. keselamatan harta benda (al mal)

Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu
3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
6. Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka yang dimaksud “Pengelolaan Zakat” adalah kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Sebelum mendiskusikan tentang pengelolaan zakat maka yang perlu pertama kali di dibicarakan adalah menentukan VISI dan MISI dari lembaga zakat yang akan dibentuk. Bagaimana Visi lembaga zakat yang akan dibentuk serta misi apa yang hendak dijalankan guna menggapai visi yang telah ditetapkan, akan sangat mewarnai gerak dan arah yang hendak dituju dari pembentukan lembaga zakat tersebut. Visi dan misi ini harus disosialisasikan kepada segenap pengurus agar menjadi pedoman dan arah dari setiap kebijakan atau keputusan yang diambil. Sehingga lembaga zakat yang dibentuk memiliki arah dan sasaran yang professional.

Tujuan besar dilaksanakannya pengelolaan zakat adalah :
1. Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat. Sebagaimana realitas yang ada dimasyarakat bahwa sebagian besar umat Islam yang kaya (mampu) belum menunaikan ibadah zakatnya, jelas ini bukan persoalan “kemampuan” akan tetapi adalah tentang “kesadaran ibadah zakat” yang kurang terutama dari umat Islam sendiri. Hal ini menyimpan pekerjaan rumah tersendiri bagaimana secara umum umat Islam meningkat kesadaran beragamanya.
2. Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Zakat adalah merupakan salah satu institusi yang dapat dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau menghapuskan derajad kemiskinan masyarakat serta mendorong terjadinya keadilan distribusi harta. Karena zakat itu dipungut dari orang-orang kaya untuk kemudian didistribusikan kepada mustadz’afiin (fakir miskin) di daerah dimana zakat itu dipungut. Jelas hal ini akan terjadi aliran dana dari para aghniya kepada dhuafa dalam berbagai bentuknya mulai dari kelompok konsumtif maupun produktif (investasi). Maka secara sadar, penunaian zakat akan membangkitkan solidaritas sosial, mengurangi kesenjangan sosial dan pada gilirannya akan mengurangi derajad kejahatan ditengah masyarakat. Lembaga zakat harus memahami peranan ini, sebagaimana Qur’an sendiri menfirmankan, “… Kaila yakuna dhulatan Bainal Aghniya’a Minkum…” yang artinya: agar harta itu tidak saja beredar diantara orang-orang kaya saja disekitarmu.
3. Meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat. Setiap lembaga zakat sebaiknya memiliki database tentang muzakki dan mustahiq. Profil muzakki perlu didata untuk mengetahui potensi-potensi atau peluang untuk melakukan sosialisasi maupun pembinaan kepada muzakki. Muzakki adalah nasabah kita seumur hidup, maka perlu adanya perhatian dan pembinaan yang memadai guna memupuk nilai kepercayaannya. Terhadap mustahiqpun juga demikian, program pendistribusian dan pendayagunaan harus diarahkan sejauh mana mustahiq tersebut dapat meningkatkan kualitas kehidupannya, dari status mustahiq berubah menjadi muzakki.

Ada dua kelembagaan pengelola zakat yang diakui pemerintah, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Kedua-duanya telah mendapat payung perlindungan dari pemerintah. Wujud perlindungan pemerintah terhadap kelembagaan pengelola zakat tersebut adalah Undang-Undang RI Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, serta Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Disamping memberikan perlindungan hukum pemerintah juga berkewajiban memberikan pembinaan serta pengawasan terhadap kelembagaan BAZ dan LAZ di semua tingkatannya mulai ditingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota sampai Kecamatan. Dan pemerintah berhak melakukan peninjauan ulang (pencabutan ijin) bila lembaga zakat tersebut melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap pengelolaan dana yang dikumpulkan masyarakat baik berupa zakat, infaq, sadaqah, & wakaf.

Untuk mendapatkan sertifikasi atau pengukuhan dari pemerintah, setiap Lembaga Amil Zakat mengajukan permohonan kepada pemerintah dengan melampirkan :
1. Akte pendirian (berbadan hukum)
2. Data (base) muzakki dan mustahiq.
3. Daftar susunan pengurus.
4. Rencana program kerja jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang
5. Neraca atau laporan posisi keuangan
6. Surat pernyataan kesediaan untuk diaudit oleh lembaga yang independen.

Selanjutnya setiap lembaga zakat yang telah mendapat sertifikasi dari pemerintah berkewajiban:
1. Segera melakukan kegiatan sesuai dengan program kerja yang dicanangkan.
2. Menyusun laporan termasuk laporan keuangan
3. Membuat publikasi laporan keuangan yang telah diaudit melalui media massa.
4. Menyerahkan laporan kepada pemerintah.

Teknis operasional pengelolaan zakat dilakukan oleh amil dengan beberapa kriteria, yaitu memiliki sifat amanah, mempunyai visi dan misi, berdedikasi, professional dan berintegritas tinggi

F. Urgensi Peningkatkan Peran Lembaga-lembaga dan Badan Amil Zakat

”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” (At-Taubah : 103)

Ayat di atas menjelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzaki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Yang bertugas mengambil dan yang menjemput itu adalah para petugas (Amil) zakat. Menurut Imam Qurthubi Amil itu adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam/pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung, dan mencatat zakat yang diambil dari para muzaki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Pada zaman Rasulullah SAW, beliau pernah mempekerjakan seorang pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim. Beliau juga pernah mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi Amil zakat. Selain Ali bin Abi Thalib, Rasulullah juga pernah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, yang disamping bertugas sebagai dai (menjelaskan Islam secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi Amil Zakat.

Sejarah perjalanan profesi Amil Zakat telah di torehkan berabad abad silam. Dan telah di contohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Di Indonesia sejarah kelahiran Amil zakat telah di gagas sejak 13 abad yang silam. Saat Islam mulai masuk ke bumi nusantara. Sejak itu cahaya islam menerangi tanah air yang membentang dari Aceh hingga Papua. Setahap demi setahap masyarakat di berbagai daerah mulai mengenal, memahami dan akhirnya mempraktekkan Islam. Namun dalam perjalanan yang telah melewati masa berabad-abad tersebut, praktek pengelolaan zakat masih dilakukan dengan sangat sederhana dan alamiah. Setelah melewati fase pengelolaan zakat secara individual, sebgai kaum muslimin di Indonesia menyadari perlunya peningkatan kualitas pengelolaan zakat. Masyarakat mulai merasakan perlunya lembaga pengelola zakat, infaq dan sedekah. Dorongan untuk melembagakan pengelolaan zakat ini terus menguat.

Hingga saat ini pertumbuhan Lembaga Amil Zakat dari tahun ke tahun terus berkembang dan cukup membanggakan. Dari pertumbuhan ini dapat disimak lebih dalam bagaimana LAZ itu bergeliat mengelola dana zakat, infaq dan sedekah. Salah satu tampak jelas adanya transparansi dan akuntabilitas dana-dana publik yang diamanahkan kepada lembaga zakat. Lahirnya lembaga amil zakat juga menyemangati masyarakat untuk membayar zakat melalui lembaga. Dari sisi kompetensi, Amil zakat dituntut untuk profesional, amanah dan memahami fikih serta manajemen zakat.

Aktivitas Amil menurut Dr Yusuf Qardawi, Amil adalah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, mulai dari para pengumpul sampai kepada bendahara dan para penjaganya. Juga mulai dari pencatat sampai kepada penghitung yang mencatat keluar masuk zakat, dan membagi kepada mustahiknya.

Salah satu aktivitas amil adalah melakukan kegiatan penggalangan dana zakat, infaq, sedekah dan wakaf dari masyarakat. Baik individu, kelompok organisasi dan perusahan yang akan disalurkan dan didayagunakan untuk mustahik atau penerima zakat. Dalam hal ini amil dituntut kompetensinya untuk merancang strategi penghimpunan yang efektif. Mulai dari memahami motivasi donatur, (muzaki), program dan metodenya. Secara manajemen, lembaga pengelola zakat telah melakukan berbagai perubahan.
G. Penutup : Islam Masa Depan
Di bagian ini, penulis hanya ingin menegaskan kembali bahwa, tiada jalan lain untuk meraih kebahagiaan hidup dunia akhirat, kecuali kembali melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang telah termaktub secara jelas dalam al-Qur’an. Umat Islam tidak boleh lagi kalah dengan umat lain yang notabene tidak memiliki kitab suci yang paling lengkap. Umat Islam tidak boleh hanya menjadi “penonton” (objek) di dunia fana ini, tetapi umat Islam harus benar-benar menjadi ‘pemain” (subjek) yang hebat untuk mengarungi samudera kehidupan.
Kalau sekarang umat Islam belum memiliki perguruan tinggi yang bagus, unggul, dan bermartabat, maka ke depan umat Islam harus berani dan mampu untuk mewujudkan perguruan tinggi yang benar-benar dapat diandalkan, baik dari sarana fisik, sumber daya manusia, sumber dana, hingga lulusannya. Kalau sekarang umat Islam belum memiliki restoran, hotel, rumah sakit dan sejenisnya yang representatif, maka ke depan sudah harus punya. Kalau sampai hari ini masih banyak umat Islam yang bekerja di perusahaan-perusahaan asing, maka nanti umat Islam harus memiliki perusahaan-perusahaan besar yang dapat menyerap banyak tenaga kerja sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan. Juga tidak lupa, bila saat ini ummat islam belum memiliki lembaga pengelola zakat, infak dan sodaqoh yang professional dan amanah dalam penyalurannya, ke depan harus ada lembaga milik ummat yang dikelola dengan baik, didukung oleh pemerintah, ulama dan para hartawan.hingga ummat Islam dapat menjadi lebih sejahtera.
Yang lebih penting dari semua hal tersebut, adalah masalah pendidikan. Hemat penulis, yang merupakan akar dari segala problem di atas adalah pendidikan. Yaitu, sampai sekarang masih belum ditemukan lembaga pendidikan Islam –dasar, menengah hingga perguruan tinggi- yang benar-benar menjadi rujukan umat Islam itu sendiri apalagi umat lain. Idealnya, minimal ada satu lembaga pendidikan yang benar-benar dapat menjadi referensi orang Islam, di mana lembaga tersebut harus menyediakan wadah untuk belajar (sekaligus sumber ilmu) dari berbagai displin kelimuan. Bukan hanya keagamaan saja, melainkan harus juga terdapat disiplin ilmu umum, seperti Teknik, Kedokteran, MIPA, Ekonomi, Sosial Politik, Humaniora dan Budaya, dan sejenisnya. Intinya ilmu yang harus dikembangkan adalah ilmu-ilmu yang dapat mengikuti perkembangan zaman secara dinamis. Dengan demikian, insyaallah umat Islam akan dapat kembali meraih kejayaan yang pernah dialami masa lalu dan Islam menjadi rahmatan lil ‘alamiin. Semoga…..

Ciaul, 1 Muharam 1431 H
18 Desember 2009 M

16 Desember 2009

ISLAM DAN TANTANGAN GLOBALISASI : Berbagai Paradigma Islam dalam Menghadapi Globalisasi

Pengantar

Sebagaimana telah kita ketahui, era globalisasi ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang sedemikian cepat.[1] Kemajuan di bidang ini membuat segala kejadian di negeri yang jauh bahkan di benua yang lain dapat kita ketahui saat itu juga, sementara jarak tempuh yang sedemikian jauh dapat dijangkau dalam waktu yang singkat sehingga dunia ini menjadi seperti sebuah kampung yang kecil, segala sesuatu yang terjadi bisa diketahui dan tempat tertentu bisa dicapai dalam waktu yang amat singkat.[2]

Sulit rasanya meletakkan proses perubahan sosial, budaya dan politik dewasa ini lepas dari perkembangan dinamika global. Kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi memberi pengaruh luas dalam kehidupan sehari-hari, bahkan merombak sistem sosial. Globalisasi ekonomi dan budaya berpengaruh pada penciptaan kultur yang homogen yang mengarah pada penyeragaman selera, konsumsi, gaya hidup, nilai, identitas, dan kepentingan individu. Sebagai produk modernitas, globalisasi tidak hanya memperkenalkan masyarakat di pelosok dunia akan kemajuan dan kecanggihan sains dan teknologi serta prestasi lain seperti instrumen dan institusi modern hasil capaian peradaban Barat sebagai dimensi institusional modernitas, tetapi juga mengintrodusir dimensi budaya modernitas, seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, toleransi, dan hak-hak asasi manusia.

Persoalan-persoalan yang terjadi di suatu negara yang semula disembunyikan atau ditutup-tutupi menjadi transparan dan dapat diketahui secara detail, begitu juga dengan persoalan-persoalan pribadi seseorang yang dipublikasikan melalui media massa. Dalam konteks ekonomi-politik, kenyataan tersebut bahkan dijadikan faktor penting untuk melihat kemungkinan memudarnya batas-batas teritorial negara-bangsa, yang oleh Kenichi Ohmae dibahasakan sebagai “the end of the nation state.”[3]

Dewasa ini, kekuatan kapitalisme global dan perusahaan-perusahaan transnasional bergerak melampaui batas-batas teritorial suatu negara guna melakukan ekspansi ekonomi di berbagai pelosok dunia. Hal mana pada level tertentu telah membawa implikasi makin melemahnya posisi kekuatan ekonomi lokal. Dengan demikian globalisasi juga mengarah pada penguasaan ekonomi di tangan sekelompok kecil pemilik modal, dan akhirnya menuju pada proses homogenisasi. Dalam perspektif cultural studies, hegemoni ini tampak dalam penciptaan pola hidup konsumeristik, dan pop culture, yang memposisikan manusia sebagai obyek distribusi produksi belaka. Meski demikian, yang menjadi titik penting arti globalisasi adalah bahwa ia juga telah memungkinkan tuntutan ke arah demokratisasi transnasional di seluruh penjuru dunia makin meningkat. Tuntutan persamaan hak dan kesejahteraan hidup, kesetaraan derajat, dan desakan terbentuknya keseimbangan tatanan dunia yang lebih adil kian kencang disuarakan. Globalisasi telah membuat dunia makin terbuka, dan melahirkan aneka tuntutan perluasan partisipasi dan pemberdayaan rakyat yang lebih besar. Fenomena ini juga diiringi oleh munculnya berbagai bentuk penegasan kembali identitas-identitas komunal masyarakat. Adanya tuntutan pengakuan atas identitas komunal dan hak budaya lokal sekaligus membuktikan, ada resistensi atas kecenderungan peminggiran, dominasi dan homogenisasi global.

Dalam pengertian yang umum kata globalisasi dipahami sebagai dominasi usaha-usaha besar dan raksasa atas tataniaga dan sistem keuangan internasional yang kita ikuti. Ia juga dipahami sebagai pembentukan selera warga masyarakat secara global/mendunia yang juga turut kita nikmati saat ini. Deretan penjualan “makanan siap-telan” (fast food) menjadi saksi akan pemaknaan seperti itu. Selera kita ditentukan oleh pasar, bukannya menentukan pasar. Dari fakta ini saja sudah cukup untuk menjadi bukti akan kuatnya dominasi tersebut. Pengertian lain globalisasi adalah dominasi komersial dan pengawasan atas sistem finansial dalam hubungan antar-negara, inilah yang sekarang menentukan sekali tata hubungan antara negara-negara yang ada.

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa fenomena globalisasi juga memberikan banyak ancaman bagi kehidupan manusia, dalam konteks Indonesia misalnya, beberapa ancaman globalisasi adalah semakin tidak tertahannya ekspansi kapital, ekspansi investasi, proses produksi dan pemasaran global. Ancaman inilah yang nantinya akan berpengaruh secara langsung --sebab melalui penentuan kebijakan pemerintahan-- bagi proses peminggiran kaum tertindas-terpinggir, semacam: buruh/karyawan, petani, kaum pinggiran kota, guru-pelajar-mahasiswa/ pendidikan, masyarakat lokal. Betapa tidak ? saat ini dengan jelas kita melihat bahwa beberapa kebutuhan “primer” rakyat telah disunat dengan ditiadakan ataupun dikuranginya subsidi; padahal yang kita tahu bahwa kehidupan yang layak, pekerjaan, kekayaan alam, pendidikan adalah kewajiban negara untuk melaksanakannya sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Dasar.

Dengan berjalannya proses tanpa regulasi atau tanggung jawab seluruh perusahaan transnasional yang tidak dibarengi dengan tersedianya suprastruktur dan infrastruktur mengakibatkan semakin berkuasanya pihak perusahaan untuk menentukan segalanya termasuk upah bagi kaum buruh. Dan seperti yang kita ketahui jika posisi tawar calon buruh lemah, maka dapat dipastikan bahwa manusia-manusia Indonesia hanya akan dibayar murah. Begitu pula dengan keberadaan petani, program ketahanan pangan semacam coorporate farming, penggunaan bibit transgenik, Kredit Ketahanan Pangan (KKP)-Kemitraan akan menjadikan petani semakin kerdil di mata perusahaan besar transnasional yang nantinya akan menghilangkan keberadaan petani sebagai penghasil pangan lokal dan bahkan jika petani tak mampu lagi mengikuti “logika pasar bebas” maka kelak petani hanyalah sekedar penonton atas tanah yang telah dikuasai kaum pemodal besar. Hilangnya tanah bagi petani berakibat pula pada peningkatan pengangguran dan angka kemiskinan, sebagaimana yang termuat oleh studi FAO terhadap 16 negara yang mengimplementasikan kesepakatan “Uruguay Round” [4]

Problem diatas masih ditambah lagi dengan “ideologi” yang dianut kapitalisme global yakni kompetisi bebas, efektif, efisien dimana proses di atas hanya bisa dilakukan dengan kesiapan yang telah dibangun lama --dengan tanpa memperhitungkan nilai kemanusiaan sebab pasar dan uang telah menjadi tuhan sekaligus berhala; sekaligus sesuatu hal yang telah direncanakan pihak dunia pertama semenjak lama tanpa melibatkan pemeran-pemeran lainnya-- sehingga upaya mengejar ketinggalan hanyalah sekedar basa-basi seperti halnya keterpesonaan kita terhadap ekonomi pertumbuhan tinggi menuju tinggal landas dan iming-iming menjadi New Asian Tiger.

Proses globalisasi ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan nilai-nilai agama. Realitas ini mendapat respon yang cukup beragam dari kalangan pemikir dan aktivis agama. Agama sebagai sebuah pandangan yang terdiri dari berbagai doktrin dan nilai memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat. Hal ini diakui oleh para pemikir, antara lain Robert N. Bellah dan Jose Casanova, mereka mengakui pentingnya peran agama dalam kehidupan sosial politik masyarakat dunia. [5] Dalam konteks ini agama memainkan peranan yang penting di dalam proses globalisasi. Agama bukan hanya pelengkap tetapi menjadi salah satu komponen penting yang cukup berpengaruh di dalam berbagai proses globalisasi. Karena begitu pentingnya peran agama dalam kehidupan masyarakat, maka perlu kiranya kita memahami sejauh mana posisi agama di dalam merespon berbagai persoalan kemasyarakatan.

Posisi Agama

Agama sebagai sebuah ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan manusia sehari-hari.[6] Agama diturunkan guna memberikan aturan-aturan hidup yang akan membawa kebahagiaan bagi kehidupan manusia. Selain itu agama juga dipandang sebagai instrumen untuk memahami dunia.[7] Namun demikian kehadiran agama selalui disertai dengan “dua muka” (janus face). Pada satu sisi secara inheren agama memiliki identitas yang bersifat “exclusive, particularist”, dan “primordial”. Akan tetapi, pada waktu yang sama agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive, universalist”, dan “transcending”.[8]

Untuk meletakkan hubungan antara keduanya dalam situasi yang lebih empirik, sejumlah pemikir dan aktivis social-politik telah berusaha membangun paradigma yang dipandang memungkinkan. Tentu konstruk pemikiran yang ditawarkan, antara lain dipengaruhi dan dibentuk oleh asal usul teologis dan sosiologis ataupun spacio-temporal serta partikularitas yang melingkupi mereka.[9] Terlepas dari variasi konstruk pemikiran yang ditawarkan, pada dasarnya di dalam memahami posisi agama terhadap persoalan kemasyarakatan ada tiga aliran besar dalam hal ini. Pertama adalah perspektif mekanik-holistik, yang memposisikan hubungan antara agama dan persoalan kemasyarakatan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Kedua adalah pemikiran yang mengajukan proposisi bahwa keduanya merupakan wilayah-wilayah (domains) yang antara satu dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan. Ketiga adalah pandangan tengah yang mencoba mengintegrasikan pandangan-pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan antara agama dan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan perspektif mekanik-holistik yang seringkali melakukan generalisasi bahwa agama selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan.[10]

Berbagai Paradigma Islam dalam Menghadapi Globalisasi

Pada mulanya agama-agama muncul dari unsur kebudayaan sebuah masyarakat sebagai bagian ritus transendental yang didominasi kekuatan mistis. Agama ini lahir dalam bentuk-bentuk yang plural sesuai dengan corak ekonomi sosial tiap-tiap masyarakat pada masanya.[11] Meskipun tidak secara linier bentuk tersebut sesuai dengan kondisi transformasi sosioekonominya, setidaknya fakta telah menunjukkan bahwa agama pada era kini telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan awal kemunculannya. Perubahan nonlinier ini kemudian membentuk beragam kategori. Namun, secara general kualifikasinya hanya menjadi dua bentuk paradigma yang sekarang ada dalam umat Islam. Perspektif ini hampir berlaku pada setiap agama.[12] Demikian pula dengan Islam yang berdiri di atas tiga pilar doktrin dasarnya yaitu akidah, syariah dan akhlak.[13] Dalam perkembangannya mengalami perubahan bentuk aplikasi pemaknaan di kalangan umatnya. Sejalan dengan perubahan tersebut, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini ada dua paradigma fundamental yang berkembang di kalangan umat Islam dalam menghadapi globalisasi yaitu :

1. Paradigma Konservatif

Paradigma pertama ini adalah paradigma yang cenderung bersifat konservatif, yang memposisikan Islam sebagai agama yang memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini dianggap sebagai bagian yang senantiasa berlawanan bahkan mengancam. Dalam dimensi teologi, Tuhan menempati pokok segala kekuasaan yang telah diterjemahkan dalam kajian-kajian pendahulunya dengan peletakan unsur mazhab yang dianggap representatif. Tuhan dengan segala kekuasaannya telah memberikan ukuran dan solusinya sesuai dengan ajaran yang tertulis. Bagi mereka menafsirkan ayat yang berkaitan dengan ketuhanan dengan metode baru adalah kesesatan.

Demikian pula dalam bidang syariat yang menjadi pusat kajian hukumnya. Aspek hukum yang telah ada dalam kitab-kitab tersebut sudah menjadi final untuk dijadikan acuan hukumnya. Alasannya, hukum tersebut murni bersumber dari Alquran dan hadis. Oleh karenanya, tidak ada yang perlu disempurnakan lagi. Realitas sosial politik yang menandai kemunculan hukum-hukum tersebut nyaris tak mendapatkan tempat kajian yang mendalam. Dalam kategori sosiologis Islam seperti di atas, menurut Ali Syariati (1933-1977), Islam hanya menjadi kumpulan-kumpulan dari tradisi asli dan kebiasaan masyarakat yang memperlihatkan suatu semangat kolektif suatu kelompoknya.[14] Ia berisi kumpulan kepercayaan nenek moyang, perasaan individual, tata cara, ritual, aturan, kebiasaan, dan praktik-praktik dari suatu masyarakat yang telah mapan, berlangsung dari generasi ke generasi. Kebiasaan inilah yang biasanya dipelihara oleh penguasa politik untuk melegitimasi kekuasaan. Karena indoktrinasi menjadi bagian yang kuat dalam pemaknaan ajaran agama maka paradigma ini sering pula disebut paradigma konservatif.

Bagi orang-orang Islam berpaham konservatif ini, “ketidakberubahan” (unchangingness) merupakan suatu hal yang ideal bagi individu dan masyarakat serta merupakan suatu persepsi hakikat manusia dan lingkungannya. “Ketidakberubahan” merupakan asumsi berpengaruh luas yang mewarnai hampir seluruh aspek pemahaman kelompok ini.[15] Doktrin “ketidakberubahan”, baik sebagai fakta maupun sebagai cita-cita, barangkali bermula dari pengalaman kehidupan nomadik bangsa Arab, yang mengakibatkan timbulnya paham bahwa keselamatan terletak pada upaya mengikuti jejak para leluhur. Bangsa nomad Arabia tentu saja menyadari perubahan. Suku-suku berhasil dan berkembang semakin meningkat, lalu mengalami nasib pahit, mundur dan terkadang lenyap sekaligus. Namun variasi perubahan seperti itu tidak berarti bahwa pada dasarnya kehidupan mengalami perubahan. Dengan demikian, lebih baik melakukan apa-apa yang telah dilakukan “nenek moyang” sebab dalam banyak hal, cara itu membuahkan hasil yang memuaskan. Iklim Arabia itu tidak menentu dan tak teratur sehingga orang nomad tidak dapat menghindari bencana dengan membuat rencana-rencana cermat, tetapi terpaksa membiasakan diri menerima apa saja yang terjadi pada dirinya.[16] Corak berpikir seperti itu mengakibatkan doktrin mengikuti “jejak leluhur” menjadi opini paling kuat. Segala yang baru pasti akan dicurigai. Dalam teologi Islam, kata yang lazim dipakai untuk “hal baru” ialah bid’ah. Berlandaskan corak pemikiran tersebut akhirnya kelompok Konservatif pun memandang bahwa globalisasi adalah unsur yang sangat mengancam bagi keberlangsungan nilai-nilai Islam.

Bentuk pemahaman konservatif ini dapat dilihat melalui pemahaman kelompok ini di dalam memahami hubungan agama dengan negara. Kelompok ini berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut paham ini pada umumnya berpendirian bahwa : (1). Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. (2). Sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi besar Muhammad dan oleh empat al-Khulafa al-Rasyidin.[17]

Melihat pemahaman tersebut dapat kita mengerti bahwa kelompok ini, sebagaimana telah penulis jabarkan di atas cenderung memposisikan Islam sebagai agama yang serba lengkap, sehingga doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang ada tidak dapat bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam.

2. Paradigma Liberal

Paradigma kedua adalah paradigma yang bersifat antagonistik dengan paradigma konservatif. Islam diasumsikan sebagai agama yang dapat berperan sebagai agen perubahan sosial. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini menjadi komponen yang diterima bahkan menjadi acuan penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang dihadapi umat. Dalam dimensi teologi paradigma ini mengedepankan aspek rasionalisme. Teologi bukan semata menjadi objek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, melainkan sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Paradigma ini berpendirian bahwa walaupun Islam memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama tapi harus dilakukan banyak dekonstruksi terhadap pemahaman doktrin tersebut melalui pengembangan wacana keilmuan yang dapat diperoleh pada sumber-sumber eksternal.

Berkebalikan dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan, dimensi teologi yang mereka ajukan justru menginginkan konsistensi menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Mereka lebih menekankan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga terkadang melampaui garis-garis “larangan” demi mewujudkan teologis humanisnya. Dalam dimensi syariat paradigma ini mengambil hukum-hukum melalui pemahaman yang cenderung terlalu kontekstual, sehingga terkadang mengabaikan tekstualitas dan latar belakang munculnya doktrin-doktrin agama. Mereka juga mengajukan berbagai wacana tentang perlunya tafsir ulang terhadap al-Qur’an dan hadis. Paradigma pemikiran yang cenderung sangat liberal ini sering diistilahkan dengan paradigma liberal.

Secara ringkas, penulis berpendapat bahwa "mazhab" liberal ini sebenarnya berakar pada ide demokrasi. Pemikiran-pemikiran lain sebagai derivatnya akan terlihat sangat bertumpu di atas paham demokrasi ini; seperti gagasan pemisahan negara dengan agama, hak-hak wanita dalam kepemimpinan politik dan kekuasaan, kebebasan penafsiran teks-teks agama, kebebasan berpikir dan berpendapat, toleransi beragama, dialog dan keterbukaan antar agama, pluralisme, demokrasi religius, dan lain-lain.

Pemikiran mengenai hubungan negara dengan agama (Islam) merupakan persoalan krusial yang paling banyak mendapat penolakan dan tantangan dari pengusung Islam liberal. Argumentasi yang sering dipakai: (1) Negara Islam tak pernah dikenal dalam sejarah; (2) Negara adalah kehidupan duniawi, berdimensi rasional, dan kolektif; sedangkan agama berdimensi spiritual dan pribadi; (3) Masalah kenegaraan tidak menjadi bagian integral dari Islam; (4) Islam tidak mengenal konsep pemerintahan definitif, misal dalam suksesi kekuasaan; (5) Rasulullah Muhammad hanya menjadi penyampai risalah, tidak mengepalai suatu institusi politik; (6) Al-Quran dan Sunnah tidak pernah menyebut, "Dirikanlah negara Islam!" dan sebagainya. Penolakan gagasan ini, pada akhirnya mengantarkan pada penerimaan secara total atas ide demokrasi dalam urusan kekuasaan,politik, dan pemerintahan. Konsekuensi berikutnya, menolak kebolehan seorang wanita terlibat dalam urusan kekuasaan adalah bertentangan dengan prinsip demokrasi. Menolak keterlibatan warga negara berdasarkan perbedaan prinsip agama adalah tidak sesuai dengan demokrasi. "Memasung" pikiran dan pendapat bertentangan dengan hak kebebasan dan demokrasi. Mengambil peraturan dan hukum-hukum kemasyarakatan dari satu agama saja (baca: Islam) merupakan diskriminasi atas agama lain, yang berarti sama saja dengan tidak demokratis. Kebebasan dan kebolehan beragamnya menafsirkan teks-teks agama (dalil-dalil) menjadi imbas dari gagasan liberalisasi dan kebebasan berpikir serta berpendapat. Demikianlah, semua pemikiran derivat ini akan berlindung di balik induknya: pemikiran "demokrasi."

Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini dalam memahami hubungan Islam dan negara berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Kelompok ini meyakini bahwa Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara.

Berbagai penjelasan di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa di dalam pemahaman kelompok ini unsur-unsur sosial selain Islam dapat menjadi komponen yang diterima bahkan menjadi acuan penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang dihadapi umat.

Dua paradigma di atas sesungguhnya telah menjadi bagian internal Islam di Indonesia. Paradigma pertama biasanya mengakar pada kalangan kelas bawah yang belum sepenuhnya tersentuh oleh tradisi keilmuan positivisme seperti di pesantren. Sementara paradigma liberal lahir dari rahim generasi muda yang cukup paham terhadap wacana Islam. Namun, juga tersentuh oleh tradisi positivisme dari barat serta memiliki motivasi kuat untuk perubahan sosial. Namun, apakah perkembangan paradigma Islam ini akan hanya berhenti di sini? Inilah sesungguhnya yang harus kita kaji secara mendalam. Yang harus diingat adalah bahwa perubahan kajian ijtihad tersebut berlandaskan aspek perubahan sosial dan mengembalikan semangat pembelaan Islam terhadap umat manusia. Oleh karena itu, pilihan baru harus segera diadakan sebab situasi kekinian telah mengubah transformasi sosial dengan adanya globalisasi.

3. Paradigma Alternatif

Untuk mengintegrasikan dua kubu paradigma yang paradoks ini maka perlu kiranya dikembangkan satu paradigma alternatif, yang mungkin dapat mengkompromikan dua pandangan di atas. Sebab dengan mengkompromikan dua pandangan tersebut paling tidak kita berusaha menjembatani adanya titik temu sebagai salah satu upaya mencari konsepsi final yang paling ideal dalam Islam, meski memang untuk mengejawantahkannya dalam tataran realitas bukanlah persoalan mudah. Paradigma alternatif yang coba penulis tawarkan adalah paradigma moderat yakni paradigma yang cenderung mencoba mengintegrasikan pandangan-pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan Islam dan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan Paradigma Konservatif yang seringkali melakukan generalisasi bahwa Islam selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan. Serta berusaha mengakomodasi dilakukannya pembaruan wacana sesuai dengan diinginkan kalangan liberal dengan tetap memperhatikan nilai-nilai luhur dan keislaman.

Dalam dimensi teologi paradigma ini selain mengedepankan aspek rasionalisme namun juga tidak melupakan aspek keimanan, sebab aspek keimanan ini merupakan salah satu faktor penting di dalam menyikapi berbagai persoalan kekinian. Teologi selain menjadi obyek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, tetapi juga sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Berbeda dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan dan kaum liberal yang terlalu humanis, paradigma ini selain berusaha memelihara nilai-nilai ketauhidan yang bersifat formalistik tetapi juga berusaha secara konsisten menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Dalam arti nilai tauhid harus “membumi” dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dimensi syariat, paradigma ini selain mengambil hukum-hukum Islam dari aspek nilai/substansi tetapi berusaha pula memahami secara tekstual kitab-kitab Islam lama yang dimapankan oleh kalangan konservatif. Alquran dan Hadis memang harus ditafsir ulang tetapi harus dengan pertimbangan ilmiah teoretis dalam pertimbangan praksis sosialnya.

Karena paradigma ini berusaha mengintegrasikan dua kubu paradigma yang antagonistik maka paradigma ini lebih cenderung penulis istilahkan dengan paradigma moderat. Karena istilah moderat cenderung pada pemahaman mencari jalan tengah dari kecenderungan-kecenderungan yang bersifat antagonistik. Hal ini juga sesuai dengan konsep Islam sebagai agama Wasathan (moderat). Dalam melihat hubungan Islam dan negara paradigma moderat menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi kelompok ini juga menolak anggapan bahwa agama adalah dalam pengertian barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Paradigma ini juga berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.

Paradigma ini tidak hanya ingin menonjolkan isu seputar konsep "Negara Islam" dan "Pemberlakuan syariat", tetapi yang paling penting bagaimana substansi dari nilai dan ajaran agama itu sendiri. Agama adalah sejumlah ajaran moral dan etika sosial, serta fungsinya mengontrol negara. Paradigma moderat berpandangan, keterlibatan agama secara praktis ke dalam negara jangan sampai memandulkan nilai luhur yang terkandung dalam agama karena agama akan menjadi ajang politisasi dan kontestasi. Di sisi lain, paradigma moderat mengampanyekan dimensi kelenturan, kesantunan, dan keadaban Islam. Islam sebagai agama penebar kasih, cinta dan sayang (rahmatan li al-’alamien) harus menjadi paradigma yang mengakar di tengah masyarakat. Hal ini penting guna meminimalisir pandangan keagamaan yang selalu berwajah sangar dan keras yang digunakan secara sistematis oleh beberapa kalangan Muslim.

Hanya, yang menjadi tantangan paradigma moderat di masa datang adalah situasi global yang kian tidak menentu serta menampakkan hegemoni yang memungkinkan munculnya resistensi kultural yang bersifat radikal dan anarkis, selain kebijakan politik nasional yang tidak memihak kaum lemah, seperti gejala penggusuran dan hilangnya pekerjaan bagi sejumlah buruh perusahaan dan pabrik. Hal-hal seperti ini akan turut menghambat kampanye paradigma moderat di tanah air. Wacana paradigma moderat akan selalu tampil ke permukaan dengan tradisi dan khazanah keagamaan yang dimilikinya. Paradigma akan kian sempurna bila mendapat "ruang publik" yang memungkinkan terwujudnya wawasan keagamaan yang terbuka dan damai, yaitu kondisi obyektif yang dapat memayungi keadilan bagi tiap warga, kesetaraan bagi keragaman suku dan agama, serta kedamaian di antara pelbagai konflik horizontal yang menyelimuti masyarakat kita belakangan ini.

Namun untuk merealisasikan bentuk paradigma alternatif tersebut, yang merupakan respon terhadap dua paradigma yang sudah cukup berkembang di Indonesia bukanlah persoalan mudah, tetapi memerlukan banyak upaya guna mengaktualisasikan ide tersebut. Dan juga yang harus kita sadari sepenuhnya, bahwa agama Islam telah lengkap dan komprehensif. Namun, "kesempurnaan" Islam hanyalah sebatas dalam tataran teoretis. Pada tataran praksisnya -- terutama ketika era globalisasi bergerak -- Islam belumlah cukup memiliki konsepsi final dan pengalaman praktik perjuangan melawan hegemoni kapitalisme. Untuk itulah kita harus senantiasa melakukan kajian mendalam dan intens guna mencari solusi dan jawaban terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat saat ini.

Penutup

Di dalam masyarakat Islam, khususnya di Indonesia saat ini secara faktual telah berkembang dua paradigma kontradiktif di dalam menghadapi berbagai tantangan globalisasi, paradigma pertama cenderung sangat konservatif sementara paradigma kedua cenderung liberal. Untuk itu penulis menawarkan perlunya kecenderungan alternatif yaitu kecenderungan yang mencoba mengintegrasikan dua kecenderungan di atas yang penulis istilahkan dengan paradigma moderat. Namun untuk merealisasikan bentuk paradigma alternatif tersebut, bukanlah persoalan mudah, tetapi memerlukan banyak upaya guna mengaktualisasikan ide tersebut. Sebagai paradigma yang mengampanyekan dimensi kelenturan, kesantunan, dan keadaban Islam. Maka paradigma ini berupaya menjadikan nilai ajaran Islam sebagai ajaran penebar kasih, cinta dan sayang (rahmatan li al-’alamien) harus menjadi paradigma yang mengakar di tengah masyarakat. Hal ini penting guna meminimalisir pandangan keagamaan yang selalu berwajah sangar dan keras yang digunakan secara sistematis oleh beberapa kalangan Muslim.

Daftar Pustaka



Al-Qardhawi, Yusuf, Islam dan Globalisasi Dunia, terj. dari buku Al-Muslimun wa Al-Aulamah, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, Cet. I, 2001.

Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta : PT. Bulan Bintang, Cet. I, t.th.

Effendi, Bachtiar, Masyarakat Agama dan Tantangan Globalisasi : Mempertimbangkan Konsep Deprivatisasi Agama, Makalah tidak diterbitkan.

Manshur, Faiz, Pilihan Paradigma Islam Menghadapi Globalisasi, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0303/21/0801.htm

Nasution, Harun, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta : UI Press, Cet. V, 1985.

Ratea, Tita Dewinta, Membongkar (Kejahatan) Globalisasi, http ://www.sekitarkita.com/wacana/dewinta.htm.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, Edisi kelima, 1993.

Watt, William Montogomery, Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, terj. dari buku Islamic Fundamentalist and Modernity, Jakarta : CV. Pustaka Setia, Cet. I, 2003.

[1] Bachtiar Effendi, Masyarakat Agama dan Tantangan Globalisasi : Mempertimbangkan Konsep Deprivatisasi Agama, Makalah tidak diterbitkan, hal. 2

[2] Yusuf al-Qardhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, (terj.), Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, hal. 21-23

[3] Bachtiar Effendi, Op.Cit

[4] Tita Dewinta Ratea, Membongkar (Kejahatan) Globalisasi, http ://www.sekitarkita.com/wacana/dewinta.htm

[5] Bachtiar Effendi, Op.Cit, hal. 5

[6] Lihat Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta : UI Press, Cet. V, 1985, hal. 10

[7] Bachtiar Effendi, Op.Cit, hal. 6

[8] Ibid, hal. 7

[9] Ibid

[10] Ibid, hal. 8

[11] Harun Nasution, Op.Cit, hal. 11-14

[12] Faiz Manshur, Pilihan Paradigma Islam Menghadapi Globalisasi, http:// www.pikiran-rakyat.com/cetak/0303/21/0801.htm

[13] Lihat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta : PT. Bulan Bintang, Cet. I, halaman 101-175

[14] Faiz Manshur, op.cit

[15] William Montogomery Watt, Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, terj. dari buku Islamic Fundamentalist and Modernity, Jakarta : CV. Pustaka Setia, Cet. I, 2003, hal. 11-12

[16] Ibid, hal. 15

[17] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, Edisi kelima, 1993, hal. 1


Sumber: Dari blog sebelah..

TUGAS ANDA ADALAH:
1. BACA TULISAN INI DENGAN BAIK DAN PAHAMI ISINYA
2. TULISKAN KOMENTAR ANDA DI BAWAH INI (ADA POS KOMENTAR)....

08 Desember 2009

Soal UTS untuk smt 7 PGRA

Soal UTS untuk smt 7 PGRA

Metodologi Penelitian Pendidikan
(Open Book)

Petunjuk:
1. Jawaban harus analitis dan menunjukkan kesesuaian dengan pertanyaan.
2. Jawaban ditulis menggunakan fasilitas MS. Word, Font Times New Roman ukuran 12.
3. Ukuran Kertas A4. (Tepi kiri : 4 cm, tepi kanan 3 cm, atas: 3 cm, dan bawah : 3 cm)
4. Jawaban dikirim via Email ke mulyawan77@yahoo.co.id, paling lambat Sabtu, tanggal 12 Desember 2009, maksimal jam 24.00
5. Lewat dari waktu yang ditentukan, dianggap tidak mengikuti UTS.
6. Setiap jawaban menggunakan referensi. Kutip sumber dari referensi dengan teknik Running Text.
7. Diakhir jawaban setiap nomor, tuliskan daftar buku yang dikutip (penulisan seperti daftar pustaka)


Soal:
1. Menurut pendapat anda, mengapa guru perlu menguasai metode penelitian? Apa kaitannya dengan unjuk kerja guru, atau dengan peningkatan mutu pembelajaran?
2. Penelitian dapat dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Kedua pendekatan itu memiliki perbedaan dalam berbagai aspeknya. Coba anda jelaskan perbedaan tersebut melalui suatu contoh yang menyangkut aspek data, teknik penelitian atau instrumen penelitian, populasi dan sampel atau responden, dan analisis data.
3. Dalam karangan ilmiah termasuk skripsi dan laproan penelitian lainnya, landasan teori menjadi bagian yang tak terpisahkan dan memiliki fungsi khusus. Pada praktiknya, teori memiliki fungsi eksplanasi, deskripsi, prediksi dan kontrol. Tugas anda menjelaskan keempat fungsi teori tersebut.
4. Variabel merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam penelitian. Tugas anda menjelaskan pengertian variabel, pembagian jenis dan contohnya.
5. Buat rancangan penelitian yang terkait dengan salah satu judul penelitian berikut (pilih salah satu).
a. Motivasi Belajar Siswa RA X di Kota Y
b. Pendapat Orang tua tentang kualitas pembelajaran di RA X.
c. Kepemimpinan kepala RA menurut guru dan siswa di RA Y.

Rancangan penelitian itu meliputi aspek-aspek berikut.
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kerangka Pemikiran
E. Metode dan Teknik
F. Responden
G. Analisis Data

06 Desember 2009

Tugas TIPS 2 untuk Smt 3 Kelas A dan B

Untuk tugas TPKI (UTS) tips ke-2, anda download file tugasnya
dengan cara mengopykan html dibawah ini pada papan Mozila atau Internet explorer anda atau apa saja (temapat anda menuliskan www. ... apa gitu !!)

http://www.4shared.com/file/166655805/313fb186/Tips_2_menulis.html
atau yang ini
http://www.ziddu.com/download/7626733/Tips2menulis.doc.html

dan lalu klik. Uunduhlah dan ikuti langkah-langkahnya.....

30 November 2009

Jam Korupsi di Indonesia

Ada serombongan manusia yang sedang menunggu masuk di pintu neraka. Mereka dipanggil masuk satu persatu oleh pejabat malaikat yang bertugas di sana. Di dinding belakang tergantung puluhan jam dinding sebagaimana layaknya yang terlihat di bandara udara saja. Tetapi ada perbedaannya dengan jam yang ada di dunia ini. Kalau jam di dunia menunjukkan posisi waktu yang berbeda-beda untuk berbagai kota tujuan, jam dinding di neraka juga berbeda kecepatan putarannya. Salah seorang yang agak bingung bertanya kepada malaikat di sana mengapa hal itu terjadi. “Oh itu, jam yang tergantung di sana menunjukkan tingkat kejujuran pejabat pemerintah yang ada di dunia sewaktu Anda hidup.” Sang malaikat menjelaskan, “Semakin jujur pemerintahan negara Anda, jam negara Anda di sini semakin lambat. Sebaliknya semakin korup pejabat pemerintah negara Anda, semakin cepat pula jalannya.” “Coba lihat,” kata seorang yang sedang antri kepada yang lainnya, “Jam Filipina berputar kencang. Berarti memang benar Marcos banyak korupsi tuh.” “Itu lagi, itu lagi,” seru yang lainnya, “Jam Kongo, negaranya Mobutu Seseseko berputar tidak kalah cepat dari jam Philipina.” Mereka semua terlihat menikmati pengetahuan baru itu. Tapi mereka mencari-cari, di mana gerangan jam Indonesia. Salah seorang dari mereka memberanikan diri menanyakan kepada malaikat tadi. “Oh, jam Indonesia ….. Kami taruh dibelakang dapur. Sangat cocok dijadikan kipas angin!”, jawab sang malaikat.
September 7, 2009
Dari Facebook tetangga sebelah

23 November 2009

Tugas untuk Mahasiswa Smt 3 A dan B.

SIAPA YANG BISA NGEGOSIP, PASTI BISA MENULIS
Mulyawan SN

(1)
Ya, rumus dasar menulis adalah bercerita atau menggosip. Bila anda suka menggosip, mengkritisi, berkomentar atas suatu kejadian, saat itu sebenarnya Anda sedang menunjukkan bakat sebagai penulis.
Kok bisa begitu sederhana? Sebenarnya menulis dan berkomentar (dalam gosip ada komentar) adalah kegiatan yang sama. Kedua aktivitas ini intinya membicarakan sesuatu, mendramatisir masalah, dan mengemas suatu informasi atau pendapat Anda atas sesuatu agar bisa dipahami (bahkan ditertariki) oleh orang lain. Perbedaannya terletak pada media ungkapnya saja; sementara menggosip menggunakan media lisan, menulis menggunakan media tulisan. Bila Anda mau merekam apa yang Anda obrolkan dalam satu hari, lalu Anda merubahnya ke dalam bentuk tulisan (lalu lakukan perbaikan pada beberapa tempat), saat itu Anda sudah dapat menjadi penulis hebat.
Akar masalahnya kenapa ada orang yang tak bisa menulis hanya soal kebiasaan saja. Kita lebih terbiasa berbicara dan tidak terbiasa menulis. Sebagai latihan awal, cobalah TIPS YANG PERTAMA berikut ini:


Duduklah dengan santai, ambil kertas dan menulislah tanpa henti selama 10 menit. Anda dapat menulis apa saja yang muncul di benak Anda, mimpi semalam, atau tayangan TV yang Anda sukai. Duduk dan mulailah menulis apa saja yang terpikirkan—apa saja yang merayap turun di lenganmu, melalui ujung jari-jemarimu, ke halaman kertas. Jangan berhenti, paling tidak, selama sepuluh menit. Tuliskan apapun yang terlintas dalam pikiran Anda, bahkan bila ada lintasan pikiran yang berbunyi: “mengapa saya menulis ini?” atau “Tidak terpikir, tidak terpikir, tidak terpikir” atau “apa lagi ya?” terus menulislah, jangan pikirkan isinya, yang penting menulis dalam 10 menit..

Jika Anda sulit mendapatkan topik, Anda dapat mencoba dengan topik ini:
• Apa yang Anda lihat hari ini?
• Bila Anda jadi Tikus kecil sehari ini, apa yang akan Anda lakukan?

TIPS PERTAMA LANJUTAN :
Menulislah setiap hari minimal 10-30 menit. Tuliskan apapun yang ada dalam pikiran, atau apapun yang membuat Anda tertarik. Anda mungkin saja kebingungan ketika memilih kalimat pertamanya, untuk itu saya berikan beberapa contoh kalimat pertama yang dapat Anda gunakan pada saat menulis:
• Saya melihat sesuatu yang ganjil kemarin….
• Saya belum tahu tentang hal itu, tetapi saya sangat ingin mempelajari…
• Hal paling sederhana yang bisa saya lakukan untuk membuat perbedaan di kelas adalah…
• Saya senang ….
• Saya benci…
• Saya takut dengan….
• Bagian terbaik apa yang saya lakukan hari ini adalah..
• Bagian terburuk dari hari ini adalah….
• Saya hebat dalam______, tetapi saya memilih untuk tidak melakukannya karena…
• Saya bodoh dalam ____, tetapi saya ingin melakukannya karena….

Baca baik-baik aturan penulisan Tugas ini, yaitu:
1. Kerjakan 2 tugas itu, yaitu :
1) TIPS YANG PERTAMA,;
2) TIPS PERTAMA LANJUTAN.
2. Harus ada bukti bahwa anda mengerjakan tugas tersebut.
3. Tugas tersebut, ditulis selama tiga hari berturut-turut, yaitu sejak Selasa-Kamis, 24-26 November 2009.
Tugas hari ke-1, dikirim pada hari Selasa, 24 November 2009 (diterima paling lambat pada hari yang sama pukul 24.00 WIB)
Tugas hari ke-2, dikirim pada hari Rabu, 25 November 2009
Tugas hari ke-1, dikirim pada hari Kamis, 26 November 2009

Mohon diperhatikan bahwa Tugas tersebut diterima paling lambat pada hari yang sama pukul 24.00 WIB.
4. Dosen akan senantiasa memantau, menilai, tugas Anda setiap harinya.
5. Dua buah tugas tersebut, ditulis di file WORD, beri nama file Anda dengan aturan:
- nama anda_Nama tugas_hari ke berapa, yaitu contoh :
MULYAWAN_ TIPS YANG PERTAMA_HARI KE-1 dan
MULYAWAN_TIPS PERTAMA LANJUTAN_HARI KE-1.
6. Kirim Kedua file dalam bentuk WORD itu , ke mulyawan77@yahoo.co.id dengan nama judul Surat di Email, yaitu: Nama Anda_Tugas Hari ke berapa, contohnya:
MULYAWAN_Tugas Hari ke-1.
7. Jangan menuliskan tugas tersebut langsung di badan email.
8. Setelah anda mengirimkan tugas tersebut, jangan dulu ke mana-mana, tapi segera copy-kan kedua file WORD tersebut, dan paste-kan di BLOG Anda.
9. Jika Anda tidak mengerjakan pesan ini, tidak akan terjadi apa-apa pada diri Anda!!!
10. Hewan peliharaan Anda tidak akan mati, Anda tidak akan kehilangan pekerjaan, Anda tidak akan mendapat kesialan dalam 7 tahun, juga Anda tidak akan sakit.
11. TETAPI….. jika Anda tidak mengerjakan tugas ini, tidak akan terjadi perubahan apa-apa dalam diri kita.Diri kita akan tetap berlanjut dalam ketidakmampuan, keterpurukan, kemiskinan…... dan akan menjadi lebih tidak mampu lagi, terpuruk dan miskin lagi.
12. Jika Anda mencintai diri kita, kerjakan tugas ini. Biarlah Diri Anda merefleksikan hal ini.
13. Kita harus mulai dari mana saja. Kita ingin BERUBAH dan BERTINDAK!
14. SIT DOWN and WRITE !!!

23 September 2009

reuni smansa '95

Hari ini ada acara kumpul bareng alumni smansa angkatan 1995 di cafe d'green selabintana jam 11.