16 Desember 2009

ISLAM DAN TANTANGAN GLOBALISASI : Berbagai Paradigma Islam dalam Menghadapi Globalisasi

Pengantar

Sebagaimana telah kita ketahui, era globalisasi ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang sedemikian cepat.[1] Kemajuan di bidang ini membuat segala kejadian di negeri yang jauh bahkan di benua yang lain dapat kita ketahui saat itu juga, sementara jarak tempuh yang sedemikian jauh dapat dijangkau dalam waktu yang singkat sehingga dunia ini menjadi seperti sebuah kampung yang kecil, segala sesuatu yang terjadi bisa diketahui dan tempat tertentu bisa dicapai dalam waktu yang amat singkat.[2]

Sulit rasanya meletakkan proses perubahan sosial, budaya dan politik dewasa ini lepas dari perkembangan dinamika global. Kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi memberi pengaruh luas dalam kehidupan sehari-hari, bahkan merombak sistem sosial. Globalisasi ekonomi dan budaya berpengaruh pada penciptaan kultur yang homogen yang mengarah pada penyeragaman selera, konsumsi, gaya hidup, nilai, identitas, dan kepentingan individu. Sebagai produk modernitas, globalisasi tidak hanya memperkenalkan masyarakat di pelosok dunia akan kemajuan dan kecanggihan sains dan teknologi serta prestasi lain seperti instrumen dan institusi modern hasil capaian peradaban Barat sebagai dimensi institusional modernitas, tetapi juga mengintrodusir dimensi budaya modernitas, seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, toleransi, dan hak-hak asasi manusia.

Persoalan-persoalan yang terjadi di suatu negara yang semula disembunyikan atau ditutup-tutupi menjadi transparan dan dapat diketahui secara detail, begitu juga dengan persoalan-persoalan pribadi seseorang yang dipublikasikan melalui media massa. Dalam konteks ekonomi-politik, kenyataan tersebut bahkan dijadikan faktor penting untuk melihat kemungkinan memudarnya batas-batas teritorial negara-bangsa, yang oleh Kenichi Ohmae dibahasakan sebagai “the end of the nation state.”[3]

Dewasa ini, kekuatan kapitalisme global dan perusahaan-perusahaan transnasional bergerak melampaui batas-batas teritorial suatu negara guna melakukan ekspansi ekonomi di berbagai pelosok dunia. Hal mana pada level tertentu telah membawa implikasi makin melemahnya posisi kekuatan ekonomi lokal. Dengan demikian globalisasi juga mengarah pada penguasaan ekonomi di tangan sekelompok kecil pemilik modal, dan akhirnya menuju pada proses homogenisasi. Dalam perspektif cultural studies, hegemoni ini tampak dalam penciptaan pola hidup konsumeristik, dan pop culture, yang memposisikan manusia sebagai obyek distribusi produksi belaka. Meski demikian, yang menjadi titik penting arti globalisasi adalah bahwa ia juga telah memungkinkan tuntutan ke arah demokratisasi transnasional di seluruh penjuru dunia makin meningkat. Tuntutan persamaan hak dan kesejahteraan hidup, kesetaraan derajat, dan desakan terbentuknya keseimbangan tatanan dunia yang lebih adil kian kencang disuarakan. Globalisasi telah membuat dunia makin terbuka, dan melahirkan aneka tuntutan perluasan partisipasi dan pemberdayaan rakyat yang lebih besar. Fenomena ini juga diiringi oleh munculnya berbagai bentuk penegasan kembali identitas-identitas komunal masyarakat. Adanya tuntutan pengakuan atas identitas komunal dan hak budaya lokal sekaligus membuktikan, ada resistensi atas kecenderungan peminggiran, dominasi dan homogenisasi global.

Dalam pengertian yang umum kata globalisasi dipahami sebagai dominasi usaha-usaha besar dan raksasa atas tataniaga dan sistem keuangan internasional yang kita ikuti. Ia juga dipahami sebagai pembentukan selera warga masyarakat secara global/mendunia yang juga turut kita nikmati saat ini. Deretan penjualan “makanan siap-telan” (fast food) menjadi saksi akan pemaknaan seperti itu. Selera kita ditentukan oleh pasar, bukannya menentukan pasar. Dari fakta ini saja sudah cukup untuk menjadi bukti akan kuatnya dominasi tersebut. Pengertian lain globalisasi adalah dominasi komersial dan pengawasan atas sistem finansial dalam hubungan antar-negara, inilah yang sekarang menentukan sekali tata hubungan antara negara-negara yang ada.

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa fenomena globalisasi juga memberikan banyak ancaman bagi kehidupan manusia, dalam konteks Indonesia misalnya, beberapa ancaman globalisasi adalah semakin tidak tertahannya ekspansi kapital, ekspansi investasi, proses produksi dan pemasaran global. Ancaman inilah yang nantinya akan berpengaruh secara langsung --sebab melalui penentuan kebijakan pemerintahan-- bagi proses peminggiran kaum tertindas-terpinggir, semacam: buruh/karyawan, petani, kaum pinggiran kota, guru-pelajar-mahasiswa/ pendidikan, masyarakat lokal. Betapa tidak ? saat ini dengan jelas kita melihat bahwa beberapa kebutuhan “primer” rakyat telah disunat dengan ditiadakan ataupun dikuranginya subsidi; padahal yang kita tahu bahwa kehidupan yang layak, pekerjaan, kekayaan alam, pendidikan adalah kewajiban negara untuk melaksanakannya sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Dasar.

Dengan berjalannya proses tanpa regulasi atau tanggung jawab seluruh perusahaan transnasional yang tidak dibarengi dengan tersedianya suprastruktur dan infrastruktur mengakibatkan semakin berkuasanya pihak perusahaan untuk menentukan segalanya termasuk upah bagi kaum buruh. Dan seperti yang kita ketahui jika posisi tawar calon buruh lemah, maka dapat dipastikan bahwa manusia-manusia Indonesia hanya akan dibayar murah. Begitu pula dengan keberadaan petani, program ketahanan pangan semacam coorporate farming, penggunaan bibit transgenik, Kredit Ketahanan Pangan (KKP)-Kemitraan akan menjadikan petani semakin kerdil di mata perusahaan besar transnasional yang nantinya akan menghilangkan keberadaan petani sebagai penghasil pangan lokal dan bahkan jika petani tak mampu lagi mengikuti “logika pasar bebas” maka kelak petani hanyalah sekedar penonton atas tanah yang telah dikuasai kaum pemodal besar. Hilangnya tanah bagi petani berakibat pula pada peningkatan pengangguran dan angka kemiskinan, sebagaimana yang termuat oleh studi FAO terhadap 16 negara yang mengimplementasikan kesepakatan “Uruguay Round” [4]

Problem diatas masih ditambah lagi dengan “ideologi” yang dianut kapitalisme global yakni kompetisi bebas, efektif, efisien dimana proses di atas hanya bisa dilakukan dengan kesiapan yang telah dibangun lama --dengan tanpa memperhitungkan nilai kemanusiaan sebab pasar dan uang telah menjadi tuhan sekaligus berhala; sekaligus sesuatu hal yang telah direncanakan pihak dunia pertama semenjak lama tanpa melibatkan pemeran-pemeran lainnya-- sehingga upaya mengejar ketinggalan hanyalah sekedar basa-basi seperti halnya keterpesonaan kita terhadap ekonomi pertumbuhan tinggi menuju tinggal landas dan iming-iming menjadi New Asian Tiger.

Proses globalisasi ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan nilai-nilai agama. Realitas ini mendapat respon yang cukup beragam dari kalangan pemikir dan aktivis agama. Agama sebagai sebuah pandangan yang terdiri dari berbagai doktrin dan nilai memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat. Hal ini diakui oleh para pemikir, antara lain Robert N. Bellah dan Jose Casanova, mereka mengakui pentingnya peran agama dalam kehidupan sosial politik masyarakat dunia. [5] Dalam konteks ini agama memainkan peranan yang penting di dalam proses globalisasi. Agama bukan hanya pelengkap tetapi menjadi salah satu komponen penting yang cukup berpengaruh di dalam berbagai proses globalisasi. Karena begitu pentingnya peran agama dalam kehidupan masyarakat, maka perlu kiranya kita memahami sejauh mana posisi agama di dalam merespon berbagai persoalan kemasyarakatan.

Posisi Agama

Agama sebagai sebuah ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan manusia sehari-hari.[6] Agama diturunkan guna memberikan aturan-aturan hidup yang akan membawa kebahagiaan bagi kehidupan manusia. Selain itu agama juga dipandang sebagai instrumen untuk memahami dunia.[7] Namun demikian kehadiran agama selalui disertai dengan “dua muka” (janus face). Pada satu sisi secara inheren agama memiliki identitas yang bersifat “exclusive, particularist”, dan “primordial”. Akan tetapi, pada waktu yang sama agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive, universalist”, dan “transcending”.[8]

Untuk meletakkan hubungan antara keduanya dalam situasi yang lebih empirik, sejumlah pemikir dan aktivis social-politik telah berusaha membangun paradigma yang dipandang memungkinkan. Tentu konstruk pemikiran yang ditawarkan, antara lain dipengaruhi dan dibentuk oleh asal usul teologis dan sosiologis ataupun spacio-temporal serta partikularitas yang melingkupi mereka.[9] Terlepas dari variasi konstruk pemikiran yang ditawarkan, pada dasarnya di dalam memahami posisi agama terhadap persoalan kemasyarakatan ada tiga aliran besar dalam hal ini. Pertama adalah perspektif mekanik-holistik, yang memposisikan hubungan antara agama dan persoalan kemasyarakatan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Kedua adalah pemikiran yang mengajukan proposisi bahwa keduanya merupakan wilayah-wilayah (domains) yang antara satu dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan. Ketiga adalah pandangan tengah yang mencoba mengintegrasikan pandangan-pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan antara agama dan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan perspektif mekanik-holistik yang seringkali melakukan generalisasi bahwa agama selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan.[10]

Berbagai Paradigma Islam dalam Menghadapi Globalisasi

Pada mulanya agama-agama muncul dari unsur kebudayaan sebuah masyarakat sebagai bagian ritus transendental yang didominasi kekuatan mistis. Agama ini lahir dalam bentuk-bentuk yang plural sesuai dengan corak ekonomi sosial tiap-tiap masyarakat pada masanya.[11] Meskipun tidak secara linier bentuk tersebut sesuai dengan kondisi transformasi sosioekonominya, setidaknya fakta telah menunjukkan bahwa agama pada era kini telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan awal kemunculannya. Perubahan nonlinier ini kemudian membentuk beragam kategori. Namun, secara general kualifikasinya hanya menjadi dua bentuk paradigma yang sekarang ada dalam umat Islam. Perspektif ini hampir berlaku pada setiap agama.[12] Demikian pula dengan Islam yang berdiri di atas tiga pilar doktrin dasarnya yaitu akidah, syariah dan akhlak.[13] Dalam perkembangannya mengalami perubahan bentuk aplikasi pemaknaan di kalangan umatnya. Sejalan dengan perubahan tersebut, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini ada dua paradigma fundamental yang berkembang di kalangan umat Islam dalam menghadapi globalisasi yaitu :

1. Paradigma Konservatif

Paradigma pertama ini adalah paradigma yang cenderung bersifat konservatif, yang memposisikan Islam sebagai agama yang memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini dianggap sebagai bagian yang senantiasa berlawanan bahkan mengancam. Dalam dimensi teologi, Tuhan menempati pokok segala kekuasaan yang telah diterjemahkan dalam kajian-kajian pendahulunya dengan peletakan unsur mazhab yang dianggap representatif. Tuhan dengan segala kekuasaannya telah memberikan ukuran dan solusinya sesuai dengan ajaran yang tertulis. Bagi mereka menafsirkan ayat yang berkaitan dengan ketuhanan dengan metode baru adalah kesesatan.

Demikian pula dalam bidang syariat yang menjadi pusat kajian hukumnya. Aspek hukum yang telah ada dalam kitab-kitab tersebut sudah menjadi final untuk dijadikan acuan hukumnya. Alasannya, hukum tersebut murni bersumber dari Alquran dan hadis. Oleh karenanya, tidak ada yang perlu disempurnakan lagi. Realitas sosial politik yang menandai kemunculan hukum-hukum tersebut nyaris tak mendapatkan tempat kajian yang mendalam. Dalam kategori sosiologis Islam seperti di atas, menurut Ali Syariati (1933-1977), Islam hanya menjadi kumpulan-kumpulan dari tradisi asli dan kebiasaan masyarakat yang memperlihatkan suatu semangat kolektif suatu kelompoknya.[14] Ia berisi kumpulan kepercayaan nenek moyang, perasaan individual, tata cara, ritual, aturan, kebiasaan, dan praktik-praktik dari suatu masyarakat yang telah mapan, berlangsung dari generasi ke generasi. Kebiasaan inilah yang biasanya dipelihara oleh penguasa politik untuk melegitimasi kekuasaan. Karena indoktrinasi menjadi bagian yang kuat dalam pemaknaan ajaran agama maka paradigma ini sering pula disebut paradigma konservatif.

Bagi orang-orang Islam berpaham konservatif ini, “ketidakberubahan” (unchangingness) merupakan suatu hal yang ideal bagi individu dan masyarakat serta merupakan suatu persepsi hakikat manusia dan lingkungannya. “Ketidakberubahan” merupakan asumsi berpengaruh luas yang mewarnai hampir seluruh aspek pemahaman kelompok ini.[15] Doktrin “ketidakberubahan”, baik sebagai fakta maupun sebagai cita-cita, barangkali bermula dari pengalaman kehidupan nomadik bangsa Arab, yang mengakibatkan timbulnya paham bahwa keselamatan terletak pada upaya mengikuti jejak para leluhur. Bangsa nomad Arabia tentu saja menyadari perubahan. Suku-suku berhasil dan berkembang semakin meningkat, lalu mengalami nasib pahit, mundur dan terkadang lenyap sekaligus. Namun variasi perubahan seperti itu tidak berarti bahwa pada dasarnya kehidupan mengalami perubahan. Dengan demikian, lebih baik melakukan apa-apa yang telah dilakukan “nenek moyang” sebab dalam banyak hal, cara itu membuahkan hasil yang memuaskan. Iklim Arabia itu tidak menentu dan tak teratur sehingga orang nomad tidak dapat menghindari bencana dengan membuat rencana-rencana cermat, tetapi terpaksa membiasakan diri menerima apa saja yang terjadi pada dirinya.[16] Corak berpikir seperti itu mengakibatkan doktrin mengikuti “jejak leluhur” menjadi opini paling kuat. Segala yang baru pasti akan dicurigai. Dalam teologi Islam, kata yang lazim dipakai untuk “hal baru” ialah bid’ah. Berlandaskan corak pemikiran tersebut akhirnya kelompok Konservatif pun memandang bahwa globalisasi adalah unsur yang sangat mengancam bagi keberlangsungan nilai-nilai Islam.

Bentuk pemahaman konservatif ini dapat dilihat melalui pemahaman kelompok ini di dalam memahami hubungan agama dengan negara. Kelompok ini berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut paham ini pada umumnya berpendirian bahwa : (1). Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. (2). Sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi besar Muhammad dan oleh empat al-Khulafa al-Rasyidin.[17]

Melihat pemahaman tersebut dapat kita mengerti bahwa kelompok ini, sebagaimana telah penulis jabarkan di atas cenderung memposisikan Islam sebagai agama yang serba lengkap, sehingga doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang ada tidak dapat bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam.

2. Paradigma Liberal

Paradigma kedua adalah paradigma yang bersifat antagonistik dengan paradigma konservatif. Islam diasumsikan sebagai agama yang dapat berperan sebagai agen perubahan sosial. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini menjadi komponen yang diterima bahkan menjadi acuan penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang dihadapi umat. Dalam dimensi teologi paradigma ini mengedepankan aspek rasionalisme. Teologi bukan semata menjadi objek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, melainkan sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Paradigma ini berpendirian bahwa walaupun Islam memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama tapi harus dilakukan banyak dekonstruksi terhadap pemahaman doktrin tersebut melalui pengembangan wacana keilmuan yang dapat diperoleh pada sumber-sumber eksternal.

Berkebalikan dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan, dimensi teologi yang mereka ajukan justru menginginkan konsistensi menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Mereka lebih menekankan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga terkadang melampaui garis-garis “larangan” demi mewujudkan teologis humanisnya. Dalam dimensi syariat paradigma ini mengambil hukum-hukum melalui pemahaman yang cenderung terlalu kontekstual, sehingga terkadang mengabaikan tekstualitas dan latar belakang munculnya doktrin-doktrin agama. Mereka juga mengajukan berbagai wacana tentang perlunya tafsir ulang terhadap al-Qur’an dan hadis. Paradigma pemikiran yang cenderung sangat liberal ini sering diistilahkan dengan paradigma liberal.

Secara ringkas, penulis berpendapat bahwa "mazhab" liberal ini sebenarnya berakar pada ide demokrasi. Pemikiran-pemikiran lain sebagai derivatnya akan terlihat sangat bertumpu di atas paham demokrasi ini; seperti gagasan pemisahan negara dengan agama, hak-hak wanita dalam kepemimpinan politik dan kekuasaan, kebebasan penafsiran teks-teks agama, kebebasan berpikir dan berpendapat, toleransi beragama, dialog dan keterbukaan antar agama, pluralisme, demokrasi religius, dan lain-lain.

Pemikiran mengenai hubungan negara dengan agama (Islam) merupakan persoalan krusial yang paling banyak mendapat penolakan dan tantangan dari pengusung Islam liberal. Argumentasi yang sering dipakai: (1) Negara Islam tak pernah dikenal dalam sejarah; (2) Negara adalah kehidupan duniawi, berdimensi rasional, dan kolektif; sedangkan agama berdimensi spiritual dan pribadi; (3) Masalah kenegaraan tidak menjadi bagian integral dari Islam; (4) Islam tidak mengenal konsep pemerintahan definitif, misal dalam suksesi kekuasaan; (5) Rasulullah Muhammad hanya menjadi penyampai risalah, tidak mengepalai suatu institusi politik; (6) Al-Quran dan Sunnah tidak pernah menyebut, "Dirikanlah negara Islam!" dan sebagainya. Penolakan gagasan ini, pada akhirnya mengantarkan pada penerimaan secara total atas ide demokrasi dalam urusan kekuasaan,politik, dan pemerintahan. Konsekuensi berikutnya, menolak kebolehan seorang wanita terlibat dalam urusan kekuasaan adalah bertentangan dengan prinsip demokrasi. Menolak keterlibatan warga negara berdasarkan perbedaan prinsip agama adalah tidak sesuai dengan demokrasi. "Memasung" pikiran dan pendapat bertentangan dengan hak kebebasan dan demokrasi. Mengambil peraturan dan hukum-hukum kemasyarakatan dari satu agama saja (baca: Islam) merupakan diskriminasi atas agama lain, yang berarti sama saja dengan tidak demokratis. Kebebasan dan kebolehan beragamnya menafsirkan teks-teks agama (dalil-dalil) menjadi imbas dari gagasan liberalisasi dan kebebasan berpikir serta berpendapat. Demikianlah, semua pemikiran derivat ini akan berlindung di balik induknya: pemikiran "demokrasi."

Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini dalam memahami hubungan Islam dan negara berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Kelompok ini meyakini bahwa Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara.

Berbagai penjelasan di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa di dalam pemahaman kelompok ini unsur-unsur sosial selain Islam dapat menjadi komponen yang diterima bahkan menjadi acuan penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang dihadapi umat.

Dua paradigma di atas sesungguhnya telah menjadi bagian internal Islam di Indonesia. Paradigma pertama biasanya mengakar pada kalangan kelas bawah yang belum sepenuhnya tersentuh oleh tradisi keilmuan positivisme seperti di pesantren. Sementara paradigma liberal lahir dari rahim generasi muda yang cukup paham terhadap wacana Islam. Namun, juga tersentuh oleh tradisi positivisme dari barat serta memiliki motivasi kuat untuk perubahan sosial. Namun, apakah perkembangan paradigma Islam ini akan hanya berhenti di sini? Inilah sesungguhnya yang harus kita kaji secara mendalam. Yang harus diingat adalah bahwa perubahan kajian ijtihad tersebut berlandaskan aspek perubahan sosial dan mengembalikan semangat pembelaan Islam terhadap umat manusia. Oleh karena itu, pilihan baru harus segera diadakan sebab situasi kekinian telah mengubah transformasi sosial dengan adanya globalisasi.

3. Paradigma Alternatif

Untuk mengintegrasikan dua kubu paradigma yang paradoks ini maka perlu kiranya dikembangkan satu paradigma alternatif, yang mungkin dapat mengkompromikan dua pandangan di atas. Sebab dengan mengkompromikan dua pandangan tersebut paling tidak kita berusaha menjembatani adanya titik temu sebagai salah satu upaya mencari konsepsi final yang paling ideal dalam Islam, meski memang untuk mengejawantahkannya dalam tataran realitas bukanlah persoalan mudah. Paradigma alternatif yang coba penulis tawarkan adalah paradigma moderat yakni paradigma yang cenderung mencoba mengintegrasikan pandangan-pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan Islam dan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan Paradigma Konservatif yang seringkali melakukan generalisasi bahwa Islam selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan. Serta berusaha mengakomodasi dilakukannya pembaruan wacana sesuai dengan diinginkan kalangan liberal dengan tetap memperhatikan nilai-nilai luhur dan keislaman.

Dalam dimensi teologi paradigma ini selain mengedepankan aspek rasionalisme namun juga tidak melupakan aspek keimanan, sebab aspek keimanan ini merupakan salah satu faktor penting di dalam menyikapi berbagai persoalan kekinian. Teologi selain menjadi obyek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, tetapi juga sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Berbeda dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan dan kaum liberal yang terlalu humanis, paradigma ini selain berusaha memelihara nilai-nilai ketauhidan yang bersifat formalistik tetapi juga berusaha secara konsisten menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Dalam arti nilai tauhid harus “membumi” dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dimensi syariat, paradigma ini selain mengambil hukum-hukum Islam dari aspek nilai/substansi tetapi berusaha pula memahami secara tekstual kitab-kitab Islam lama yang dimapankan oleh kalangan konservatif. Alquran dan Hadis memang harus ditafsir ulang tetapi harus dengan pertimbangan ilmiah teoretis dalam pertimbangan praksis sosialnya.

Karena paradigma ini berusaha mengintegrasikan dua kubu paradigma yang antagonistik maka paradigma ini lebih cenderung penulis istilahkan dengan paradigma moderat. Karena istilah moderat cenderung pada pemahaman mencari jalan tengah dari kecenderungan-kecenderungan yang bersifat antagonistik. Hal ini juga sesuai dengan konsep Islam sebagai agama Wasathan (moderat). Dalam melihat hubungan Islam dan negara paradigma moderat menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi kelompok ini juga menolak anggapan bahwa agama adalah dalam pengertian barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Paradigma ini juga berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.

Paradigma ini tidak hanya ingin menonjolkan isu seputar konsep "Negara Islam" dan "Pemberlakuan syariat", tetapi yang paling penting bagaimana substansi dari nilai dan ajaran agama itu sendiri. Agama adalah sejumlah ajaran moral dan etika sosial, serta fungsinya mengontrol negara. Paradigma moderat berpandangan, keterlibatan agama secara praktis ke dalam negara jangan sampai memandulkan nilai luhur yang terkandung dalam agama karena agama akan menjadi ajang politisasi dan kontestasi. Di sisi lain, paradigma moderat mengampanyekan dimensi kelenturan, kesantunan, dan keadaban Islam. Islam sebagai agama penebar kasih, cinta dan sayang (rahmatan li al-’alamien) harus menjadi paradigma yang mengakar di tengah masyarakat. Hal ini penting guna meminimalisir pandangan keagamaan yang selalu berwajah sangar dan keras yang digunakan secara sistematis oleh beberapa kalangan Muslim.

Hanya, yang menjadi tantangan paradigma moderat di masa datang adalah situasi global yang kian tidak menentu serta menampakkan hegemoni yang memungkinkan munculnya resistensi kultural yang bersifat radikal dan anarkis, selain kebijakan politik nasional yang tidak memihak kaum lemah, seperti gejala penggusuran dan hilangnya pekerjaan bagi sejumlah buruh perusahaan dan pabrik. Hal-hal seperti ini akan turut menghambat kampanye paradigma moderat di tanah air. Wacana paradigma moderat akan selalu tampil ke permukaan dengan tradisi dan khazanah keagamaan yang dimilikinya. Paradigma akan kian sempurna bila mendapat "ruang publik" yang memungkinkan terwujudnya wawasan keagamaan yang terbuka dan damai, yaitu kondisi obyektif yang dapat memayungi keadilan bagi tiap warga, kesetaraan bagi keragaman suku dan agama, serta kedamaian di antara pelbagai konflik horizontal yang menyelimuti masyarakat kita belakangan ini.

Namun untuk merealisasikan bentuk paradigma alternatif tersebut, yang merupakan respon terhadap dua paradigma yang sudah cukup berkembang di Indonesia bukanlah persoalan mudah, tetapi memerlukan banyak upaya guna mengaktualisasikan ide tersebut. Dan juga yang harus kita sadari sepenuhnya, bahwa agama Islam telah lengkap dan komprehensif. Namun, "kesempurnaan" Islam hanyalah sebatas dalam tataran teoretis. Pada tataran praksisnya -- terutama ketika era globalisasi bergerak -- Islam belumlah cukup memiliki konsepsi final dan pengalaman praktik perjuangan melawan hegemoni kapitalisme. Untuk itulah kita harus senantiasa melakukan kajian mendalam dan intens guna mencari solusi dan jawaban terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat saat ini.

Penutup

Di dalam masyarakat Islam, khususnya di Indonesia saat ini secara faktual telah berkembang dua paradigma kontradiktif di dalam menghadapi berbagai tantangan globalisasi, paradigma pertama cenderung sangat konservatif sementara paradigma kedua cenderung liberal. Untuk itu penulis menawarkan perlunya kecenderungan alternatif yaitu kecenderungan yang mencoba mengintegrasikan dua kecenderungan di atas yang penulis istilahkan dengan paradigma moderat. Namun untuk merealisasikan bentuk paradigma alternatif tersebut, bukanlah persoalan mudah, tetapi memerlukan banyak upaya guna mengaktualisasikan ide tersebut. Sebagai paradigma yang mengampanyekan dimensi kelenturan, kesantunan, dan keadaban Islam. Maka paradigma ini berupaya menjadikan nilai ajaran Islam sebagai ajaran penebar kasih, cinta dan sayang (rahmatan li al-’alamien) harus menjadi paradigma yang mengakar di tengah masyarakat. Hal ini penting guna meminimalisir pandangan keagamaan yang selalu berwajah sangar dan keras yang digunakan secara sistematis oleh beberapa kalangan Muslim.

Daftar Pustaka



Al-Qardhawi, Yusuf, Islam dan Globalisasi Dunia, terj. dari buku Al-Muslimun wa Al-Aulamah, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, Cet. I, 2001.

Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta : PT. Bulan Bintang, Cet. I, t.th.

Effendi, Bachtiar, Masyarakat Agama dan Tantangan Globalisasi : Mempertimbangkan Konsep Deprivatisasi Agama, Makalah tidak diterbitkan.

Manshur, Faiz, Pilihan Paradigma Islam Menghadapi Globalisasi, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0303/21/0801.htm

Nasution, Harun, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta : UI Press, Cet. V, 1985.

Ratea, Tita Dewinta, Membongkar (Kejahatan) Globalisasi, http ://www.sekitarkita.com/wacana/dewinta.htm.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, Edisi kelima, 1993.

Watt, William Montogomery, Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, terj. dari buku Islamic Fundamentalist and Modernity, Jakarta : CV. Pustaka Setia, Cet. I, 2003.

[1] Bachtiar Effendi, Masyarakat Agama dan Tantangan Globalisasi : Mempertimbangkan Konsep Deprivatisasi Agama, Makalah tidak diterbitkan, hal. 2

[2] Yusuf al-Qardhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, (terj.), Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, hal. 21-23

[3] Bachtiar Effendi, Op.Cit

[4] Tita Dewinta Ratea, Membongkar (Kejahatan) Globalisasi, http ://www.sekitarkita.com/wacana/dewinta.htm

[5] Bachtiar Effendi, Op.Cit, hal. 5

[6] Lihat Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta : UI Press, Cet. V, 1985, hal. 10

[7] Bachtiar Effendi, Op.Cit, hal. 6

[8] Ibid, hal. 7

[9] Ibid

[10] Ibid, hal. 8

[11] Harun Nasution, Op.Cit, hal. 11-14

[12] Faiz Manshur, Pilihan Paradigma Islam Menghadapi Globalisasi, http:// www.pikiran-rakyat.com/cetak/0303/21/0801.htm

[13] Lihat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta : PT. Bulan Bintang, Cet. I, halaman 101-175

[14] Faiz Manshur, op.cit

[15] William Montogomery Watt, Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, terj. dari buku Islamic Fundamentalist and Modernity, Jakarta : CV. Pustaka Setia, Cet. I, 2003, hal. 11-12

[16] Ibid, hal. 15

[17] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, Edisi kelima, 1993, hal. 1


Sumber: Dari blog sebelah..

TUGAS ANDA ADALAH:
1. BACA TULISAN INI DENGAN BAIK DAN PAHAMI ISINYA
2. TULISKAN KOMENTAR ANDA DI BAWAH INI (ADA POS KOMENTAR)....

08 Desember 2009

Soal UTS untuk smt 7 PGRA

Soal UTS untuk smt 7 PGRA

Metodologi Penelitian Pendidikan
(Open Book)

Petunjuk:
1. Jawaban harus analitis dan menunjukkan kesesuaian dengan pertanyaan.
2. Jawaban ditulis menggunakan fasilitas MS. Word, Font Times New Roman ukuran 12.
3. Ukuran Kertas A4. (Tepi kiri : 4 cm, tepi kanan 3 cm, atas: 3 cm, dan bawah : 3 cm)
4. Jawaban dikirim via Email ke mulyawan77@yahoo.co.id, paling lambat Sabtu, tanggal 12 Desember 2009, maksimal jam 24.00
5. Lewat dari waktu yang ditentukan, dianggap tidak mengikuti UTS.
6. Setiap jawaban menggunakan referensi. Kutip sumber dari referensi dengan teknik Running Text.
7. Diakhir jawaban setiap nomor, tuliskan daftar buku yang dikutip (penulisan seperti daftar pustaka)


Soal:
1. Menurut pendapat anda, mengapa guru perlu menguasai metode penelitian? Apa kaitannya dengan unjuk kerja guru, atau dengan peningkatan mutu pembelajaran?
2. Penelitian dapat dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Kedua pendekatan itu memiliki perbedaan dalam berbagai aspeknya. Coba anda jelaskan perbedaan tersebut melalui suatu contoh yang menyangkut aspek data, teknik penelitian atau instrumen penelitian, populasi dan sampel atau responden, dan analisis data.
3. Dalam karangan ilmiah termasuk skripsi dan laproan penelitian lainnya, landasan teori menjadi bagian yang tak terpisahkan dan memiliki fungsi khusus. Pada praktiknya, teori memiliki fungsi eksplanasi, deskripsi, prediksi dan kontrol. Tugas anda menjelaskan keempat fungsi teori tersebut.
4. Variabel merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam penelitian. Tugas anda menjelaskan pengertian variabel, pembagian jenis dan contohnya.
5. Buat rancangan penelitian yang terkait dengan salah satu judul penelitian berikut (pilih salah satu).
a. Motivasi Belajar Siswa RA X di Kota Y
b. Pendapat Orang tua tentang kualitas pembelajaran di RA X.
c. Kepemimpinan kepala RA menurut guru dan siswa di RA Y.

Rancangan penelitian itu meliputi aspek-aspek berikut.
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kerangka Pemikiran
E. Metode dan Teknik
F. Responden
G. Analisis Data

06 Desember 2009

Tugas TIPS 2 untuk Smt 3 Kelas A dan B

Untuk tugas TPKI (UTS) tips ke-2, anda download file tugasnya
dengan cara mengopykan html dibawah ini pada papan Mozila atau Internet explorer anda atau apa saja (temapat anda menuliskan www. ... apa gitu !!)

http://www.4shared.com/file/166655805/313fb186/Tips_2_menulis.html
atau yang ini
http://www.ziddu.com/download/7626733/Tips2menulis.doc.html

dan lalu klik. Uunduhlah dan ikuti langkah-langkahnya.....

30 November 2009

Jam Korupsi di Indonesia

Ada serombongan manusia yang sedang menunggu masuk di pintu neraka. Mereka dipanggil masuk satu persatu oleh pejabat malaikat yang bertugas di sana. Di dinding belakang tergantung puluhan jam dinding sebagaimana layaknya yang terlihat di bandara udara saja. Tetapi ada perbedaannya dengan jam yang ada di dunia ini. Kalau jam di dunia menunjukkan posisi waktu yang berbeda-beda untuk berbagai kota tujuan, jam dinding di neraka juga berbeda kecepatan putarannya. Salah seorang yang agak bingung bertanya kepada malaikat di sana mengapa hal itu terjadi. “Oh itu, jam yang tergantung di sana menunjukkan tingkat kejujuran pejabat pemerintah yang ada di dunia sewaktu Anda hidup.” Sang malaikat menjelaskan, “Semakin jujur pemerintahan negara Anda, jam negara Anda di sini semakin lambat. Sebaliknya semakin korup pejabat pemerintah negara Anda, semakin cepat pula jalannya.” “Coba lihat,” kata seorang yang sedang antri kepada yang lainnya, “Jam Filipina berputar kencang. Berarti memang benar Marcos banyak korupsi tuh.” “Itu lagi, itu lagi,” seru yang lainnya, “Jam Kongo, negaranya Mobutu Seseseko berputar tidak kalah cepat dari jam Philipina.” Mereka semua terlihat menikmati pengetahuan baru itu. Tapi mereka mencari-cari, di mana gerangan jam Indonesia. Salah seorang dari mereka memberanikan diri menanyakan kepada malaikat tadi. “Oh, jam Indonesia ….. Kami taruh dibelakang dapur. Sangat cocok dijadikan kipas angin!”, jawab sang malaikat.
September 7, 2009
Dari Facebook tetangga sebelah

23 November 2009

Tugas untuk Mahasiswa Smt 3 A dan B.

SIAPA YANG BISA NGEGOSIP, PASTI BISA MENULIS
Mulyawan SN

(1)
Ya, rumus dasar menulis adalah bercerita atau menggosip. Bila anda suka menggosip, mengkritisi, berkomentar atas suatu kejadian, saat itu sebenarnya Anda sedang menunjukkan bakat sebagai penulis.
Kok bisa begitu sederhana? Sebenarnya menulis dan berkomentar (dalam gosip ada komentar) adalah kegiatan yang sama. Kedua aktivitas ini intinya membicarakan sesuatu, mendramatisir masalah, dan mengemas suatu informasi atau pendapat Anda atas sesuatu agar bisa dipahami (bahkan ditertariki) oleh orang lain. Perbedaannya terletak pada media ungkapnya saja; sementara menggosip menggunakan media lisan, menulis menggunakan media tulisan. Bila Anda mau merekam apa yang Anda obrolkan dalam satu hari, lalu Anda merubahnya ke dalam bentuk tulisan (lalu lakukan perbaikan pada beberapa tempat), saat itu Anda sudah dapat menjadi penulis hebat.
Akar masalahnya kenapa ada orang yang tak bisa menulis hanya soal kebiasaan saja. Kita lebih terbiasa berbicara dan tidak terbiasa menulis. Sebagai latihan awal, cobalah TIPS YANG PERTAMA berikut ini:


Duduklah dengan santai, ambil kertas dan menulislah tanpa henti selama 10 menit. Anda dapat menulis apa saja yang muncul di benak Anda, mimpi semalam, atau tayangan TV yang Anda sukai. Duduk dan mulailah menulis apa saja yang terpikirkan—apa saja yang merayap turun di lenganmu, melalui ujung jari-jemarimu, ke halaman kertas. Jangan berhenti, paling tidak, selama sepuluh menit. Tuliskan apapun yang terlintas dalam pikiran Anda, bahkan bila ada lintasan pikiran yang berbunyi: “mengapa saya menulis ini?” atau “Tidak terpikir, tidak terpikir, tidak terpikir” atau “apa lagi ya?” terus menulislah, jangan pikirkan isinya, yang penting menulis dalam 10 menit..

Jika Anda sulit mendapatkan topik, Anda dapat mencoba dengan topik ini:
• Apa yang Anda lihat hari ini?
• Bila Anda jadi Tikus kecil sehari ini, apa yang akan Anda lakukan?

TIPS PERTAMA LANJUTAN :
Menulislah setiap hari minimal 10-30 menit. Tuliskan apapun yang ada dalam pikiran, atau apapun yang membuat Anda tertarik. Anda mungkin saja kebingungan ketika memilih kalimat pertamanya, untuk itu saya berikan beberapa contoh kalimat pertama yang dapat Anda gunakan pada saat menulis:
• Saya melihat sesuatu yang ganjil kemarin….
• Saya belum tahu tentang hal itu, tetapi saya sangat ingin mempelajari…
• Hal paling sederhana yang bisa saya lakukan untuk membuat perbedaan di kelas adalah…
• Saya senang ….
• Saya benci…
• Saya takut dengan….
• Bagian terbaik apa yang saya lakukan hari ini adalah..
• Bagian terburuk dari hari ini adalah….
• Saya hebat dalam______, tetapi saya memilih untuk tidak melakukannya karena…
• Saya bodoh dalam ____, tetapi saya ingin melakukannya karena….

Baca baik-baik aturan penulisan Tugas ini, yaitu:
1. Kerjakan 2 tugas itu, yaitu :
1) TIPS YANG PERTAMA,;
2) TIPS PERTAMA LANJUTAN.
2. Harus ada bukti bahwa anda mengerjakan tugas tersebut.
3. Tugas tersebut, ditulis selama tiga hari berturut-turut, yaitu sejak Selasa-Kamis, 24-26 November 2009.
Tugas hari ke-1, dikirim pada hari Selasa, 24 November 2009 (diterima paling lambat pada hari yang sama pukul 24.00 WIB)
Tugas hari ke-2, dikirim pada hari Rabu, 25 November 2009
Tugas hari ke-1, dikirim pada hari Kamis, 26 November 2009

Mohon diperhatikan bahwa Tugas tersebut diterima paling lambat pada hari yang sama pukul 24.00 WIB.
4. Dosen akan senantiasa memantau, menilai, tugas Anda setiap harinya.
5. Dua buah tugas tersebut, ditulis di file WORD, beri nama file Anda dengan aturan:
- nama anda_Nama tugas_hari ke berapa, yaitu contoh :
MULYAWAN_ TIPS YANG PERTAMA_HARI KE-1 dan
MULYAWAN_TIPS PERTAMA LANJUTAN_HARI KE-1.
6. Kirim Kedua file dalam bentuk WORD itu , ke mulyawan77@yahoo.co.id dengan nama judul Surat di Email, yaitu: Nama Anda_Tugas Hari ke berapa, contohnya:
MULYAWAN_Tugas Hari ke-1.
7. Jangan menuliskan tugas tersebut langsung di badan email.
8. Setelah anda mengirimkan tugas tersebut, jangan dulu ke mana-mana, tapi segera copy-kan kedua file WORD tersebut, dan paste-kan di BLOG Anda.
9. Jika Anda tidak mengerjakan pesan ini, tidak akan terjadi apa-apa pada diri Anda!!!
10. Hewan peliharaan Anda tidak akan mati, Anda tidak akan kehilangan pekerjaan, Anda tidak akan mendapat kesialan dalam 7 tahun, juga Anda tidak akan sakit.
11. TETAPI….. jika Anda tidak mengerjakan tugas ini, tidak akan terjadi perubahan apa-apa dalam diri kita.Diri kita akan tetap berlanjut dalam ketidakmampuan, keterpurukan, kemiskinan…... dan akan menjadi lebih tidak mampu lagi, terpuruk dan miskin lagi.
12. Jika Anda mencintai diri kita, kerjakan tugas ini. Biarlah Diri Anda merefleksikan hal ini.
13. Kita harus mulai dari mana saja. Kita ingin BERUBAH dan BERTINDAK!
14. SIT DOWN and WRITE !!!

23 September 2009

reuni smansa '95

Hari ini ada acara kumpul bareng alumni smansa angkatan 1995 di cafe d'green selabintana jam 11.

10 September 2009

SEKOLAH ISLAM ATAU MADRASAH

(PERTARUNGAN IDENTITAS DALAM PENDIDIKAN)

Mulyawan S. Nugraha, S.Ag. M.Ag., M.Pd
Dosen STAI Sukabumi
Mahasiswa pada program doktor (S-3)
Universitas pendidikan indonesia bandung


Alkisah, di tahun 1870-an, konon hidup seorang bupati yang sangat mengagumi budaya, cara hidup, dan pendidikan Belanda. Bahkan, dia pernah berkata bahwa dia ingin hidup seperti orang Belanda padahal ia seorang muslim. Pada suatu ketika, ada seseorang bertanya apakah dia ingin menjadi kristiani. Bupati itu menjawab, “kalau mau jujur, saya lebih suka memiliki empat orang istri dan satu Tuhan saja dari pada memiliki satu orang istri dan tiga orang Tuhan”. (Kompas, 16 Agustus 2008)
Anekdot yang ditulis M.C. Recklefs dalam Polarising Javanese Society: Islamic and Other Vision (1830-1930), menggambarkan sebuah pertarungan identitas dalam masyarakat dalam semua segi kehidupan. Sang Bupati yang muslim merasa menemukan masa depan yang cerah dalam modernitas yang dibawa oleh Belanda (baca: sekuler). Tampaknya, meskipun Muslim, dia merasa “Islam” tidak dapat memberikan masa depan yang lebih baik. Islam disini bukan dalam makna Islam yang transendental tetapi “Islam” yang telah menyejarah dan menjadi fenomena dalam masyarakat. Sang Bupati tidak pula ingin menjadi seorang Belanda tulen. Baginya doktrin trinitas tidaklah sesuatu yang menarik.
Pertarungan identitas Bupati tersebut terjadi pula dalam dunia pendidikan. Semakin maraknya sekolah-sekolah swasta berlabel Sekolah Islam Terpadu (SIT) di segala jenjang pendidikan mencerminkan adanya pertarungan identitas dalam dunia pendidikan. Hal pertama yang akan menjadi sorotan adalah mengapa menggunakan label sekolah Islam, bukan madrasah? Ada beberapa dugaan yang muncul.
Pertama, bagi pengelola/yayasan, label sekolah Islam diyakini lebih marketable daripada label madrasah. Madrasah, dalam sudut pandang mereka, tidak bisa memberikan image sebagai sekolah yang berkualitas. Dengan kata lain, meskipun secara legal konstitusional sama dengan sekolah, madrasah identik dengan keterbelakangan. Padahal, tidak bisa dipungkiri madrasah adalah pendidikan yang asli bersumber dari masyarakat Islam. Jika image menjadi alasan utama dan terkait dengan pasar, pendidikan Islam sesungguhnya telah berada dalam inferiority complex. Pendidikan Islam merasa berada dalam keterbelakangan dan untuk menjadi superior mereka mengubah identitas diri, dalam hal ini madrasah, menjadi sekolah Islam. Sepertinya, bagi pengelola sekolah Islam menjadi sekolah umum tanpa label Islam bukanlah pilihan yang tepat. Daya jual sekolah tergantung kepada penampilan sekolah, siswa, guru, administrasi, dan hal lain di sekolah itu (Jaqob E. Adams and M. W. Kirts : 1999). Jelas sekali, itu tidak terkait dengan label.
Kedua, dikotomi pendidikan agama dan pendidikan umum (baca: Dep.Agama dan Diknas) turut andil dalam kasus ini. Sekolah Islam merasa dengan menyandang nama sekolah, mereka mendapat kemudahan dan fasilitas lebih dari pemerintah dalam berbagai hal. Itu, menurut mereka, tidak akan diperoleh mereka jika bernama madrasah swasta dan berada di bawah binaan Departemen Agama. Itu terkait politic accountability dalam pendidikan. Dalam pendidikan salah satu yang bisa mendukung pengembangan pendidikan adalah political accountabilty, politik adalah tentang allocating values through goverment and educational concerns are not exempt (Wirts and Kirts, 1997). Tidak dibisa dipungkiri, peran kebijakan pemerintah sangat penting dalam perkembangan pendidikan. Kebernilaian dan perhatian pemerintah terhadap pendidikan menjadi poin penting. Politik memisahkan pendidikan dalam beberapa atap langsung atau tidak langsung menciptakan kesenjangan dalam lembaga pendidikan.
Ketiga, meskipun agak ekstrem, saya ingin menggunakan pendekatan sosiologi seperti yang digunakan Al Zaztrouw N.G ketika melihat fenomena sarjana ilmu umum aktif dalam lembaga keagamaan. Menurutnya, maraknya aktivis yang berasal dari sarjana umum (non IAIN) atau non pesantren yang aktif dalam organisasi bercorak Islam: HTI, FPI, PKS, disebabkan keinginan mereka untuk mendapat legitimasi sebagai aktifis Islam dan berada dalam posisi yang lebih baik. Menurutnya, aktif dalam organsisasi yang sudah mapan: NU atau Muhammadiyah, tidak akan memberi peluang yang cukup besar untuk berada di garda depan karena mereka harus bersaing dengan para kiai atau tokoh muda yang lebih mumpuni ilmu agama Islamnya. Dengan aktif dalam organisasi keislaman tersebut, mereka akan dengan cepat mendapat label seorang ulama atau ustadz.
Dalam sudut pandang, sekolah Islam sebenarnya ingin berada dalam garda terdepan (avant garde) proses Islamisasi pendidikan. Jika mereka memakai nama madrasah tentu saja mereka akan “tidak lebih Islam” daripada madrasah yang memiliki sumber daya: guru, berasal dari lembaga pendidikan Islam. Ada pengalaman menarik ketika saya melakukan riset di sekolah Islam. Dalam satu item pertanyaan dikemukakan satu hal yang sebenarnya menyangkut sebuah penafsiran ayat/hadis. Guru sekolah Islam yang berlatar pendidikan umum itu dengan spontan mengatakan bahwa yang membuat pertanyaan itu tidak tahu dalil. Saya tahu pasti, tentang itu memunculkan banyak pendapat dari para ahli fikih. Saya terkejut, rupanya dia merasa ilmu keislamannya telah seluas samudera, padahal hanya seluas sumur, sehingga dengan mudah mencap orang lain tidak berilmu. Benar kata Al Zastrouw, ada kecenderungan para aktivis yang bukan berlatar belakang pendidikan agama akan menghapal ayat/hadis dan belajar ilmu keagamaan yang mendukung ideologi organisasinya. Mereka tidak mencari perspektif lain yang lebih kaya. Akibatnya, mereka akan dengan mudah mencap orang kafir, salah atau tidak tahu dalil.
Persoalan-persoalan itu sebenarnya bermuara dari adanya pengkotakkan pendidikan di negeri ini. Selama masih ada pembedaan antara madrasah dan sekolah secara kelembagaan, meskipun di atas kertas undang-undang berkedudukan sama, akan selalu terjadi pertarungan madrasah dengan sekolah. Kesenjangan kualitas guru, fasilitas, dan kesempatan mengembangkan diri akan selalu ada. Apalagi dalam udara otonomi daerah, pemerintah kabupaten/kota lebih senang mengucurkan uang kepada sekolah yang nota bene tanggung jawab mereka daripada memberi bantuan kepada madrasah.
Pengalihan tanggung jawab pendidikan hanya kepada Departemen Diknas bukan perkara yang mudah. Di situ ada sejuta kepentingan politik dan pribadi. Jika pemerintah memindahkan wewenang pendidikan tersebut, ada ribuan jabatan yang hilang dan akan muncul kesan mengibiri Islam. Secara politis itu akan sangat merugikan. Namun, jika madrasah dan sekolah umum berada dalam satu atap, sekolah umum akan kekurangan siswa karena masyarakat lebih memilih madrasah. Kasus itu banyak di temukan di berbagai pelosok. Hal itu, mungkin sangat ditakutkan.
Masalah dan berbagai paradoks tersebut berpangkal dari adanya pembedaan Islam dan non Islam, madrasah dan sekolah. Padahal, semua itu muncul dalam konteks melawan kebijakan kolonial Belanda yang ingin mengebiri pendidikan Islam. Pemerintah Belanda berpendapat madrasah tidak menguntungkan pengaruh dan kewibawaan mereka sehingga sekolah Islam tidak mendapat subsidi (Steenbrink, 1986). Madrasah muncul sebagai perlawanan terhadap sekolah Belanda yang eksklusive dan menyebar ideologi kolonial. Di era reformasi ini, semua pihak semestinya dengan jernih bisa merenungi sebuah pertanyaan paling mendasar apakah sekarang kita masih dijajah?
Seperti halnya kebanyakan kita mengatakan, “untung” bangsa ini juga mengeluarkan beberapa peraturan yang berupaya untuk menjembatani masalah-masalah tersebut. Seperti lahirnya PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan, dan beberapa peraturan daerah, peraturan bupati atau walikota, yang menurut sebagian orang menyebutnya “Perda Syari’ah”. Artinya walaupun kebijakan pendidikan sekolah dan madrasah secara umum masih jauh dari harapan, tapi berbagai upaya persuasif senantiasa dilakukan, baik secara politis dan praktis. Semoga masyarakat kita memahami betapa peran madrasah juga punya andil besar bagi negeri ini.

15 Juli 2009

PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DIMULAI DARI MADRASAH

(Respon terhadap peresmian Kantin Kejujuran “AMANAH”
MAN Cibadak Kab. Sukabumi)
Oleh : Mulyawan S. Nugraha, S.Ag., M.Ag., M.Pd
Guru MAN Cibadak Kab. Sukabumi, Aktivis PGM Kab. Sukabumi.
Kini tengah mengikuti Program Doktor (S3) di UPI Bandung

Pendahuluan
Pada dasarnya pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sebagai salah satu jalur pendidikan formal, Madrasah Aliyah merupakan Sekolah Menengah Atas yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Keberadaan Madrasah Aliyah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi; meningkatkan pengetahuan siswa untuk mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian yang dijiwai ajaran Islam, dan meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitarnya yang dijiwai ajaran agama Islam.
Permasalahan korupsi secara konvensional dan kontemporer cenderung meningkat baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Hal ini seiring dengan meningkat jumlah penduduk dan makin terbatasnya sistem sumber pemenuhan kebutuhan. Di masyarakat terjadi perubahan dan pergeseran nilai dan semakin lunturnya moralitas sebagai akibat makin globalnya masyarakat. Untuk menangani permasalahan korupsi tersebut diperlukan dan dituntut sumber daya manusia (SDM) di bidang hukum yang sangat ahli dan mumpuni serta bermoralitas tinggi, di samping itu juga sangat diperlukan peran serta Masyarakat dan Organisasi-organisasi yang ada di masyarakat yang peduli akan pemberantasn tindak pidana korupsi.
Kebijakan tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di samping sangat tergantung kepada pola kebijakan, program, strategi, sistem, mekanisme, koordinasi serta jaringan kerja antarstakeholder dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah yang didalamnya terdapat perangkat-perangkat penegak hukum secara terpadu, terarah, terencana juga sangat tergantung pada SDM, aparatur maupun unsur masyarakat yang berperan serta aktif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Elemen masyarakat melalui wadah ataupun organisasi pada hakikatnya memiliki otoritas untuk bertanggungjawab dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Masyarakat bersama-sama dengan institusi bertanggung jawab untuk melakukan tindak preventif diantaranya dengan mengidentifikasi, menyusun perencanaan, memonitor dan mengevaluasi program yang akan dilaksanakan maupun kegiatan yang sudah dilaksanakan.
MAN Cibadak Kab. Sukabumi sebagai salah satu Madrasah Aliyah yang dinamis berkewajiban menjalankan peranannya sebagai lembaga pendidikan yang memiliki perangkat yang dapat menjadi suatu sistem yang terpadu. Keterpaduan tersebut diharapkan akan menumbuhkan suatu sinergi dan akselerasi (percepatan) yang dinamis, efektif dan efisien.
Di madrasah/sekolah, nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dikenalkan, dikembangkan, dibina bahkan dihilangkan. Karena hal itulah, salah satu cara untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan antikorupsi di negeri ini adalah dengan memberikan perhatian terhadap pendidikan antikorupsi sejak dini di lembaga pendidikan. Salah satu upaya tersebut adalah dengan mendirikan kantin kejujuran. Dari namanya saja, kita dapat mengindikasi bahwa kantin tersebut menekankan kejujuran pembeli terhadap apa yang ia beli. Apakah uang yang dimiliki sesuai dengan barang yang diambil? Atau apakah pembeli jujur saat berada di kantin yang tidak ada penjaganya? Saat itulah, terjadi pertarungan sengit nilai-nilai noral tentang kejujuran dengan bisikan dan godaan yang menuntun pada ketidakjujuran. Bila bisikan dan godaan jauh lebih kuat dari pada hati nurani, dari situlah dimulai tindakan korupsi kecil-kecilan.

Korupsi: Penyakit Kronis
Para bupati, wali kota, gubernur hingga presiden pun ramai-ramai menunjukkan kepeduliannya terhadap problem sosial yang bisa memengaruhi ketidaktentraman kehidupan berbangsa dan bernegara. Juga, membuat rakyat tidak bisa hidup makmur sejahtera karena uang negara digerogoti para aparaturnya.
Kepedulian yang dilakukan para pejabat pemerintah kita untuk anti korupsi semoga tidak hanya sekedar lips service atau cari simpati. Tapi, yang lebih penting adalah bagaimana mereka benar-benar bisa jujur pada dirinya sendiri untuk tidak korupsi. Termasuk, memiliki komitmen yang tinggi dalam mencegah sekaligus memberantas korupsi di instansi yang dipimpinnya.
Melihat realita yang terjadi di birokrasi saat ini, sepertinya memerlukan waktu cukup lama untuk membersihkan praktik korupsi. Khususnya korupsi yang nilainya tidak termasuk kategori kelas kakap seperti yang dilakukan oleh beberapa kepala daerah dalam mengorupsi uang APBD yang akhirnya masuk bui. Justru praktik korupsi yang hampir tiap kesempatan terjadi di instansi pemerintah adalah markup dan penyunatan bantuan.
Sebagian besar laporan keuangan dari sebuah agenda kegiatan yang digelar oleh instansi pemerintah diwarnai dengan markup dan manipulasi. Yang sering dilakukan oleh para birokrat di antaranya, memanipulasi perjalanan dinas, terkadang perjalanan dinas itu fiktif. Me-markup harga pembelian barang, makanan, pembayaran jasa atau yang lain. Apakah itu kerjasama dengan pihak lain yang mendapat order atau cukup membuat nota atau kuitansi palsu dengan stempel palsu yang juga sudah disiapkan secara sistematis dan terencana (karena kebiasaan ini berlangsung terus menerus pada setiap kesempatan).
Model korupsi seperti itu sudah sangat lumrah untuk menghabiskan anggaran atau memudahkan dalam membuat laporan keuangan. Prinsip mereka, ada bukti tertulis di atas kertas yang formal (ada stempel) sudah dianggap beres, meski caranya dilakukan dengan ilegal atau menipu.
Selain itu, di instansi yang terkait dengan pengurusan izin, pelayanan, dinas penghasil, masih banyak ditemui pungutan liar, retribusi tanpa diberi karcis, dalih uang ketik, biaya tanda tangan pimpinan, biaya proses pengurusan cepat, dan lain sebgainya. Itulah praktik korupsi yang sudah membudaya di instansi pemerintah yang harus dibrantas.
Presiden SBY sendiri pada Hari Antikorupsi beberapa waktu lalu membeberkan delapan wilayah yang rawan terjadi praktik korupsi dan meminta penegak hukum untuk mengawasinya. Delapan wilayah yang paling rawan terjadi praktik korupsi adalah pendapatan negara, pos anggaran APBN dan APBD, kolusi penguasa dan pengusaha. Juga bisnis keluarga pejabat, proyek pengadaan barang, penerimaan pajak dan bea cukai, pendaftaran pegawai, TNI/Polri. Dan, yang terakhir wilayah rawan korupsi terjadi di pengurusan izin.
Korupsi merupakan penyakit masyarakat, bukanlah budaya. Sebab, budaya bangsa Indonesia yang Iuhur tidak pernah mengajarkan apalagi melestarikan penyakit tersebut. Praktik korupsi juga ditolak oleh agama, terlepas agama apa pun dia. Oleh karena itu, sifat jujur merupakan penangkal yang efektif dari virus korupsi.
Bahkan dalam ajaran Islam, sifat jujur akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan-perbuatan yang bernilai. Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya kejujuran itu akan mengantarkan kepada jalan kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu akan mengantarkan ke dalam al- jannah (surga), sesungguhnya orang yang benar-benar jujur akan dicacat di sisi Allah sebagai ash-shidiq (orang yang jujur). Dan sesungguhnya orang yang dusta akan mengantarkan ke jalan kejelekan, dan sesungguhnya kejelekan itu akan mengantarkan ke dalam an- naar (neraka), sesungguhnya orang yang benar-benar dusta akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta. “ (HR. Al Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2606).

Kantin Kejujuran dan Peran Guru
Sejatinya masalah korupsi berpangkal dari kejujuran. Meski kesempatan ada dan uang yang dikorupsi sudah di depan mata, tapi kalau seseorang bisa menjalankan amanah dengan jujur pasti tak akan terjadi praktik korupsi.
Tapi kalau sifat tidak jujur itu muncul akibat pengaruh setan, meski kesempatan dan uang yang dikorupsi tidak ada secara langsung, pasti dia akan mencari-cari. Jadi, yang perlu dikedepankan untuk mengurangi praktik korupsi adalah bagaimana pemerintah kita bisa menciptakan aparatur yang jujur. Termasuk juga membudayakan nilai-nilai kejujuran berkembang di tengah-tengah masyarakat kita.
Salah satu upaya untuk menumbuhkan nilai-nilai kejujuran kini telah dirintis oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung. Sejak beberapa bulan lalu KPK sudah mencoba mendirikan Warung Kejujuran. Langkah itu kemudian ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung dengan mendirikan Kantin Kejujuran di sekolah-sekolah. Pada Hari Antikorupsi lalu, Kejaksaan Agung membuat 2.711 Kantin Kejujuran di sekolah-sekolah seluruh Indonesia sebagai upaya edukatif anti korupsi.
Tanpa kejujuran, praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan segala bentuk manipulasi lainnya akan tetap subur di negeri ini. Untuk itu, kantin kejujuran yang merupakan pendidikan Antikorupsi perlu diterapkan sebagai upaya prepentif bagi generasi muda. Sebab, prevention is better than cure, pencegahan lebih baik dari pada mengobati.
Kantin kejujuran merupakan upaya untuk mendidik akhlak siswa agar berperilaku jujur. Kantin kejujuran adalah kantin yang menjual makanan kecil dan minuman. Kantin kejujuran tidak memiliki penjual dan tidak dijaga. Makanan atau minuman dipajang dalam kantin. Dalam kantin tersedia kotak uang, yang berguna menampung pembayaran dari siswa yang membeli makanan atau minuman. Bila ada kembalian, siswa mengambil dan menghitung sendiri uang kembalian dari dalam kotak tersebut.
Di kantin ini, kesadaran siswa sangat dituntut untuk berbelanja dengan membayar dan mengambil uang kembalian jika memang berlebih, tanpa harus diawasi oleh guru atau pegawai kantin. Salah satu motto yang ditanamkan di kantin ini adalah Anda berbuat, Allah Melihat Malaikat Mencatat. Kantin Kejujuran merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam pendidikan Antikorupsi. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu problema bangsa yang hingga kini belum tuntas diselesaikan adalah praktik korupsi. Virus korupsi yang telah mewabah dan tumbuh subur di masa orde baru telah mengakibatkan kesengsaraan rakyat yang berkepanjangan, bahkan menghambat kemajuan bangsa dan negara. Sangat sulit untuk memutus tali rantai virus tersebut. Meskipun demikian, putra-putri bangsa yang masih memegang idealisme yang tinggi dan merindukan keadilan di negeri ini akan tetap berupaya untuk memberangus virus korupsi.

Urgensi Kantin Kejujuran
Namun pelaksanaan kantin kejujuran akan sukses dengan dukungan bersama dari warga sekolah. Program tersebut tidak hanya keinginan dari atasan, akan tetapi kebijakan pemerintah justru patut diberikan apresiasi yang tinggi dengan mensukseskannya secara bersama. Bukan berarti program ini menambah beban bagi sekolah, terutama bagi guru. Justru melalui program ini mempermudah guru untuk mendidik akhlak siswa. Sebab, tugas guru tidak hanya melaksanakan proses pembelajaran di dalam kelas, tetapi lebih dari itu guru turut bertanggung jawab dalam membina kepribadian siswa. Hal ini sesuai dengan amanah UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen di mana pada pasal 6 disebutkan bahwa “kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional...”.
Sementara salah satu tujuan pendidikan nasional adalah mewujudkan peserta didik yang berakhlak mulia. Hat ini ditegaskan dalam UU Sisdiknas, pasal 3 ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “... untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Sekali lagi, tugas guru tidak hanya mengajarkan materi an sich, tetapi berupaya semaksimal mungkin untuk membentuk kepribadian peserta didik yang sempurna. Selain itu, orangtua juga perlu memberikan motivasi dan pembinaan anak-anaknya agar selalu berperilaku jujur di sekolah, di rumah, maupun di lingkungan masyarakat.
Pihak Pemda Kab. Sukabumi, dalam hal ini Bupati Sukabumi, H. Sukmawijaya, dengan didukung oleh MUI Kab. Sukabumi, mengeluarkan Perbup Nomor 33 tahun 2008 tentang Standar Isi Program Pengembangan diri bidang pembiasaan Akhlak Mulia di sekolah dan Madrasah. Menurut hemat penulis, perbup ini sangat strategis dalam upaya mewujudkan masyarakat Kab. Sukabumi yang berakhlak mulia. MAN Cibadak Kab. Sukabumi telah berikhtiar untuk menyukseskan program pembiasaan akhlak mulia tersebut dengan mendirikan Kantin Kejujuran dan melaksanakan program-program lainnya. Kiranya pemda dapat mempertimbangkan untuk mengeluarkan kebijakan tentang kewajiban lembaga pendidikan untuk mendirikan kantin kejujuran sebagai wahana pembinaan akhlak mulia di Kab. Sukabumi.
Dengan adanya kerja sama yang baik antara orangtua, sekolah, pemerintah, dan masyarakat, lnsya’ Allah kita akan mampu mendidik generasi muda berperilaku jujur dan berakhlak mulia sebagai modal utama untuk membangun bangsa yang berperadaban tinggi bebas dari korupsi dengan membiasakan akhlak mulia. Semoga.

03 Juli 2009

ANALISIS RENCANA STRATEGIS DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

LATAR BELAKANG

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Pemerataan dan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki keterampilan hidup (life skills) sehingga memiliki kemampuan untuk mengenal dan mengatasi masalah diri dan lingkungannya, mendorong tegaknya masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila.
Upaya untuk membangun manusia seutuhnya sudah menjadi tekad pemerintah sejak Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I Tahun 1969—1974, namun selama ini pembangunan pendidikan nasional belum mencapai hasil sesuai yang diharapkan. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) selaku penanggung jawab sistem pendidikan nasional bertekad mewujudkan cita-cita luhur tersebut, diawali dengan menyusun Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Pendidikan Nasional Tahun 2000—2009 yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Renstra Depdiknas menjadi pedoman bagi semua tingkatan pengelola pendidikan, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, satuan pendidikan, dan masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan pendidikan nasional serta mengevaluasi hasilnya.
Tahun 2005, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 tentang RPJMN Tahun 2004–2009 yang mengamanatkan tiga misi pembangunan nasional, yaitu (1) mewujudkan negara Indonesia yang aman dan damai; (2) mewujudkan bangsa Indonesia yang adil dan demokratis; dan (3) mewujudkan bangsa Indonesia yang sejahtera. Untuk mewujudkannya, bangsa kita harus menjadi bangsa yang berkualitas, sehingga setiap warga negara mampu meningkatkan kualitas hidup, produktivitas dan daya saing terhadap bangsa lain di era global.
Saat ini pembangunan pendidikan nasional belum mencapai hasil sesuai yang diharapkan. Depdiknas selaku pemegang amanah pelaksanaan sistem pendidikan nasional memiliki kewajiban untuk mewujudkan misi pembangunan tersebut. Manusia seperti apa yang ingin dibangun? Perspektif pembangunan pendidikan tidak hanya ditujukan untuk mengembangkan aspek intelektual saja melainkan juga watak, moral, sosial dan fisik perserta didik, atau dengan kata lain menciptakan manusia Indonesia seutuhnya.
Renstra Depdiknas disusun dengan mengacu pada amanat UUD 1945, amandemen ke–4 Pasal 31 tentang Pendidikan; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan; Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas); UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

VISI DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

Pembangunan Indonesia di masa depan bersandar pada visi Indonesia jangka panjang, yaitu terwujudnya negara-bangsa (nation-state) Indonesia modern yang aman dan damai, adil dan demokratis, serta sejahtera dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan, dan persatuan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pembangunan pendidikan nasional ke depan didasarkan pada paradigma membangun manusia Indonesia seutuhnya, yang berfungsi sebagai subyek yang memiliki kapasitas untuk mengaktualisasikan potensi dan dimensi kemanusiaan secara optimal. Dimensi kemanusiaan itu mencakup tiga hal paling mendasar, yaitu (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik, yang memungkinkan ketiga dimensi kemanusiaan paling elementer di atas dapat berkembang secara optimal. Dengan demikian, pendidikan seyogyanya menjadi wahana strategis bagi upaya mengembangkan segenap potensi individu, sehingga cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai.
Selain itu, pembangunan pendidikan nasional juga diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan bagi peserta didik, yang menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, pemerintah mempunyai kewajiban konstitusional untuk memberi pelayanan pendidikan yang dapat dijangkau oleh seluruh warga negara. Oleh karena itu, upaya peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas merupakan mandat yang harus dilakukan bangsa Indonesia sesuai dengan tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Sesuai Ketentuan Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan Nasional berkewajiban untuk mencapai Visi Pendidikan Nasional sebagai berikut.

TERWUJUDNYA SISTEM PENDIDIKAN SEBAGAI PRANATA SOSIAL YANG KUAT DAN BERWIBAWA UNTUK MEMBERDAYAKAN SEMUA WARGA NEGARA INDONESIA BERKEMBANG MENJADI MANUSIA YANG BERKUALITAS SEHINGGA MAMPU DAN PROAKTIF MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN YANG SELALU BERUBAH.

Visi Depdiknas lebih menekankan pada pendidikan transformatif, yang menjadikan pendidikan sebagai motor penggerak perubahan dari masyarakat berkembang menuju masyarakat maju. Pembentukan masyarakat maju selalu diikuti oleh proses transformasi struktural, yang menandai suatu perubahan dari masyarakat yang potensi kemanusiannya kurang berkembang menuju masyarakat maju dan berkembang yang mengaktualisasikan potensi kemanusiannya secara optimal. Bahkan di era global sekarang, transformasi itu berjalan dengan sangat cepat yang kemudian mengantarkan pada masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society).
Di dalam masyarakat berbasis pengetahuan, peranan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat dominan. Masyarakat Indonesia yang indeks teknologinya masih rendah belum secara optimal memanfaatkan Iptek sebagai penggerak utama (prime mover) perubahan masyarakat. Pendidikan memfasilitasi peningkatan indeks teknologi tersebut, namun demikian, peningkatan indeks teknologi tidak semata-mata ditentukan oleh pendidikan, melainkan juga oleh transfer teknologi yang biasanya menyertai investasi. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus sinkron dengan kebijakan investasi.
Untuk itu, pendidikan harus terus-menerus melakukan adaptasi dan penyesuaian dengan gerak perkembangan ilmu pengetahuan modern dan inovasi teknologi maju, sehingga tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan zaman. Pendidikan bertugas untuk menyiapkan peserta didik agar dapat mencapai peradaban yang maju melalui perwujudan suasana belajar yang kondusif, aktivitas pembelajaran yang menarik dan mencerahkan, serta proses pendidikan yang kreatif.
Pendidikan juga menciptakan kemandirian baik pada individu maupun bangsa. Pendidikan yang menumbuhkan jiwa kemandirian menjadi sangat penting justru ketika dunia dihadapkan pada satu sistem tunggal yang digerakkan oleh pasar bebas. Bangsa Indonesia sulit bertahan jika tidak memiliki kemandirian karena hidupnya semakin tergantung pada bangsa-bangsa yang lebih kuat. Selain itu, pendidikan harus menjadi bagian dari proses perubahan bangsa menuju masyarakat madani, yakni masyarakat demokratis, taat, hormat, dan tunduk pada hukum dan perundang-undangan, melestarikan keseimbangan lingkungan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

MISI DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Misi Pendidikan Nasional adalah:
1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.

Untuk mewujudkan misi tersebut, Depdiknas menetapkan beberapa strategi dan program yang disusun berdasarkan suatu skala prioritas. Salah satu bentuk dari prioritas tersebut adalah penggunaan dana APBN/APBD dan dana masyarakat yang lebih ditekankan pada:
1. upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan;
2. peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan; dan
3. Peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelolaan pendidikan.

TATA NILAI DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

Depdiknas menyadari bahwa tata nilai yang ideal akan sangat menentukan keberhasilan dalam melaksanakan proses pembangunan pendidikan sesuai dengan visi dan misi yang telah ditetapkan. Penetapan tata nilai yang merupakan dasar sekaligus pemberi arah bagi sikap dan perilaku semua pegawai dalam menjalankan tugas sehari-hari. Selain itu, tata nilai tersebut juga akan menyatukan hati dan pikiran seluruh pegawai dalam usaha mewujudkan visi dan misi Depdiknas.
Untuk itu, Depdiknas telah mengidentifikasi nilai-nilai yang harus dimiliki oleh setiap pegawai (input values), nilai-nilai dalam melakukan pekerjaan (process values) serta nilai-nilai-nilai yang akan ditangkap oleh pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan antara lain Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pegawai, donatur, dunia pendidikan, dan masyarakat. Nilai masukan yang tepat akan mengantisipasi karakteristik calon pegawai Depdiknas. Nilai masukan selanjutnya akan menjalankan nilai proses dengan baik dalam manajemen organisasi untuk meningkatkan mutu interaksi antar manusia di dalam struktur organisasi Depdiknas. Selanjutnya nilai input dan nilai proses akan menghasilkan nilai keluaran yang akan memfokuskan Depdiknas pada hal-hal yang diharapkan dalam mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan dengan lebih baik.
Nilai-nilai masukan (input values), yakni nilai-nilai yang dibutuhkan dalam diri setiap pegawai Depdiknas dalam rangka mencapai keunggulan, yang meliputi:
• Amanah
Memiliki integritas, bersikap jujur dan mampu mengemban kepercayaan.
• Profesional
Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai serta memahami bagaimana mengimplementasikannya.
• Antusias dan bermotivasi tinggi
Menunjukkan rasa ingin tahu, semangat berdedikasi serta berorientasi pada hasil.
• Bertanggung jawab dan mandiri
Memahami resiko pekerjaan dan berkomitmen untuk mempertanggung-jawabkan hasil kerjanya serta tidak tergantung kepada pihak lain.
• Kreatif
Memiliki pola pikir, cara pandang, dan pendekatan yang variatif terhadap setiap permasalahan.
• Disiplin
Taat pada tata tertib dan aturan yang ada serta mampu mengajak orang lain untuk bersikap yang sama.
• Peduli dan menghargai orang lain
Menyadari dan mau memahami serta memperhatikan kebutuhan dan kepentingan pihak lain.
• Belajar sepanjang hayat
Berkeinginan dan berusaha untuk selalu menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan dan pengalaman serta mampu mengambil hikmah dan mejadikan pelajaran atas setiap kejadian.
Nilai-nilai proses (process values), yakni nilai-nilai yang harus diperhatikan dalam bekerja di Depdiknas, dalam rangka mencapai dan mempertahankan kondisi yang diinginkan, yang meliputi:
• Visioner dan berwawasan
Bekerja berlandaskan pengetahuan dan informasi yang luas serta wawasan yang jauh ke depan.
• Menjadi teladan
Berinisiatif untuk memulai dari diri sendiri untuk melakukan hal-hal yang baik sehingga menjadi contoh bagi pihak lain.
• Memotivasi (motivating)
Memberikan dorongan dan semangat bagi pihak lain untuk berusaha mencapai tujuan bersama.
• Mengilhami (inspiring)
Memberikan inspirasi dan memberikan dorongan agar pihak lain tergerak untuk menghasilkan karya terbaiknya.
• Memberdayakan (empowering)
Memberikan kesempatan dan mengoptimalkan daya usaha pihak lain sesuai kemampuannya.
• Membudayakan (culture-forming)
Menjadi motor dan penggerak dalam pengembangan masyarakat menuju kondisi yang lebih berbudaya.
• Taat azas
Mematuhi tata tertib, prosedur kerja, dan peraturan perundang-undangan.
• Koordinatif dan bersinergi dalam kerangka kerja tim
Bekerja bersama berdasarkan komitmen, kepercayaan, keterbukaan, saling menghargai, dan partisipasi aktif bagi kepentingan Depdiknas.
• Akuntabel
Bekerja secara terukur dengan prinsip yang standar serta memberikan hasil kerja yang dapat dipertanggungjawabkan.

Nilai-nilai keluaran (output values), yakni nilai-nilai yang diperhatikan oleh para stakeholders (Pemerintah, DPR, pegawai, donatur, dunia pendidikan, dan masyarakat lainnya), yang meliputi:
• Produktif (efektif dan efisien)
Memberikan hasil kerja yang baik dalam jumlah yang optimal melalui pelaksanaan kerja yang efektif dan efisien.
• Gandrung mutu tinggi/service excellence
Menghasilkan dan memberikan hanya yang terbaik.
• Dapat dipercaya (andal)
Mampu mengemban kepercayaan dan memberikan bukti berupa hasil kerja dalam usaha pencapaian visi dan misi Depdiknas.
• Responsif dan aspiratif
Peka dan mampu dengan segera menindaklanjuti tuntutan yang selalu berubah.
• Antisipatif dan inovatif
Mampu memprediksi dan tanggap terhadap perubahan yang akan terjadi, serta menghasilkan gagasan dan pengembangan baru.
• Demokratis, berkeadilan, dan inklusif
Terbuka atas kritik dan masukan serta mampu bersikap adil dan merata.


KEBIJAKAN POKOK PEMBANGUNAN PENDIDIKAN NASIONAL
Pemerataan dan Perluasan Akses
Pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan pada upaya memperluas daya tampung satuan pendidikan serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara sosial, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era global, serta meningkatkan peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) hingga mencapai posisi sama dengan atau lebih baik dari peringkat IPM sebelum krisis. Untuk itu, sampai dengan tahun 2009 dilakukan upaya-upaya sistematis dalam pemerataan dan perluasan pendidikan, dengan mempertahankan APM-SD pada tingkat 95%, memperluas SMP/MTs hingga mencapai APK 98,0% serta menurunkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas hingga 5%.
Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun memperhatikan pelayanan yang adil dan merata bagi penduduk yang menghadapi hambatan ekonomi dan sosial-budaya (yaitu penduduk miskin, memiliki hambatan geografis, daerah perbatasan, dan daerah terpencil), maupun hambatan atau kelainan fisik, emosi, mental serta intelektual peserta didik. Untuk itu, diperlukan strategi yang lebih efektif antara lain dengan membantu dan mempermudah mereka yang belum bersekolah, putus sekolah, serta lulusan SD/MI/SDLB yang tidak melanjutkan ke SMP/MTs/SMPLB yang masih besar jumlahnya, untuk memperoleh layanan pendidikan. Di samping itu, akan dilakukan strategi yang tepat untuk meningkatkan aspirasi masyarakat terhadap pendidikan, khususnya pada masyarakat yang menghadapi hambatan tersebut.
Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun akan menambah jumlah lulusan SMP/MTs/SMPLB setiap tahunnya, sehingga juga akan mendorong perluasan pendidikan menengah. Dengan bertambahnya permintaan pendidikan menengah, Pemerintah juga melakukan perluasan pendidikan menengah terutama bagi mereka yang karena satu dan lain hal tidak dapat menikmati pendidikan SMA yang bersifat reguler, melalui SMA Terbuka dan Paket C, sehingga pada gilirannya mendorong peningkatan APM-SMA. Oleh karena SMA cenderung semakin meluas jauh di atas SMK, maka Pemerintah lebih mempercepat pertumbuhan SMK diiringi dengan upaya mendorong peningkatan program pendidikan kejuruan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang terus berubah.
Pemerintah akan memperluas akses pendidikan tinggi untuk menjawab meningkatnya partisipasi sekolah menengah. Meningkatnya angka partisipasi PT tersebut akan diiringi oleh kebijakan yang mengarah pada pencapaian daya saing lulusan PT secara global. Secara bersamaan, dilakukan upaya untuk meningkatkan proporsi jumlah keahlian yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Salah satu upaya untuk pemenuhan tersebut diantaranya melalui peningkatan jumlah keahlian bidang vokasi melalui institusi politeknik. Selain itu, dikembangkan program community college yang merupakan upaya harmonisasi antara pendidikan kejuruan di SMK, pendidikan nonformal berkelanjutan, dan pendidikan vokasi. Di samping itu, peningkatan APK PT dapat dicapai dengan memberikan kesempatan kepada anak-anak berkebutuhan khusus untuk mendapat pelayanan pendidikan yang memadai.
Dengan mempertimbangkan keterbatasan kapasitas fiskal negara, strategi pemerataan dan perluasan akses pendidikan tinggi lebih diarahkan pada peran partisipasi swasta dalam mendirikan lembaga pendidikan tinggi baru. Namun, strategi perluasan akan dikaitkan dengan pencapaian mutu yang lebih baik dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era global. Untuk itu, pemerintah akan terus membenahi peraturan dan perundang-undangan serta memperkuat kapasitas kelembagaan yang terkait dengan fungsi pengendalian dan penjaminan mutu.
Kebijakan perluasan pendidikan tinggi juga dilakukan searah dengan upaya membuka kesempatan bagi calon mahasiswa yang berasal dari penduduk di atas usia ideal pendidikan tinggi (>24 th) seperti karyawan, guru, tenaga spesialis industri, termasuk dalam pendidikan nongelar dan pendidikan profesi yang mengutamakan penguasaan pengetahuan, keterampilan dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja industri.
Perluasan akses pendidikan tinggi juga dilakukan melalui pengembangan kapasitas pembelajaran digital jarak jauh yang semakin luas dan efektif. Universitas Terbuka dan institusi sejenis lainnya ditugaskan untuk mengimplementasikan strategi ini, dengan memanfaatkan secara optimal TIK dalam proses pembelajaran, pengelolaan, dan akses informasi. Dalam kaitan itu, Ditjen Pendidikan Tinggi memprioritaskan investasi infrastruktur TIK untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran jarak jauh pada Universitas Terbuka dan perguruan tinggi lainnya serta Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan.
Beberapa kebijakan strategis yang disusun dalam rangka memperluas pemerataan dan akses pendidikan adalah sebagai berikut.
a. Memperluas akses bagi anak usia 0–6 tahun, baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai potensi yang dimiliki dan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan dalam mengikuti pendidikan di SD/MI.
b. Menghapus hambatan biaya (cost barriers) melalui pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) bagi semua siswa pada jenjang Dikdas baik pada sekolah umum maupun madrasah yang dimiliki oleh pemerintah atau masyarakat, yang besarnya dihitung berdasarkan unit cost per siswa dikalikan dengan jumlah seluruh siswa pada jenjang tersebut. Di samping itu, dilakukan kebijakan pemberian bantuan biaya personal terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin pada jenjang Dikdas melalui pemanfaatan BOS untuk tujuan tersebut. Secara bertahap BOS akan dikembangkan menjadi dasar untuk penentuan satuan biaya pendidikan berdasarkan formula (formula-based funding) yang memperhitungkan siswa miskin maupun kaya serta tingkat kondisi ekonomi daerah setempat.
c. Membentuk ”SD-SMP Satu Atap” bagi daerah terpencil yang berpenduduk jarang dan terpencar, dengan menambahkan ruang belajar SMP di SD untuk menyelenggarakan program pendidikan SMP bagi lulusannya. Untuk mengatasi kesulitan tenaga pengajar dalam kebijakan ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan guru SD untuk mengajar di SMP pada beberapa mata pelajaran yang relevan atau dengan meningkatkan kompetensi guru sehingga dapat mengajar di SMP. Selain itu, dilakukan upaya memaksimalkan fasilitas yang sudah ada, baik ruang kelas maupun bangunan sekolah dengan membuat jaringan sekolah antara SMP dengan SD-SD yang ada di wilayah layanannya (catchment areas) serta menggabungkan SD-SD yang sudah tidak efisien lagi.
d. Memperluas akses bagi anak usia sekolah 7–15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak/belum terlayani di jalur pendidikan formal untuk memiliki kesempatan mendapatkan layanan pendidikan di jalur nonformal maupun program pendidikan terpadu/ inklusif bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus terutama untuk daerah-daerah yang tidak tersedia layanan pendidikan khusus luar biasa. Di samping itu, untuk memperluas akses bagi penduduk usia 13-15 tahun dikembangkan SMP Terbuka melalui optimalisasi daya tampung dan pengembangan SMP Terbuka model maupun melalui model layanan pendidikan alternatif yang inovatif.
e. Memperluas akses bagi penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki kesempatan mendapatkan layanan pendidikan keaksaraan melalui jalur pendidikan nonformal. Perluasan kesempatan bagi penduduk buta aksara dilakukan dengan menjalin berbagai kerjasama dengan stakeholder pendidikan, seperti organisasi keagamaan, organisasi perempuan, dan organisasi lain yang dapat menjangkau lapisan masyarakat, serta PT.
f. Memfasilitasi peran serta masyarakat dalam memperluas akses sekolah menengah (SM), khususnya pada daerah-daerah yang memiliki lulusan SMP cukup besar. Di sisi lain, juga mengembangkan SM terpadu, yaitu pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan umum dan kejuruan dalam satu satuan pendidikan. Bagi siswa yang berkebutuhan khusus, dilakukan kebijakan strategis dalam melaksanakan program pendidikan inklusif.
g. Memperluas akses terhadap pendidikan di SMK sesuai dengan kebutuhan dan keunggulan lokal. Perluasan SMK ini dilaksanakan melalui penambahan program pendidikan kejuruan yang lebih fleksibel sesuai dengan tuntutan pasar kerja yang berkembang. Di samping itu, dilakukan upaya penambahan muatan pendidikan keterampilan di SMA bagi siswa yang akan bekerja setelah lulus.
h. Memperluas daya tampung PT yang ada dengan memberikan fasilitasi pada perguruan tinggi untuk membuka program-program keahlian yang dibutuhkan masyarakat dan mengalihfungsikan atau menutup sementara secara fleksibel program-program yang lulusannya sudah jenuh.
i. Memperluas kesempatan belajar pada perguruan tinggi yang lebih dititikberatkan pada program-program politeknik, pendidikan tinggi vokasi dan profesi yang berorientasi lebih besar pada penerapan teknologi tepat guna untuk kebutuhan dunia kerja.
j. Memperluas kesempatan belajar sepanjang hayat bagi penduduk dewasa yang ingin meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan hidup yang relevan dengan kebutuhan masyarakat melalui program-program pendidikan berkelanjutan. Perluasan kesempatan belajar sepanjang hayat dapat juga dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai fasilitas pendidikan formal yang sudah ada sebagai bagian dari harmonisasi pendidikan formal dan nonformal.
k. Memperhatikan secara khusus kesetaraan gender, pendidikan untuk layanan khusus di daerah terpencil dan daerah tertinggal, daerah konflik, perbatasan, dan lain-lain, serta mengimplementasikannya dalam berbagai program secara terpadu.
l. Melaksanakan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), serta advokasi kepada masyarakat agar keluarga makin sadar akan pentingnya pendidikan serta mau mengirimkan anak-anaknya ke sekolah dan/atau mempertahankan anaknya untuk tetap bersekolah.
m. Melaksanakan advokasi bagi pengambil keputusan, baik di eksekutif maupun legislatif dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada pembangunan pendidikan.
n. Memanfaatkan secara optimal sarana radio, televisi, komputer dan perangkat TIK lainnya untuk digunakan sebagai media pembelajaran dan untuk pendidikan jarak jauh sebagai sarana belajar alternatif selain menggunakan modul atau tutorial, terutama bagi daerah terpencil dan mengalami hambatan dalam transportasi, serta jarang penduduk.

Kebijakan untuk pemerataan dan perluasan akses pendidikan dilakukan melalui penguatan program-program sebagai berikut:
1. Pendanaan biaya operasi Wajar Dikdas 9 Tahun;
2. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan wajar;
3. Rekrutmen pendidik dan tenaga kependidikan;
4. Perluasan pendidikan Wajar pada jalur nonformal;
5. Perluasan akses pendidikan keaksaraan bagi penduduk usia >15 tahun;
6. Perluasan akses SLB dan sekolah inklusif;
7. Pengembangan pendidikan layanan khusus bagi anak usia Wajar Dikdas di daerah (bermasalah) terpencil, daerah berpenduduk jarang dan terpencar, daerah bencana, daerah konflik, serta anak jalanan;
8. Perluasan akses PAUD;
9. Pendidikan kecakapan hidup;
10. Perluasan akses SMA/SMK dan SM terpadu;
11. Perluasan akses perguruan tinggi;
12. Pemanfatan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana pembelajaran jarak jauh;
13. Peningkatan peran serta masyarakat dalam perluasan akses SMA, SMK/SM Terpadu, SLB, dan PT;


PENINGKATAN MUTU, RELEVANSI, DAN DAYA SAING

Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing di masa depan diharapkan dapat memberikan dampak bagi perwujudan eksistensi manusia dan interaksinya sehingga dapat hidup bersama dalam keragaman sosial dan budaya. Selain itu, upaya peningkatan mutu dan relevansi dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat serta daya saing bangsa. Mutu pendidikan juga dilihat dari meningkatnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai humanisme yang meliputi keteguhan iman dan takwa serta berakhlak mulia, etika, wawasan kebangsaan, kepribadian tangguh, ekspresi estetika, dan kualitas jasmani. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan diukur dari pencapaian kecakapan akademik dan nonakademik yang lebih tinggi yang memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik di tingkat lokal, nasional maupun global.
Kebijakan peningkatan mutu pendidikan diarahkan pada pencapaian mutu pendidikan yang semakin meningkat yang mengacu pada standar nasional pendidikan (SNP). SNP meliputi berbagai komponen yang terkait dengan mutu pendidikan mencakup standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Pemerintah mendorong dan membimbing satuan-satuan dan program (studi) pendidikan untuk mencapai standar yang diamanatkan oleh SNP. Standar-standar tersebut digunakan juga sebagai dasar untuk melakukan penilaian terhadap kinerja satuan dan program pendidikan, mulai dari PAUD, Dikdas, pendidikan menengah (Dikmen), PNf, sampai dengan pendidikan tinggi (Dikti).
Peningkatan mutu pendidikan semakin diarahkan pada perluasan inovasi pembelajaran baik pada pendidikan formal maupun nonformal dalam rangka mewujudkan proses yang efisien, menyenangkan dan mencerdaskan sesuai tingkat usia, kematangan, serta tingkat perkembangan peserta didik. Pengembangan proses pembelajaran pada PAUD serta kelas-kelas rendah sekolah dasar lebih memperhatikan prinsip perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak anak dengan lebih menekankan pada upaya pengembangan kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual dengan prinsip bermain sambil belajar. Peningkatan mutu pendidikan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi semakin memperhatikan pengembangan kecerdasan intelektual dalam rangka memacu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di samping memperkokoh kecerdasan emosional, sosial, dan spritual peserta didik.
Upaya peningkatan mutu dan relevansi pendidikan secara berkelanjutan akan dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan secara terpadu yang pengelolaannya dikoordinasikan secara terpusat. Dalam pelaksanaannya koordinasi tersebut didelegasikan kepada gubernur atau aparat vertikal yang berkedudukan di provinsi. Manajemen mutu tersebut akan dilaksanakan melalui kebijakan strategis sebagai berikut.
1. Mengembangkan dan menetapkan standar nasional pendidikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai dasar untuk melaksanakan penilaian pendidikan, peningkatan kapasitas pengelolaan pendidikan, peningkatan sumberdaya pendidikan, akreditasi satuan dan program pendidikan, serta upaya penjaminan mutu pendidikan.
2. Melaksanakan evaluasi pendidikan melalui ujian sekolah oleh sekolah dan ujian nasional yang dilakukan oleh sebuah badan mandiri yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Ujian nasional mengukur ketercapaian kompetensi siswa/ peserta didik berdasarkan standar kompetensi lulusan yang ditetapkan secara nasional (benchmark). Hasil ujian nasional tidak merupakan satu-satunya alat untuk menentukan kelulusan siswa pada setiap satuan pendidikan tetapi terutama sebagai sarana untuk melakukan pemetaan dan analisis mutu pendidikan yang dimulai dari tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi sampai tingkat nasional.
3. Melaksanakan penjaminan mutu (quality assurance) melalui suatu proses analisis yang sistematis terhadap hasil ujian nasional dan hasil evaluasi lainnya yang dimaksudkan untuk menentukan faktor pengungkit dalam upaya peningkatan mutu, baik antarsatuan pendidikan, antarkabupaten/kota, antarprovinsi, atau melalui pengelompokan lainnya. Analisis dilakukan oleh Pemerintah bersama pemerintah provinsi yang secara teknis dibantu oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) pada masing-masing wilayah. Berdasarkan analisis itu, diberikan intervensi terhadap satuan dan program (studi) pendidikan di antaranya melalui: pendidikan dan pelatihan terutama pengembangan proses pembelajaran efektif, pemberian bantuan teknis, pengadaan dan pemanfaatan sumberdaya pendidikan, serta pemanfaatan ICT dalam pendidikan. Di samping itu untuk mempercepat tercapainya pemerataan mutu pendidikan dilakukan pemberian bantuan yang diarahkan pada satuan pendidikan yang belum mencapai standar nasional.
4. Melakukan tindakan afirmatif dengan memberikan perhatian lebih besar pada satuan pendidikan yang kualitasnya rendah, baik dilihat dari input, proses, maupun outputnya.
5. Melaksanakan akreditasi satuan dan/atau program pendidikan untuk menentukan status akreditasinya masing-masing. Penilaian dilakukan setiap lima tahun dengan mengacu pada SNP. Akreditasi juga dapat menggunakan rata-rata hasil ujian nasional dan/atau ujian sekolah sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan status akreditasi tersebut. Hasil akreditasi dijadikan sebagai landasan untuk melakukan program pengembangan kapasitas dan peningkatan mutu setiap satuan atau program pendidikan. Pelaksanaan akreditasi ini dilakukan secara independen oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Badan Akreditasi Nasional Sekolah dan Madrasah (BAN-SM), dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal (BAN-PNF).

Kebijakan untuk peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan dilakukan melalui penguatan program-program sebagai berikut:
1. Implementasi dan penyempurnaan SNP dan penguatan peran Badan SNP;
2. a.Pengawasan dan penjaminan mutu secara terprogram dengan mengacu pada SNP;
3. 2. b.Survai benchmarking mutu pendidikan terhadap standar internasional;
4. Perluasan dan peningkatan mutu akreditasi oleh BAN-SM, BAN-PNF dan BAN-PT;
5. a.Pengembangan guru sebagai profesi;
6. 4. b.Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan nonformal;
7. Pengembangan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan;
8. Perbaikan dan pengembangan sarana dan prasarana;
9. Perluasan pendidikan kecakapan hidup;
10. Pengembangan sekolah berbasis keunggulan lokal di setiap kabupaten/kota;
11. Pembangunan sekolah bertaraf internasional di setiap provinsi/kabupaten /kota;
12. Mendorong jumlah jurusan di PT yang masuk dalam 100 besar Asia atau 500 besar Dunia;
13. Akselerasi jumlah program studi kejuruan, vokasi, dan profesi;
14. a. Peningkatan jumlah dan mutu publikasi ilmiah dan HAKI;
12. b.Peningkatan kreativitas, entrepreneurship, dan kepemimpinan mahasiswa;
15. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan;

PENGUATAN TATA KELOLA, AKUNTABILITAS, DAN CITRA PUBLIK

Tujuan jangka panjang Depdiknas adalah mendorong kebijakan sektor agar mampu memberikan arah reformasi pendidikan secara efektif, efisien dan akuntabel. Kebijakan ini diarahkan pada pembenahan perencanaan jangka menengah dengan menetapkan kebijakan strategis serta program-program yang didasarkan pada urutan prioritas. Di samping itu, disusun pula pola-pola pendanaan bagi keseluruhan sektor berdasarkan prioritas, baik dari sumber Pemerintah, orang tua maupun stakeholder lain di setiap tingkat pemerintahan.
Pengelolaan pendidikan nasional menggunakan pendekatan secara menyeluruh dari sektor pendidikan (sector-wide approach) yang bercirikan (a) program kerja disusun secara kolaboratif dan sinergis untuk menguatkan implementasi kebijakan pada semua tingkatan, (b) reformasi institusi dilaksanakan secara berkelanjutan yang didukung program pengembangan kapasitas, dan (c) perbaikan program dilakukan secara berkelanjutan dan didasarkan pada evaluasi kinerja tahunan yang dilaksanakan secara sistematis dan memfungsikan peran-peran stakeholder yang lebih luas.
Pemerintah melaksanakan pengembangan kapasitas institusi pendidikan secara sistemik dan terencana dengan menggunakan pendekatan keseluruhan sektor tersebut di atas. Strategi pengembangan kapasitas lebih diarahkan pada proses manajemen perubahan secara endogeneous atau perubahan yang didorong secara internal. Perubahan yang didorong secara internal akan lebih menjamin terjadinya perubahan secara berkelanjutan, menumbuhkan rasa kepemilikan, kepemimpinan, serta komitmen bersama.
Kebijakan tata kelola dan akuntabilitas meliputi sistem pembiayaan berbasis kinerja baik di tingkat satuan pendidikan maupun pemerintah daerah, dan manajemen berbasis sekolah (MBS), untuk membantu Pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengalokasikan sumberdaya serta memonitor kinerja pendidikan secara keseluruhan. Di samping itu, peran serta masyarakat dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan kinerja pendidikan ditingkatkan melalui peran komite sekolah/satuan pendidikan dan dewan pendidikan.
Pemerintah bertekad mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN serta memberikan pelayanan yang lebih bermutu, efektif, dan efisien sesuai kebutuhan masyarakat. Pemerintahan yang bersih dari KKN diwujudkan melalui internalisasi etos kerja serta disiplin kerja yang tinggi sebagai bentuk akuntabilitas aparatur negara serta perwujudan profesionalisme aparatur. Untuk itu, segenap aparatur yang ada di Departemen Pendidikan Nasional perlu meningkatkan kinerjanya untuk mewujudkan pelayanan yang bermutu, merata dan adil di dalam suatu tata kelola pemerintahan yang sehat. Aparatur juga perlu mengubah mindset atas perilaku dan sikap seorang birokrat menjadi pelayan masyarakat yang profesional.
Kebijakan perwujudan tata kelola pemerintahan yang sehat dan akuntabel dilakukan secara intensif melalui sistem pengendalian internal (SPI), pengawasan masyarakat, serta pengawasan fungsional yang terintegrasi dan berkelanjutan. Pemerintah mengembangkan dan melaksanakan SPI pada masing-masing satuan kerja dalam mengelola kegiatan pelayanan pendidikan sehari-hari. Pengawasan fungsional dilakukan oleh Inspektorat Jenderal, Badan Pengawas Keuangan RI, dan BPKP terhadap hasil pembangunan pendidikan, sedangkan pengawasan masyarakat dilakukan langsung oleh individu-individu atau anggota masyarakat yang mempunyai bukti-bukti penyalahgunaan wewenang.
Sejalan dengan pembagian kewenangan antartingkat pemerintahan berdasarkan otonomi dan desentralisasi, pemerintah pusat mengkoordinasikan manajemen mutu pendidikan, sedangkan pemerintah daerah berperan dalam manajemen sarana/prasarana dan operasional layanan pendidikan. Untuk peningkatan efisiensi dan mutu layanan, diperlukan pengembangan kapasitas daerah serta penataan tata kelola pendidikan yang sehat dan akuntabel, baik pada tingkat satuan pendidikan maupun tingkat kabupaten/kota. Dalam kaitan itu, pemerintah daerah lebih berperan dalam mendorong otonomi satuan pendidikan melalui pengembangan kapasitas dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang bermutu.
Berdasarkan pembagian kewenangan tersebut di atas terdapat fungsi-fungsi baru yang harus dijalankan oleh pusat maupun daerah. Untuk itu dikembangkan mekanisme yang akan mengatur berbagai fungsi baru yang telah diidentifikasi tersebut dalam suatu struktur, sistem dan mekanisme yang baru didukung oleh peraturan perundangan yang sesuai. Berbagai identifikasi dan kajian mengenai pentingnya fungsi dan institusi baru yang diperlukan untuk pelayanan pendidikan dalam masa otonomi dan desentralisasi dilakukan secara komprehensif oleh Depdiknas.
Sesuai dengan kerangka pengaturan dan kerangka institusional, disusun kebijakan untuk mendorong terjadinya penguatan kapasitas satuan pendidikan dan program pada setiap tingkatan pemerintahan. Penguatan kapasitas satuan pendidikan atau program pendidikan diorientasikan untuk mencapai status kapasitas tertinggi, yaitu dapat memenuhi atau di atas SNP. Pengembangan kapasitas dilakukan untuk mendorong agar sebagian besar satuan pendidikan yang masih berada di bawah SNP secara bertahap akan diperkuat sehingga mampu melampaui SNP. Bagi satuan pendidikan yang sudah memenuhi SNP, akan didorong untuk memacu mutunya lebih tinggi lagi hingga dapat mencapai standar internasional. Pada tahun 2009, Pemerintah akan mendorong peningkatan proporsi satuan pendidikan untuk dapat mencapai sama atau di atas SNP setidak-tidaknya mencapai 25% SD/MI, 40% SMP/MTs, 50% SMA/MA, dan 50% SMK/MAK pada tahun 2009.
Pengembangan kapasitas diarahkan pada peningkatan kemampuan Kabupaten/kota secara sistematis untuk memberikan pelayanan pendidikan yang efektif dan akuntabel sesuai dengan SNP. Untuk meningkatkan kinerja pengelolaan pendidikan pada kabupaten/kota dikembangkan dan diremajakan indikator-indikator kinerja pengelolaan layanan pendidikan, baik pada jalur formal maupun nonformal yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Dalam jangka menengah diperkuat kapasitas pengelolaan layanan pendidikan terhadap kabupaten/kota sehingga dapat menambah kabupaten/kota yang memiliki kapasitas pelayanan sesuai dengan SNP.
Penguatan kapasitas pendidikan tinggi dilakukan melalui pengembangan mekanisme untuk mewujudkan kesehatan organisasi dan otonomi masing-masing perguruan tinggi. Secara keseluruhan, upaya tersebut dilakukan dengan menetapkan sistem, mekanisme, norma-norma, dan standar yang relevan yang dapat dijadikan acuan bagi masing-masing perguruan tinggi untuk meningkatkan kesehatan institusinya. Pada tahun 2009, diharapkan mekanisme kerja institusi dan aturan perundangan yang diperlukan sudah dapat diselesaikan.
Pengembangan kapasitas bagi setiap tingkat pemerintahan harus diarahkan pada peningkatan efisiensi pendidikan sebagai berikut.
1. Pada tingkat Pemerintah, prioritas pengembangan kapasitas mencakup penataan kelembagaan, penguatan sistem advokasi strategis dan monitoring, perbaikan sistem informasi kinerja dalam memetakan pencapaian SNP oleh satuan pendidikan dan pemerintah daerah.
2. Pada tingkat provinsi, pengembangan kapasitas harus lebih diarahkan pada peningkatan institusi pengelola dalam melaksanakan fungsi dekonsentrasi, yaitu kemampuan provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam mengelola pelaksanaan kegiatan yang menjadi wewenang pusat, misalnya pengendalian mutu, penjaminan mutu, evaluasi dan monitoring program, serta akreditasi. Kapasitas provinsi juga perlu ditingkatkan dalam melakukan koordinasi pelaksanaan kegiatan antarkabupaten/kota.
3. Pada tingkat kabupaten/kota, perlu penguatan kapasitas dalam menyusun kebijakan, rencana strategis dan operasional, sistem informasi dan sistem pembiayaan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan pendidikan. Kabupaten/kota berfungsi sebagai fasilitator yang memberikan kemudahan dan otonomi yang lebih luas bagi satuan pendidikan dalam upaya mencapai kemandirian.
4. Pada pendidikan tinggi, terutama dalam masa transisi dari sentralisasi menuju masa desentralisasi, pengembangan kapasitas dilakukan untuk mewujudkan perguruan tinggi yang memiliki keleluasaan dalam pelayanan pendidikan tinggi yang bermutu secara sehat dan akuntabel. Perguruan tinggi yang sehat memiliki kapasitas untuk merespon lingkungan yang berubah secara otonom dan unik.
5. Pada satuan pendidikan, penguatan kapasitas tercermin dari kemampuan satuan pendidikan dalam melaksanakan proses pembelajaran efektif untuk mencapai standar nasional pendidikan. Untuk itu, perlu ditingkatkan kemampuan kepala sekolah, pendidik, dan tenaga kependidikan lainnya dalam memanfaatkan sumber daya pendidikan agar mendorong kegiatan belajar peserta didik secara optimal.
Dalam rangka peningkatan akuntabilitas satuan pendidikan, sistem monitoring dan evaluasi ditata melalui mekanisme pelaporan kinerja satuan pendidikan. Peningkatan akuntabilitas dilakukan melalui pemberian bantuan bagi kabupaten/kota untuk melakukan monitoring kinerja pada satuan pendidikan. Melalui suatu tata kelola, sistem audit kinerja akan lebih difokuskan pada pelaksanaan block grants yang tepat sasaran. Block grants dilengkapi dengan dana pendamping dari penerima sehingga dapat menimbulkan rasa kepemilikan dari suatu program pembangunan.
Dengan strategi-strategi tersebut di atas akuntabilitas publik dapat diwujudkan secara sehat melalui peningkatan fungsi kontrol dari stakeholder pendidikan dalam rangka meningkatkan efisiensi layanan pendidikan. Diharapkan dalam lima tahun yang akan datang (tahun 2009) informasi tentang kinerja satuan pendidikan dapat diakses oleh keluarga dan masyarakat. SMK dan pendidikan tinggi vokasi didorong untuk menyediakan layanan informasi tentang penempatan kerja lulusannya sebagai bagian dari akuntabilitas satuan pendidikan.
Penerapan ICT akan dimanfaatkan secara optimal untuk membantu merealisasikan manajemen pendidikan yang transparan dan akuntabel. Model penerapannya dapat diwujudkan melalui media on-line yang memuat informasi dan laporan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan kepada publik atau stakeholder pendidikan lainnya. Dengan media tersebut, partisipasi masyarakat dalam bentuk usulan, kritik, atau informasi lainnya dapat diakomodasi secara lebih mudah dan terbuka kepada pembuat kebijakan.
Kebijakan dalam rangka peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik pendidikan secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Peningkatan sistem pengendalian internal berkoordinasi dengan BPKP dan BPK;
2. Peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat Inspektorat Jenderal;
3. Peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat perencanaan dan penganggaran;
4. Peningkatan kapasitas dan kompetensi managerial aparat;
5. Peningkatan ketaatan pada peraturan perundang-undangan;
6. Penataan regulasi pengelolaan pendidikan dan penegakkan hukum di bidang pendidikan;
7. Peningkatan citra publik;
8. Peningkatan kapasitas dan kompetensi pengelola pendidikan;
9. Pelaksanaan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan KKN;
10. Intensifikasi tindakan-tindakan preventif oleh Inspektorat Jenderal;
11. Intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan oleh Itjen, BPKP, dan BPK;
12. Penyelesaian tindak lanjut temuan-temuan pemeriksaan Itjen, BPKP, dan BPK;
13. Pengembangan aplikasi SIM secara terintegrasi (keuangan, aset, kepegawaian, dan data lainnya);


SISTEM PEMANTAUAN DAN EVALUASI

Sistem pemantauan dan evaluasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Renstra ini. Sistem ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pencapaian dan kesesuaian antara rencana yang telah ditetapkan dalam Renstra Depdiknas 2005-2009 dengan hasil yang dicapai berdasarkan kebijakan yang dilaksanakan melalui kegiatan dan/atau program pendidikan nasional di setiap satuan, jenjang, jenis, dan jalur pendidikan secara berkala.
Pemantauan dan evaluasi dilakukan dalam konteks desentralisasi pendidikan, yang ditempuh melalui proses perencanaan dan pelaksanaan pendidikan di tingkat pusat dan daerah. Proses ini sekaligus sebagai upaya pemberdayaan sekaligus peningkatan kapasitas dan kapabilitas aparat yang melakukan pemantauan dan evaluasi di berbagai tingkatan secara sinergis dan berkesinambungan, sehingga desentralisasi pendidikan dapat dilaksanakan dengan baik dalam waktu lima tahun yang akan datang.
Pemantauan dan evaluasi dilakukan oleh unit utama di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional, dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kabupaten/kota, cabang dinas pendidikan kecamatan, satuan pendidikan, BSNP, BAN-SM, dan LPMP.

Prinsip Pelaksanaan

Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut (1) kejelasan tujuan dan hasil yang diperoleh dari pemantauan dan evaluasi; (2) pelaksanaan dilakukan secara objektif; (3) dilakukan oleh petugas yang memahami konsep, teori dan proses serta berpengalaman dalam melaksanakan pemantauan dan evaluasi agar hasilnya sahih dan terandal; (4) pelaksanaan dilakukan secara terbuka (transparan), sehingga pihak yang berkepentingan dapat mengetahui dan hasilnya dapat dilaporkan kepada stakeholders melalui berbagai cara; (5) melibatkan berbagai pihak yang dipandang perlu dan berkepentingan secara proaktif (partisipatif); (6) pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan secara internal dan eksternal (akuntabel); (7) mencakup seluruh objek agar dapat menggambarkan secara utuh kondisi dan situasi sasaran pemantauan dan evaluasi (komprehensif); (8) pelaksanaan dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan pada saat yang tepat agar tidak kehilangan momentum yang sedang terjadi; (9) dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan; (10) berbasis indikator kinerja, yaitu kriteria/indikator yang dikembangkan berdasarkan tiga tema kebijakan Depdiknas; dan (11) efektif dan efisien, artinya target pemantauan dan evaluasi dicapai dengan menggunakan sumber daya yang ketersediaannya terbatas dan sesuai dengan yang direncanakan.

Sistematika Pemantauan dan Evaluasi

Organizing for business excellence (Orbex) mengarahkan para pemimpin dalam membentuk (shape), menyelaraskan (align), dan menyetel (attune) eksistensi organisasi mereka. Pemaknaan yang sama atas visi, misi, nilai-nilai, strategi, gaya, infrastruktur, dan hasil menjadi pemersatu dan pemberi semangat bagi semua orang yang terlibat. Perhatian dan langkah-tindak mereka dapat diarahkan, dipantau, dan dievaluasi secara sistematik, periodik maupun spesifik.
Evaluasi hasil menunjukkan perlunya dilakukan salah satu dari tiga jenis transformasi–retooling, revitalisasi atau redirection. Retooling dilakukan ketika penelaahan terhadap hasil yang dicapai organisasi menemukan bahwa infrastruktur dan gaya kepemimpinan menjadi kunci utama. Revitalisasi dilakukan apabila strategi dan tata nilai organisasi perlu untuk ditinjau ulang agar mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Redirection hanya dilakukan apabila dianggap keberadaan organisasi perlu dikaji lebih lanjut. Ketiga tahapan ini merupakan tingkatan dalam melakukan organisasi.

Mekanisme Pelaksanaan

Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi mencakup aspek (1) pemerataan dan perluasan akses; (2) penjaminan mutu, relevansi, dan daya saing; (3) tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik. Pemantauan dan evaluasi dapat dilakukan oleh pemerintah, BSNP, LPMP, dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kabupaten/kota, cabang dinas pendidikan kecamatan, dan satuan pendidikan.

1. Pemantauan dan Evaluasi oleh Pemerintah

Sesuai dengan undang-undang dan peraturan pemerintah, pemantauan dan evaluasi dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah serta institusi lain yang berkompeten. Dalam konteks pemerintah, pemantauan dan evaluasi dimaksudkan untuk menggali masukan, data, dan informasi yang dijadikan dasar dalam perumusan kebijakan nasional. Kebijakan nasional itu terutama yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
a. pengembangan dan penetapan acuan nasional untuk penyusunan kurikulum;
b. pengembangan dan perumusan standardisasi mutu dan relevansi pendidikan;
c. pengembangan dan pelaksanaan pemeratan serta perluasan kesempatan memperoleh pendidikan;
d. peningkatan daya saing keluaran pendidikan di tingkat regional maupun internasional;
e. pengembangan dan perumusan kebijakan mekanisme pemantauan dan evaluasi;
f. pemberian masukan bagi Pemda tentang kelebihan dan kekurangan dalam implementasi kebijakan nasional yang tertuang dalam Renstrada 2005-2009;
g. peningkatan kapabilitas dan kapasitas aparat daerah dalam menjabarkan Renstra Depdiknas menjadi Renstrada 2005-2009, yang implementasinya disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kebutuhan daerah. Dengan demikian, Pemda dan satuan pendidikan dapat melaksanakan rencana strategis selama lima tahun ke depan dan mampu mengelola program secara efektif, efisien, akuntabel, transparan, dan produktif;
h. penyusunan anggaran pendidikan yang memihak pada orang miskin dan satuan pendidikan. Untuk itu, pemerintah berkewajiban melakukan pemantauan dan evaluasi atas anggaran yang berasal dari APBN yang berbentuk dana alokasi khusus (DAK), dana tugas pembantuan (DTP), dan dana dekonsentrasi (Dekon);
i. perwujudan aparatur pemerintah, pemerintah daerah dan satuan pendidikan yang bebas dari KKN, yang ditandai oleh menurunnya jumlah kasus KKN yang terjadi; dan
j. peningkatan citra publik pemerintah Indonesia terutama dalam bidang pendidikan.

Selain itu, hasil pemantauan dan evaluasi juga dapat digunakan sebagai masukan bagi BSNP, BAN-SM, BAN-PT, BAN-PNf, dan lembaga sertifikasi kompetensi untuk meningkatkan kinerja badan-badan tersebut dalam melaksanakan standarisasi, akreditasi, penjaminan dan pengawasan mutu, pemantauan dan evaluasi program, kegiatan serta hasil belajar tingkat nasional.

2. Pemantauan dan Evaluasi oleh Dinas Pendidikan Tingkat Provinsi

Bagi pemerintah provinsi, pemantauan dan evaluasi dapat digunakan untuk (a) mengukur tingkat pencapaian target pembangunan pendidikan provinsi bersangkutan sesuai dengan Renstrada 2005-2009; (b) memperbaiki kinerja aparatur Pemda kabupaten/kota, kecamatan, dan satuan pendidikan agar kapabilitas dan kapasitas dalam penyelenggaraan pendidikan makin meningkat; (c) meningkatkan efektivitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas sistem pengelolaan program dan kegiatan pendidikan untuk meningkatkan prestasi kerja aparatur Pemda dan menekan sekecil mungkin terjadinya KKN; dan (d) meningkatkan kemampuan dan kesanggupan aparatur Pemda provinsi dalam melaksanakan tugas pemantauan dan evaluasi.
Di samping itu, pemantauan dan evaluasi juga dimaksudkan untuk menyusun laporan berkala (triwulanan, semesteran, dan tahunan) berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari pemantauan dan evaluasi yang dilakukan aparatur Pemda provinsi terhadap kinerja seluruh kabupaten/kota yang ada dalam provinsi tersebut dengan berdasarkan laporan dari kabupaten/kota kepada Pemda provinsi. Semua itu merupakan masukan penting bagi Depdiknas dalam menyusun laporan dan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional.
Pemantauan dan evaluasi terhadap peningkatan mutu dan relevansi yang dicapai oleh setiap kabupaten/kota dilaksanakan oleh BAN-SM, BAN-PNf, yang difasilitasi oleh dinas pendidikan provinsi dan dewan pendidikan tingkat provinsi. Acuan utama dalam melaksanakan standarisasi, akreditasi, penjaminan mutu, pengawasan mutu dan pemantauan dan evaluasi adalah Standar Nasional Pendidikan (Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005) beserta peraturan pemerintah lainnya yang telah dijelaskan di atas.
Tim pemantauan dan evaluasi tingkat provinsi merupakan unsur utama dalam pengembangan dan implementasi sistem informasi pendidikan provinsi, yang juga merupakan bagian dari jaringan sistem informasi pendidikan nasional.


3. Pemantauan dan Evaluasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota

Tujuan pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota adalah untuk (a) mengukur tingkat pencapaian target pembangunan pendidikan pada kabupaten/kota tersebut sesuai dengan Renstrada kabupaten/kota 2005-2009; (b) memperbaiki kinerja aparatur Pemda kecamatan dan satuan pendidikan agar kapabilitas dan kapasitas dalam penyelenggaraan pendidikan makin meningkat; (c) meningkatkan efektivitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas sistem pengelolaan program dan kegiatan pendidikan untuk meningkatkan prestasi kerja aparatur Pemda serta untuk menekan sekecil mungkin terjadinya KKN; dan (d) meningkatkan kemampuan dan kesanggupan aparatur Pemda kabupaten/kota dalam melaksanakan tugas pemantauan dan evaluasi.
Di samping itu, pemantauan dan evaluasi juga dimaksudkan untuk menyusun laporan berkala dinas pendidikan kabupaten/kota (triwulanan, tengah tahunan, dan tahunan) kepada dinas provinsi. Data dan informasinya diperoleh dari hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan aparatur Pemda kabupaten/kota terhadap kinerja seluruh aparatur pemerintah di tingkat kecamatan dan dari laporan dinas pendidikan kecamatan.
Peran dinas pendidikan kabupaten/kota adalah sebagai pelaksana utama pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Renstrada kabupaten/kota untuk bidang pendidikan. Dinas pendidikan secara berkala melakukan pemantauan implementasi kebijakan teknis dan administratif bidang pendidikan, sehingga diketahui secara cepat berbagai hal yang terjadi di wilayahnya. Dalam melaksanakan pemantauan dan evaluasi dinas pendidikan perlu menyertakan berbagai pihak yang terkait, seperti dewan pendidikan, para camat, dan komite sekolah/PLS dalam kabupaten/kota tersebut. Dinas pendidikan kabupaten/kota juga berkewajiban untuk melaporkan hasil pemantauan dan evaluasi dan memberikan saran-saran untuk perbaikan yang dipandang perlu kepada bupati/wali kota, stakeholders dan pihak lain yang terkait. Pemantauan dan evaluasi tingkat kabupaten/kota harus mampu menyajikan data, informasi dan peta pendidikan secara aktual, lengkap dan rinci di setiap kecamatan maupun informasi dan data pendidikan secara keseluruhan di kabupaten/kota tersebut.
Tim pemantauan dan evaluasi tingkat kabupaten/kota merupakan unsur penting dalam penyusunan dan implementasi sistem informasi pendidikan kabupaten kota dan merupakan bagian dari sistem informasi pendidikan provinsi yang secara proaktif dan berkala memberikan data dan informasi ke sistem informasi provinsi.
Pemantauan dan evaluasi terhadap peningkatan mutu dan relevansi yang dicapai oleh setiap satuan pendidikan di tingkat kecamatan dilakukan oleh BAD-SM dan BAD-PNF dengan difasilitasi oleh dinas pendidikan di kabupaten/kota tersebut. Acuan utama dalam melaksanakan standarisasi, akreditasi, penjaminan mutu, pengawasan mutu dan pemantauan dan evaluasi adalah Standar Nasional Pendidikan (Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005) beserta peraturan pemerintah lainnya yang telah dijelaskan di atas.

4. Pemantauan dan Evaluasi oleh Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan

Bagi cabang dinas pendidikan kecamatan, pemantauan dan evaluasi dapat digunakan untuk (a) mengukur tingkat pencapaian target pembangunan pendidikan pada kecamatan tersebut sesuai dengan target yang telah ditetapkan dalam Renstrada kabupaten/kota 2005-2009; (b) memperbaiki kinerja satuan pendidikan agar kapabilitas dan kapasitas dalam penyelenggaraan pendidikan makin meningkat; (c) meningkatkan efektifitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas sistem pengelolaan program dan kegiatan pendidikan untuk meningkatkan prestasi kerja aparatur Pemda serta untuk menekan sekecil mungkin terjadinya KKN; dan (d) meningkatkan kemampuan dan kesanggupan aparatur Pemda cabang dinas pendidikan kecamatan dalam melaksanakan tugas pemantauan dan evaluasi.
Di samping itu, pemantauan dan evaluasi juga dimaksudkan untuk menyusun laporan berkala cabang dinas pendidikan kecamatan (triwulanan, tengah tahunan, dan tahunan) kepada Dinas Pendidikan kabupaten/kota. Data dan informasinya diperoleh dari pemantauan dan evaluasi yang dilakukan aparatur Pemda kecamatan terhadap kinerja seluruh aparatur di setiap satuan pendidikan dan berasal dari laporan petugas di setiap satuan pendidikan.
Pemantauan dan evaluasi di tingkat kecamatan ditekankan agar dapat menyajikan data dan informasi pendidikan secara aktual, lengkap dan rinci di setiap desa/satuan pendidikan serta, data dan informasi pendidikan secara keseluruhan di kecamatan tersebut.
Tim pemantauan dan evaluasi kecamatan secara berkala dan proaktif memberikan data dan informasi pendidikan di kecamatan tersebut ke sistem informasi pendidikan tingkat kabupaten/kota.

5. Pemantauan dan Evaluasi oleh Satuan Pendidikan

Peran satuan pendidikan dalam pemantauan dan evaluasi ada tiga hal, yaitu sebagai (a) pelaku utama dalam mengevaluasi satuan pendidikan yang hasilnya dikemas dalam bentuk perkembangan data dan informasi pendidikan; (b) pemberi masukan dan penyusun laporan kepada dinas pendidikan kecamatan tentang kondisi di satuan pendidikannya; dan (c) pelaku utama dalam menindaklanjuti hasil pemantauan dan evaluasi dalam bentuk program nyata di satuan pendidikan bersangkutan. Fungsi pemantauan dan evaluasi dalam satuan pendidikan adalah untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan pada satuan pendidikan yang bersangkutan secara berkala, yang hasilnya dapat digunakan untuk memperbaiki kinerja.
Laporan dari masing-masing tingkat pemerintahan merupakan pertanggungjawaban hasil kinerja tahunan sebagai bentuk akuntabilitas publik atas pencapaian kinerja dalam tahun tertentu atau dari tahun ke tahun, yang secara keseluruhan merupakan pencapaian target Renstra Depdiknas 2005-2009 selama lima tahun. Sistem pemantauan dan evaluasi yang ada di setiap tingkat pemerintahan sampai dengan satuan pendidikan merupakan satu kesatuan pemantauan dan evaluasi yang saling menentukan kualitas dan saling tergantung satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, pemantauan dan evaluasi yang bersifat top down perlu dijaga mutunya karena akan menentukan kualitas pemantauan dan evaluasi di setiap tingkat pemerintahan dan kualitas sistem pendataan dan informasi Departemen Pendidikan Nasional.

6. Pemantauan dan Evaluasi oleh Badan Standar Nasional Pendidikan dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan

Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) merupakan mitra sejajar Departemen Pendidikan Nasional dalam pengembangan, pemantauan, dan pengendalian mutu pendidikan nasional. BSNP merupakan badan independen dan mandiri yang berkedudukan di pusat yang bertugas melaksanakan penilaian pencapaian standar nasional pendidikan melalui ujian nasional.
Pemantauan yang dilakukan BSNP bertujuan untuk mengevaluasi capaian Standar Nasional Pendidikan. Sedang pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan adalah untuk mendapatkan pemetaan capaian standar nasional yang dijadikan dasar dalam mengembangkan model interfensi, untuk meningkatkan kualitas pendidikan sehingga mencapai standar nasional serta membantu BAN-SM, BAN-PNf, dan BAN-PT dalam mengakreditasi satuan pendidikan.
Pemantauan dan evaluasi mencakup aspek (a) pemerataan dan perluasan akses; (b) penjaminan mutu, relevansi pendidikan dan daya saing; dan (c) penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik. Lembaga-lembaga yang melaksanakan pemantauan dan evaluasi yaitu lembaga-lembaga penjaminan mutu seperti BSNP, BAN, LPMP, aparat Pemerintah (Depdiknas), aparat pemerintah daerah (dinas pendidikan provinsi dan dinas pendidikan kabupaten/kota), serta satuan pendidikan itu sendiri. Namun demikian, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga independen lainnya yang peduli terhadap pendidikan juga diperkenankan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi, baik bekerja sama dengan pemerintah dan pemerintah daerah maupun mandiri.
Pemantauan dan evaluasi untuk meningkatkan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan dilakukan oleh lembaga-lembaga yang secara khusus dibentuk untuk melaksanakan tugas tersebut, yaitu BSNP, BAN-SM, BAD-SM, BAN-PNF, BAD-PNF, BAN-PT dan LPMP.
Evaluasi terhadap kompetensi peserta didik lulusan dari pendidikan tingi, pendidikan formal, pendidikan kejuruan, vokasi, PNf dilaksanakan atas kerja sama dengan lembaga sertifikasi profesi (LSP) dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Hal ini sangat penting untuk dilakukan agar tingkat relevansi lulusan dengan lapangan kerja yang tersedia semakin tinggi karena standar yang digunakan oleh LSP dan BNSP merupakan standar kompetensi nasional dan internasional.

INDIKATOR KINERJA PENDIDIKAN NASIONAL

Pemantauan dan evaluasi dilakukan terhadap kinerja satuan organisasi pengelola dan penyelenggara pendidikan yang mencakup aspek teknis, administrasi dan pengelolaan kegiatan dan/atau program pendidikan tersebut. Pemantauan dan evaluasi yang dilakukan pada hakekatnya untuk mengukur kesesuaian pencapaian indikator kinerja atau target kerja yang ditetapkan dalam rencana jangka menengah (2005-2009), dengan target yang dapat dicapai melalui strategi pelaksanaan tertentu. Oleh sebab itu, indikator kinerja yang digunakan memiliki kriteria yang berlaku spesifik, jelas, relevan, dapat dicapai, dapat dikuantifikasikan, dan dapat diukur secara obyektif serta fleksibel terhadap perubahan/penyesuaian.
Mengingat bidang pendidikan mempunyai program pembangunan pendidikan yang beragam, maka indikator kinerja yang diukur dapat bersifat fisik (misalnya: pembangunan prasarana dan sarana fisik, angka partisipasi siswa, angka mengulang kelas, dan angka putus sekolah) maupun nonfisik, misalnya, peningkatan nilai UN, serta kecerdasan dan perilaku peserta didik. Berdasarkan sifat dari masing-masing jenis indikator kinerja maka diperlukan cara dan alat ukur yang berbeda sesuai dengan sifat dan bentuk indikator yang akan diukur.
Program dan/atau kegiatan pendidikan yang baik memiliki lima kriteria yang bisa disingkat dengan SMART (specific, measurable, achievable, realistic, timebound). Kriteria tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam mengembangkan indikator kinerja pendidikan yang terukur dan yang dapat dicapai sebagai target/sasaran masing-masing program. Secara umum, terdapat empat jenis indikator kinerja yang biasa digunakan sebagai acuan dalam pemantauan dan evaluasi atau pengukuran kinerja organisasi, yaitu:
1. Indikator masukan, antara lain mencakup kurikulum, siswa, dana, sarana dan prasarana belajar, data dan informasi, pendidik dan tenaga kependidikan, gedung sekolah, kelompok belajar, sumber belajar, motivasi belajar, kesiapan anak (fisik dan mental) dalam belajar, kebijakan dan peraturan serta perundang-undangan yang berlaku.
2. Indikator proses, antara lain mencakup lama waktu belajar, kesempatan mengikuti pembelajaran, lama mengikuti pendidikan, jumlah yang putus sekolah, efektivitas pembelajaran, mutu proses pembelajaran, dan metode pembelajaran yang digunakan.
3. Indikator keluaran, antara lain mencakup jumlah siswa yang lulus atau naik kelas, nilai-rata-rata ujian, mutu lulusan yang naik kelas, dan jumlah siswa yang menyelesaikan pembelajaran/naik kelas berdasarkan jenis kelamin.
4. Indikator dampak, yang antara lain berupa kemampuan/jumlah siswa yang melanjutkan sekolah, jumlah siswa yang bisa bekerja di perusahaan atau usaha mandiri, jumlah angkatan kerja berdasarkan tingkat pendidikan, dan pengaruh para lulusan terhadap mutu angkatan kerja/lingkungan sosial, peran serta siswa dalam pembangunan lingkungan dan pengaruh atau peran lulusan pendidikan dan pelatihan terhadap kehidupan masyarakat secara luas.

Indikator kinerja yang diukur dalam pemantauan dan evaluasi meliputi tiga tema kebijakan nasional pendidikan, yang selanjutnya diklasifikasi dalam lima aspek. Lima aspek tersebut yaitu: perluasan, pemerataan, mutu dan daya saing, relevansi, dan governance dan citra publik.

ANALISIS
Berdasarkan uraian di atas mengenai Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional dapat dianalisis sebagai berikut.
Dalam lima tahun mendatang, pembangunan pendidikan nasional dihadapkan pada berbagai tantangan serius, terutama dalam upaya meningkatkan kinerja yang mencakup (a) pemerataan dan perluasan akses; (b) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing; (c) penataan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik; dan (d) peningkatan pembiayaan. Dalam upaya meningkatkan kinerja pendidikan nasional, diperlukan suatu reformasi menyeluruh yang telah dimulai dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi pendidikan sebagai bagian dari reformasi politik pemerintahan. Reformasi politik pemerintahan ini ditandai dengan perubahan radikal tata kepemerintahan dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik, dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diatur kembali dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pendidikan yang semula menjadi kewenangan pemerintah pusat kemudian dialihkan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Pengelolaan pendidikan yang menjadi wewenang pemerintah daerah ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas manajemen pendidikan, sehingga diharapkan dapat memperbaiki kinerja pendidikan nasional.
Dalam era otonomi dan desentralisasi, sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan berbagai perubahan, penyesuaian, dan pembaruan dalam rangka mewujudkan pendidikan yang otonom dan demokratis, yang memberi perhatian pada keberagaman dan mendorong partisipasi masyarakat, tanpa kehilangan wawasan nasional. Dalam konteks ini, pemerintah bersama dengan DPR-RI telah menyusun Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai perwujudan tekad dalam melakukan reformasi pendidikan untuk menjawab berbagai tantangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di era persaingan global.
Pokok-pokok kebijakan strategis, program, sasaran, serta strategi pelaksanaan pembangunan pendidikan yang dirancang dalam Renstra 2005-2009 disusun dengan mempertimbangkan keadaan dan tantangan dalam lingkungan strategis agar sasaran lima tahun ke depan lebih realistis dan konsisten dengan prinsip-prinsip pengelolaan pendidikan yang efisien, efektif, akuntabel, dan demokratis. Pembangunan pendidikan nasional tidak dapat lepas dari perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun global. Pendidikan harus dibangun dalam keterkaitannya secara fungsional dengan berbagai bidang kehidupan yang memiliki persoalan dan tantangan yang semakin kompleks. Dalam dimensi sektoral tersebut, pembangunan pendidikan tidak cukup hanya berorientasi pada SDM dalam rangka menyiapkan tenaga kerja.
Dalam lima tahun ke depan, pembangunan pendidikan nasional harus dilihat dalam perspektif pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam perspektif demikian, pendidikan harus lebih berperan dalam membangun seluruh potensi manusia agar menjadi subyek yang berkembang secara optimal dan bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan nasional.




ANALISIS RENCANA STRATEGIS
DEPARTEMEN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
(Bidang Pendidikan)


PENDAHULUAN

Sejalan dengan realitas kehidupan beragama yang telah berkembang di masyarakat, maka peningkatan kualitas kehidupan beragama menjadi tema pokok dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004 – 2009 dalam Bidang Agama. Dalam kaitan itu ada dua sasaran utama yang hendak dicapai : 1) peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman agama serta kehidupan agama, 2) Peningkatan kerukunan intern dan antar umat beragama. Pencapaian kedua sasaran tersebut diharapkan dapat menghantarkan bangsa ini pada peningkatan kesejahteraan.
Pencapaian sasaran pembangunan bidang agama tidak hanya terkait dengan faktor agama semata, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor lain. Sebaliknya pembangunan bidang agama diharapkan memberikan dukungan terhadap pembangunan bidang lain. Pembangunan agama yang terpadu dengan bidang-bidang terkait akan mampu mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang maju dan sejahtera.
Dalam Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), perencanaan stratejik (Renstra) merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh setiap satuan organisasi/kerja agar mampu menjawab tuntutan lingkungan strateji lokal, nasional, regional, dan global dengan tetap berada dalam tatanan Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui pendekatan perencanaan stratejik yang jelas dan sinergis satuan organisasi/kerja lebih dapat menyelaraskan visi dan misinya dengan potensi, peluang, dan kendala yang dihadapi dalam upaya peningkatan akuntabilitas kinerjanya.

VISI

“Terwujudnya masyarakat Indonesia yang taat bragama, maju, sejahtera, dan cerdas serta saling menghormati antar sesama pemeluk agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. (Peraturan Menteri Agama No. 8 Tahun 2006 tentang Visi dan Misi Departemen Agama)


MISI

1. Meningkatkan kualitas bimbingan, pemahaman, pegamalan, dan pelayanan kehidupan beragama;
2. Meningkatkan penghayatan moral dan etika keagamaan;
3. Meningkatkan kualitas pendidikan umat beragama;
4. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan haji;
5. Memberdayakan umat beragama dan lembaga keagamaan;
6. Memperkokoh kerukunan umat beragama, dan;
7. Mengembangkan keselarasan pemahaman keagamaan dengan wawasan kebangsaan Indonesia. (Peraturan Menteri Agama No. 8 Tahun 2006 tentang Visi dan Misi Departemen Agama)

SASARAN

1. Peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman agama serta kehidupan beragama
a. Meningkatnya kualitas pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran beragama dalam kehidupan bermasyarakatm berbangsa dan bernegara, sehingga kualitas masyarakat dari sisi rohani semakin baik. Upaya ini juga ditujukan kepana anak, peserta didik di semua jalur, jenis dan jenjang pendidikanm sehingga pemahaman dan pengalaman ajaran agama dapat ditanamkan secara dini kepada anak didik.
b. Meningkatnya kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam memenuhi kewajiban membayar zakat, infaq, sadaqoh, kolekte, dana umat dan dana paramita, dalam rangka mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat.
c. Meningkatnya kualitas pelayanan kehidupan beragama bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga mereka memperoleh hak-hak dasar dalam memeluk agama masing-masing dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
d. Meningkatnya kualitas manajemen ibadah haji dengan sasaran penghematan, pencegahan korupsi, dan peningkatan kualitas pelayanan terhadap jemaah haji, dan
e. Meningkatkan peran lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan sebagai agen pembangunan dalam rangka meningkatkan daya tahan masyarakat dalam menghadapi berbagai krisis.
2. Peningakatan kerukunan intern dan antar umat beragama
Meningkatkan harmoni sosial dalam kehidupan intern dan antar umat beragama yang toleran dan saling menghormati dalam rangka menciptakan suasana yang aman dan damai, sehingga konflik yang terjadi di beberapa daerah dapat diselesaikan dan tidak terulang di daerah lain.

ARAH KEBIJAKAN

1. Fungsi Agama
a. Program Peningkatan Pelayanan Kehidupan Beragama
Program ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan kemudahan bagi umat beragama dalam melaksanakan ajaran agama, mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pelayanan kehidupan beragama.
Kebijakan program Peningkatan Pelayanan Kehidupan Beragama meliputi :
1) Peningkatan kualitas pelayanan dan kemudahan bagi umat beragama dalam melaksanakan ajaran agama
2) Pembinaan keluarga harmonis, untuk meningkatkan peran keluarga sebagai pilar utama dalam pembinaan moral dan etika masyarakat.
3) Peningkatan penghematan biaya ongkos naik haji, pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan terhadap jamaah haji dengan memberikan tambahan anggaran inderct cost.
b. Program Peningkatan Pemahaman, Penghayatan, Pengamalan dan Pengembangan Nilai-nilai Keagamaan
Program ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan kemudahan pemahaman, penghayatan, pengamalan dan pengembangan nilai-nilai ajaran agama bagi setiap individu, keluarga dan penyelenggara negara.
Kebijakan Program Peningkatan Pemahaman, Penghayatan, Pengamalan dan Pengembangan Nilai-nilai Keagamaan meliputi :
1) Peningkatan kualitas Pemahaman, Penghayatan, Pengamalan ajaran agama
2) Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam membayar zakat, infaq, sadaqoh, kolekte, dana umat dan dana paramita, dan peningkatan profesionalisme tenaga pengelola
3) Peningkatan penyuluh agama dan pelayanaan keagamaan lainnya, teruatam yang bertugas di daerah konflik, daerah terpencil dan daerah yang terkena bencana.
c. Program Peningkatan Kerukunan Umat Beragama
Program ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan kemudahan bagi umat beragama dalam melaksanakan ajaran agamanya, mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pelayanan kegiatan keagamaan.
Kegiatan program peningkatan kerukunan umat beragama meliputi :
1) Kegiatan upaya menjaga keserasian sosial dalam kelompok-kelompok keagamaan dengan memanfaatkan kearifan lokal dalam memperkuat integrasi sosial masyarakat.
2) Pencegahan kemungkinan munculnya potensi konflik di masyarakat yang mengandung sentimen keagamaan dengan mencermati secara responsif dan mengantisipasi terjadinya konflik secara dini.
3) Penyelesaian konflik sosial yang berlatar belakang agama melalui mekanisme resolusi konflik dengan mengutamakan keadilan dan persamaan hak untuk mendapatkan perdamaian hakiki.
4) Pemulihan kondisi sosial dan psikologi masyarakat pasca konflik melalui penyuluhan dan bimbingan keagamaan.
5) Peningkatan kerjasama interndan antar umat beragama di bidang sosial, ekonomi dan budaya.
d. Program Penelitian dan Pengembangan Agama
Program ini bertujuan untuk menyediakan data dan informasi untuk pengembangan kebijakan pembangunan agama, menyediakan data dan informasi untuk masyarakat akademik dan umum dalam rangka mendukung tercapainya program-program pembangunan dalam bidang agama.
Kebiajakan program penelitian dan pengembangan agama meliputi peningkatan kualitas penelitian, dan pengembangan untuk mendukung perumusan kebijakan pembangunan di bidang agama.
e. Program Pengembangan Lembaga-lembaga Sosial Keagamaan dan Lembaga Pendidikan Keagamaan
Program ini bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kapasitas kualitas, serta peran lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan, dalam menunjang perubahan sosial masyarakat, mengurangi dampak ekstrimisme masyarakat serta memberikan pelayanan pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia terutama bagi masyarakat pedesaan dan ekonomi lemah.
Kebijakan program pengembangan lembaga-lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan meliputi : peningkatan kualitas peran lembaga sosial dan lembaga pendidikan keagamaan

2. Fungsi Pelayanan Umum
a. Program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan
Program ini bertujuan terciptanya dan manajemen dan pertanggungjawaban kinerja pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/kota yang efektif, efesien, luwes dan responsif, dan tidak terjadi duplikasi fungsi dan kewenangan
Program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan meliputi :
1) Peningkatan kembali fungsi-fungsi kelembagaan pemerintah agar dapat berfungsi secara lebih memadai, efektif dengan struktur yang lebih proporsional, ramping, luwes dan responsif.
2) Peningkatan efektivitas dan efisiensi ketatalaksanaan dan prosedur pada semua tingkat dan lini pemerintah
b. Program Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur
Program ini bertujuan terwujudnya aparatur negara yang profesional dan berkualitas dalam pelaksanaan pemerintahan umum dan pembangunan.
Program Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur meliputi : penataan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur agar lebih profesional sesuai dengan tugas dan fungsinya untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.
c. Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Program ini bertujuan terselenggaranya pelayanan publik yang lebih cepat, pasti, murah, transparan, adil, patut dan memuaskan pada unit-unit kerja di lingkungan pemerintah pusat dan daerah.
Program peningkatan kualitas pelayanan publik meliputi : peningkatan kualitas pelayanan publik terutama pelayanan dasar, pelayanan umum, dan pelayanan unggulan.
d. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur Negara
Program ini bertujuan tersedianya sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan tugas dan administrasi pemerintah yang memadai pada unit-unit kerja di lingkungan penyelenggaraan negara.
Kebijakan program peningkatan sarana dan prasarana aparatur negara meliputi : optimalisasi pengembangan dan pemanfaatan e-Government dan dokumen/arsip negara dan pengelolaan tugas dan fungsi pemeritahan
e. Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan
Program ini bertujuan terselenggaranya tugas pimpinan dan fungsi manajemen dalam melaksanakan penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan.
Kebijakan Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan meliputi : peningkatan kesejahteraan pegawai dan pemberlakuan sistem karier berdasarkan prestasi
f. Program Peningkatan Monitoring dan Evaluasi dan Akuntabilitas Aparatur Negara
Program ini bertujuan terwujudnya sistem Monitoring dan Evaluasi dan audit yang efektif dan akuntabel di lingkungan aparatur negara.
Kebijakan program peningkatan Monitoring dan Evaluasi dan akuntabilitas aparatur negara, meliputi :
1) Pemantapan sistem Monitoring dan Evaluasi untuk perwujudan good govemance berdasarkan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)
2) Pemantapan pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi yang berorientasi pada outcomes dan mengarah pada pemanfaatan yang efektif dan efisien
3) Penajaman sasaran audit guna mewujudkan departemen yang bersih dan bebas KKN dalam rangka peningkatan citra Departemen Agama.
4) Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi fungsional guna meningkatkan akuntabilitas kinerja satuan organisasi kerja menuju manajemen pemerintah modern yang produktif, efisien, dan mengantisipasi dinamika perkembangan masyarakat.
5) Mendorong efektifitas Monitoring dan Evaluasi melekat dan penanganan pengaduan , objektif, valid, dan dengan prinsip praduga tan bersalah.
6) Peningkatan peran serta masyarakat dalam mengintensifkan penanganan pengaduan untuk peningkatan kinerja aparatur dan memacu pelayanan prima yang maksimal di segala bidang.
7) Percepatan tindak lanjut hasil-hasil Monitoring dan Evaluasi dan pemeriksaan.

3. Fungsi Pariwisata dan Budaya
a. Program Pembinaan dan Peningkatan Partisipasi Pemuda
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemuda sebagai insan pelopor penggerak pembangunan dan sumber daya manusia yang mampu menghadapi berbagai tantangan dan pemanfaatan peluang untuk berperan serta dalam pembangunan.
Kebijakan program pembinaan dan peningkatan partisipasi pemuda meliputi :
1) Peningkatan dan pengintegrasian informasi dan pelayanan konseling bagi remaja tentang kehidupan seksual yang sehat HIV/AIDS, NAPZA, dan perencanaan perkawinan.
2) Perwujudan kebijakan kepemudaan yang serasi di berbagai bidang pembangunan
3) Perlindungan segenap generasi muda terhadap masalah penyalahgunaan NAPZA, minimuan keras, HIV/AIDS dan penyakit menular seksual di kalangan pemuda.

4. Fungsi Pendidikan
a. Program Pendidikan Anak Usia Dini
Program ini bertujuan agar anak usia dini baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang secara maksimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan tahap-tahap perkembangan atau tingkat usia mereka sebagai persiapan untuk mengikuti ke jenjang sekolah dasar.
Kebijakan program Pendidikan Anak Usia Dini, meliputi peningkatan pemerataan dan keterjangkauan pendidikan anak usia dini melalui penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang didukung dengan sinkronisasi penyelenggaraan pendidikan yang melibatkan sektor terkait.
b. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun
Program ini bertujuan untuk meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau, baik melalui jalur formal maupun non formal.
Kebijakan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun meliputi :
1) Penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang bebas biaya bagi penduduk miskin dengan membuka peluang bagi siswa putus sekolah untuk kembali ke sekolah
2) Pemberian perhatian kepada peserta didik secara serius, dengan penataan kurikulum, dan penyediaan sarana dan prasarana khususnya di wilayah-wilayah yang partisipasi pendidikan dasarnya masih rendah.
3) Penurunan kesenjangan partisipasi pendidikan antar kelompok masyarakat dengan memberikan akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat terjangkau oleh layanan pendidikan, seperti masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan, terpencil dan kepulauan, masyarakat di daerah konflik serta masyarakat penyandang cacat.


c. Program Pendidikan Menengah
Program ini bertujuan untuk meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan menengah yang bermutu dan terjangkau, bagi penduduk laki-laki dan perempuan melalui jalur formal maupun non formal.
Kebijakan program Pendidikan Menengah meliputi :
1) Peningkatan pemerataan dan keterjangkauan pendidikan menengah jalur formal dan non formal baik umum maupun kejuruan terutama di wilayah pedesaan melalui penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan meningkatnya relevansinya dengan kebutuhan dunia kerja
2) Penurunan kesenjangan partisipasi pendidikan antar kelompok masyarakat dengan memberikan akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat terjangkau oleh layanan pendidikan seperti masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan, terpencil dan kepulauan, masyarakat di daerah konflik serta masyarakat penyandang cacat.
3) Pencapaian kesetaraan antara pendidikan agama dan pendidikan umum antara negeri dan swasta
d. Program Pendidikan Non Formal
Program ini bertujuan untuk memberilan layanan pendidikan baik penduduk laki-laki dan perempuan sebagai pengganti, penambah/atau pelengkap pendidikan formal. Pendidikan non formal meliputi pendidikan keaksaraa, pendidikan kesetaraan untuk penduduk dewasa, pendidikan keluarga, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, serta pendidikan lain yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara lebih luas dan variatif.
Kebijakan program pendidikan non formal meliputi :
1) Peningkatan intensitas dan kualitas penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional untuk dapat menarik minat penduduk dewasa mengikuti pendidikan keaksaraan melalui pengembangan materi belajar mengajar yangs sesuai dengan kebutuhan fungsional masyarakat dan peningkatan jumlah kelompok sasaran.
2) Peningkatan intensitas pendidikan non formal dalam rangka mendukung upaya penurunan njumlah pengangguran dan peningkatan produktivitas tenaga kerja termasuk dengan memanfaatkan secara optimal fasilitas pelayanan pendidikan formal.
e. Program Pendidikan Tinggi
Program ini bertujuan untuk meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan tinggi baik untuk penduduk laki-laki maupun perempuan yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.
Kebijakan program pendidikan tinggi meliputi : peningkatan pemerataan dan keterjangkauan pendidikan tinggi termasuk penyeimbangan dan penyerasian jumlah dan jenis program studi yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan pembangunan dan untuk menghasilkan lulusan yang memenuhi kebutuhan pasar kerja.
f. Program Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
Program ini bertujuan untuk (1) meningkatkan kecukupan jumlah, kualitas, kompetensi, dan profesionalisme pendidikan baik laki-laki maupun perempuan pada satuan pendidikan formal maupun non formal, negeri maupun swasta, (2) meningkatkan kecukupan jumlah, kualitas, kompetensi, dan profesionalisme tenaga kependidikan.
Kebijakan program peningkatan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan meliputi : peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan dan tenaga kependidikan melalui rekruitmen, pendidikan dan pelatihan serta penyiapan rekruitmen pendidikan dan tenaga kependidikan serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan.
g. Program Manajemen Pelayanan Pendidikan
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga di pusat dan daerah, mengembangkan tata pemerintahan yang baik, meningkatkan koordinasi antar tingkat pemerintahan, mengembangkan kebijakan, melakukan advokasi dan sosialisasi kebijakan pembangunan pendidikan serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan.
Kebijakan program manajemen pelayanan pendidikan meliputi :
1) Penyiapan sistem evaluasi, akreditasi dan sertifikasi termasuk sistem pengajuan penilaian pendidikan dalam rangka mengendalikan mutu pendidikan nasional pada satuan pendidikan sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan, serta evaluasi terhadap penyelenggaraan pendidikan.
2) Pengembangan kurikulum pendidikan kewarganegaraan, pendidikan multikultural, dan pendidikan keagamaan yang responsif gender termasuk penyiapan materi belajar mengajar, metode pembelajaran yang sistem evaluasinya yang disesuaikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya dan seni serta perkembangan global, nasional dan lokal.
3) Peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan termasuk pembiayaan pendidikan, penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat serta peningkatan mutu layanan pendidikan yang meliputi perencanaan, Monitoring dan Evaluasi dan evaluasi prorgam pendidikan.
h. Program Peningkatan Pendidikan Agama dan Keagamaan
Program ini bertujuan untuk : (1) membina pendidik menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, dan (2) mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama.
Kebijakan program peningkatan pendidikan agama dan keagamaan, meliputi :
1) Peningkatan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan
2) Peningkatan kualitas tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan bidang agama dan keagamaan
3) Pengembangan pendidikan agama di daerah tertinggal.

5. Fungsi Perlindungan Sosial
Program Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender dan Anak
Program ini bertujuan untuk memperkuat sistem dan mekanisme kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender (PUG) dan Anak (PUA), termasuk ketersediaan gender dan profil anak dan meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan anak dan pemberdayaan perempuan di berbagai pembangunan, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Kebijakan program penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak meliputi :
1) Penguatan kelembagaan pengarusutamaangender dan anak dalam perencanaan pembangunan
2) Tindak lanjut penyusunan data dan statistik.


MONITORING DAN EVALUASI TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN
Monitoring dan Evaluasi terhadap pelaksanaan program dan kegiatan adalah sama dengan audit kinerja, hal ini berarti memberikan penilaian terhadap seluruh kegiatan yang telah dilakukan sebelumnya, termasuk perencanaan dan pelaksanaan. Guna mengetahui sejauh mana kinerja seseorang atau lembaga/organisasi memenuhi harapan tertentu, perlu dilakukan proses penilaian kinerja. Penilaian kinerja merupakan kegiatan membandingkan kinerja suatu lembaga/organisasi atau seseorang dengan suatu standar atau kriteria tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
Namun untuk dapat membandingkan suatu kinerja harus diukur lebih dulu. Pengukuran kinerja merupakan proses pengumpulan data atau informasi mengenai perilaku atau prestasi obyek yang diukur. Audit baru merupakan hal yang baru bagi dunia Monitoring dan Evaluasi. Hal ini merupakan akibat perubahan orientasi tata administrasi pemerintahan.
Selama ini orientasi tata administrasi pemerintahan adalah mengelola dan mempertanggungjawabkan anggaran Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, orientrasi Monitoring dan Evaluasi diarahkan pada pemeriksaan terhadap kebenaran pengelolaan anggaran dan ketaatan organisasi kerja kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun sejak orientasi hasil bergulir seiring pemberlakuan sistem akuntabilitas Instansi pemerintah (SAKIP), Monitoring dan Evaluasi diarahkan terutama pada akuntabilitas kinerja. Konsep akuntabilitas publik didasarkan kepada pemikiran bahwa rakyat mempunyai hak untuk mengetahui kinerja atau hasil yang dicapai oleh penyelenggara pemerintah yang tidak terbatas hanya pada pelaporan pertanggungjwaban keuangan, namun yang lebih penting adalah pertanggungjawaban “non keuangan” atau yang sering dikenal dengan akuntabilitas kerja (hasil yang dicapai).
Sejalan dengan perkembangan ini maka paradigma baru (new paradigm) Monitoring dan Evaluasi dititikberatkan pada akuntabilitas atas nilai manfaat (utility) penggunaan sumberdaya. Oleh karena itu, substansi Monitoring dan Evaluasi mengalami perubahan, tidak sekedar audit keuangan (financial audit) dan audit ketaatan (compliance audit), tetapi mengarah kepada audit kinerja (performance audit). Berdasarkan hal ini audit yang perlu dilakukan adalah: 1)akuntabilitas atas nilai manfaat penggunaan sumber daya; 2) pencapaian kinerja auditan 3) Identifikasi keunggulan, masalah, hambatan, dan kendala pelaksanaan; 4) kinerja nyata dengan kinerja di Negara-negara lain atau dengan standar internasional.
Dalam audit kinerja juga dilakukan analisis akuntabilitas kinerja, yaitu evaluasi yang dilakukan dengan mengintervensikan keberhasilan dan kegagalan secara luas dan mendalam. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu analisis tentang pencapaian sasaran dan tujuan secara efisien dan efektif, sesuai dengan kebijakan, program, dan kegiatan yang telah ditetapkan. Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan informasi/data yang diperoleh secara lengkap dan akurat. Bila memungkinkan dilakukan pula evaluasi kebijakan untuk mengetahui ketepatan dan efektifitas baik kebijakan itu sendiri maupun sistim dan proses pelaksanaannya.
Oleh karena itu, dalam penyusunan program perlu memperhatikan dan berpedoman terhadap hal-hal sebagai berikut:
• Kemampuan anggaran yang dimiliki;
• Memperhatikan sumber daya manusia dan potensi yang ada serta menyentuh kebutuhan orang banyak.
• Sarana dan prasarana yang ada.
• Kegiatan tersebut betul-betul riil dan benar-benar ada.
• mengutamakan koordinasi, sikronisasi, integrasi.
• Kegiatan berorientasi kepada hasil, yaitu efektif, ekonomis dan efisien
• Dilakukan evaluasi secara berkala
• Melakukan Monitoring dan Evaluasi sejak dari tahap perencanaan;
• Tidak keluar dari koridor visi dan misi organisasi yang telah ditetapkan.
• Disusun skala prioritas
• Setiap kegiatan disusun indicator keberhasilan disertai target dan rencana capaian untuk masing-masing kegiatan
• Target dapat berupa angka kuantitif maupun kualitatif
• Ada keterkaitan antara kegiatan dengan sasaran, antara kebijakan dengan program, serta keterkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh satuan organisasi/kerja lain
• Perlu adanya konsistensi, keterpaduan antar satuan kerja.


ANALISIS
Berbeda dengan Departemen Pendidikan Nasional yang secara khusus mengurusi urusan pendidikan, Renstra Departemen Agama cenderung lebih kompleks. Hal ini dapat dilihat dari bidang garapan yang tidak hanya pendidikan, tetapi juga bidang keukunan antarummat beragama, Haji, Perkawinan dan Wakaf. Bidang garapan depag ini memang merupakan bidang kehidupan keagaaman.
Departemen Agama sebagai penyelenggara Negara yang memiliki tugas melaksanakan pembangunan di bidang moral dan kehidupan beragama diharapkan menjadi “pelopor” (garda depan) dalam upaya pembenahan pemerintah dan masyarakat. Untuk tugas dimaksud, segenap unsur Departeman Agama melaksanakan program kerjanya yang secara maksimal dengan mengutamakan pelayanan prima.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kepentingan masyarakat, antara lain pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, kerukunan umat, penyelenggaraan ibadah haji. Peningkatan sarana peribadatan, dan pelayanan nikah. Citra departemen sangat bergantung kepada keberhasilan program-program di atas sehingga dibutuhkan upaya ekstra untuk melakukan pengawasan, baik terhadap pelaksanaan program maupun aparatur penyelenggaranya.
Menyangkut kebijakan tentang pendidikan kepada seluruh masyarakat, khususnya pada perguruan tinggi, Departemen Agama memiliki tanggung jawab yang tidak ringan. Cita-cita untuk menciptakan generasi muda yang taat, mengerti dan patuh pada ajaran agama, juga diharapkan mampu menguasai ilmu yang bersifat umum ditandai dengan pembukaan IAIN/UIN dan STAIN dengan fakultas ilmu umum. Keinginan untuk mewujudkan generasi yang universal tersebut diperlukan kebijakan dan langkah yang strategis dengan mengintegrasikan berbagai komponen dan sumber daya yang ada.
Bidang pendidikan yang menjadi garapa Depag, lebih khusus dikenal dengan istilah Pendidikan Islam. Ada beberapa pengetian dan pemahaman mengenai pendidikan Islam.
Untuk memahami konsep pendidikan Islam, perlu ditegaskan bahwa kata Islam merupakan kata kunci yang berfungsi sebagai sifat, penegas dan pemberi ciri khas pada kata pendidikan. Tedi Priatna berpendapat bahwa pengertian pendidikan Islam berarti pendidikan yang secara khas memiliki ciri Islami, yang dengan ciri khas itu ia membedakan dirinya dengan model pendidikan lainnya.
Menurut A. Malik Fadjar , mengutip pernyataan Zarkowi Soejoeti (1986), memberikan pengertian lebih terperinci. Pertama, pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tecermin dalam nama lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang akan diwujudkan dalam seluruh kegiatan pendidikan. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk pro¬gram studi yang diselenggarakan. Di sini kata Is¬lam ditempatkan sebagai bidang studi, sebagai ilmu, dan diperlakukan sebagaimana ilmu yang lain. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian tersebut di atas. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai sekaligus sebagai bidang studi yang ditawarkan lewat program studi yang dise¬lenggarakan.
Dari pengertian yang diberikan Zarkowi itu, kiranya bisa lebih dipahami bahwa keberadaan pendidikan Islam tidak sekadar menyangkut persoalan ciri khas, tetapi lebih mendasar lagi, yaitu tujuan yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling ideal. Tujuan itu sekaligus mempertegas bahwa misi dan tanggung jawab yang diemban pendidikan Islam lebih berat lagi. Adapun yang dibicarakan di sini adalah jenis dan pengertian pendidikan Islam yang menyangkut ketiga-tiganya. Karena memang ketiga-tiganya itu yang selama ini tumbuh dan berkembang di Indonesia dan sudah menjadi bagian tidak terpisahkan baik dari sejarah maupun dari kebijakan pendidikan nasional. Bahkan tidak berlebihan kalau (secara politis) dikatakan bahwa kehadiran dan keberadaannya merupakan bagian dari andil umat Islam dalam perjuangan maupun dalam mengisi kemerdekaan.
Pendidikan Islam, dalam pengertian sebagai¬mana dikemukakan di atas, selanjutnya dapat ditinjau dari sudut pendekatan sistem pendidikan dan kelembagaannya sebagai mekanisme alokasi posisional. Artinya, sistem pendidikan dan kelem¬bagaannya mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk menyalurkan peserta didiknya ke dalam posisi atau peran ideal tertentu. Sudut pendekatan mi dipakai karena sedikit banyak memiliki relevansi dengan topik bahasannya, dan terutama dengan kenyataan-kenyataan pendidikan yang kini kian dirasakan oleh masyarakat luas.
Pertama, sistem pendidikan dan kelembagaannya lebih merupakan cermin keadaan masyarakat. Dalam hal ini, keadaan masyarakat yang berlapis-lapis memantul dalam kenyataan pendidikan sobagai suatu sistem. Kini pemilahan lewat jalur kelembagaan ini telah berlaku pada tingkat pendidikan tinggi. Karena itu, setiap tahun ajaran baru masyarakat berdesak-desak untuk masuk perguruan tinggi.
Kedua, lembaga sekolah dan perguruan tinggi yang mempunyai kemampuan yang besar dalam menyalurkan lulusannya sesuai dengan harapan masyarakat, akan dikukuhkan kedudukannya secara lebih kuat lagi sebagai mekanisme alokasi. Sejalan dengan hal ini, akan berlaku suatu dalil bahwa semakin besar kemungkinan suatu sekolah dan atau perguruan tinggi mengantarkan peserta didik/mahasiswanya ke posisi kemasyarakatan yang terpandang, maka semakin besar arus peserta didik/mahasiswa untuk masuk ke sekolah dan atau perguruan tinggi itu. Dalam hal ini dapat dilihat besarnya arus peserta didik ke SMP dan SMU setiap tahun. Karena, karakteristik sekolah itu lebih memberikan kemungkinan untuk memilih pendidikan profesional selanjutnya, yaitu pada perguruan tinggi. Begitu pula arus yang masuk ke Fakultas Ekonomi, Fakultas Kedokteran, dan Teknik di perguruan tinggi cenderung semakin menguat karena dilihat lebih menjanjikan masa depan atau setidak-tidaknya lebih membukakan jalan untuk memperoleh status sosial ekonomi yang mapan.
Ketiga, orientasi alokasi posisional akan berdampak pada munculnya dorongan yang kuat di kalangan anggota masyarakat untuk mencapai tingkat pendidikan setinggi-tingginya. Hal ini segera bisa dipahami karena mereka yang memiliki pendidikan yang semakin tinggi itu akan memiliki peluang lebih terbuka untuk memasuki lembaga sosial ekonomi. Akhirnya, orientasi alokasi posi¬sional juga mendorong masyarakat untuk memilih sekolah dan perguruan tinggi atas dasar taraf dan mutu. Artinya, tolok ukur masyarakat terhadap sekolah dan perguruan tinggi akan mengacu pada taraf dan mutu dalam jajaran yang sama. Misalnya, sama-sama negeri/swasta, sama-sama SMU, sama-sama universitas, dan seterusnya.
Pendidikan Islam sebagai salah satu subsistem dalam sistem pendidikan nasional, memiliki peran yang strategis dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Maksum mencatat bahwa dalam perkembangan tiga dekade terakhir, pendidikan Islam tampak memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap pendidikan di Indonesia.
Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam dan sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional. Sebagai warisan, ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh ummat Islam dari masa ke masa. Sedangkan sebagai aset, pendidikan Islam yang tersebar di berbagai wilayah ini membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menata dan mengelolanya, sesuai dengan sistem pendidikan nasional. Dalam kedua perspektif di atas, pendidikan Islam di Indonesia selalu menjadi lahan pengabdian kaum muslimin dan sekaligus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
Husni Rahim menjelaskan bahwa mendiskusikan masalah pendidikan Islam di Indonesia secara garis besar terbagi ke dalam dua tingkatan,yaitu makro dan mikro. Pada level yang pertama, pendidikan Islam bersentuhan dengan sistem pendidikan nasional dan faktor-faktor eksternal lain. Sedangkan pada level yang kedua, pendidikan Islam dihadapkan pada tuntutan akan proses pendidikan yang efektif sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berdaya saing tinggi.
Berbagai persoalan dari kedua level di atas pada prinsipnya mendorong adanya perubahan arah pendidikan Islam mengingat tantangan kontemporer dan tantangan masa depan yang berbeda dengan tantangan masa lalu. Dalam uraian berikut akan dikemukakan secara sekilas latar belakang dan sejarah pendidikan Islam di Indonesia sebagai wawasan untuk melakukan perubahan. Kemudian, pembahasan berkembang ke arah penegasan visi dan strategi pembinaan lembaga pendidikan Islam, khususnya madrasah, di Indonesia.
Isu otonomi pendidikan yang bergulir bersamaan dengan isu-isu otonomi daerah yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 tentang pembagian wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini telah diperkuat oleh UU Nomor 5 tahun 1974, undang-undang ini menetapkan pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah di daerah tingkat II berdasarkan tiga azas otonomi, dekonstruksi dan pemberian bantuan. Pengaturan semacam ini dimaksudkan agar masing-masing daerah dapat mengelola diri sendiri dan mengembangkannya sesuai dengan potensinya. Meskipun demikian pelaksanaan UU Nomor 6 tahun 1974 belum dapat dilaksanakan secara efektif karena tidak ada kesungguhan untuk menerapkannya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari beberapa fenomena yang muncul dalam penyelenggaraan pembangunan. Misalnya, keseragaman dalam setting program pembangunan di daerah-daerah, yang mana daerah atau level bawah belum menjadi pemrakarsa dalam merencanakan program pembangunan, batasan tugas antara pusat dan daerah cenderung ke arah dekonstruksi.
Dengan kenyataan seperti itu maka lahirlah Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 tahun 2004. Revisi undang-undang ini terjadi karena UU Nomor 22 tahun 1999 sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan,dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.
Menurut Tjahya Supriatna Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 memberikan nuansa yang lain dalam perkembangan otonomi daerah di Indonesia. Konsep otonomi daerah yang terkandung di dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 merupakan lompatan yang jauh ke depan. Konsep sentralisasi yang dianut Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 benar-benar diganti dengan konsep desentralisasi. Dengan demikian perubahan-perubahan baik dalam aspek kewenangan, kelembagaan, keuangan, ketatalaksanaan dan kepegawaian yang terjadi dalam pemerintahan di daerah tidak bisa dihindari.
Paradigma Pemerintah Daerah yang akan dikembangkan menurut Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 ini bertumpu pada nilai demokratisasi, pemberdayaan dan pelayanan. Yaitu suatu pemerintah daerah yang memiliki keleluasaan dan pengambilan keputusan yang terbaik dalam kewenangannya, untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya dalam mendukung kualitas pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat.
Di pihak lain untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa menjadi salah satu tema utama dalam reformasi dewasa ini, maka konsep Good Governance menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam mereformulasi pemerintah daerah. Dalam konsep Good Governance sendiri terkandung unsur utama yang terdiri dari akuntabilitas (accountability), transparansi (transparancy), keterbukaan (oppenes) dan aturan hukum (rule of law).
Dalam pasal 10 UU Nomor 32 tahun 2004, ditegaskan mengenai pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama merupakan kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan dan penentuan kebijakannya. Sedangkan bidang-bidang lainnya termasuk pendidikan menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Pengelolaan usaha bidang pendidikan akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004. Otonomi pendidikan merupakan upaya untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai wadah otonomi yang memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat yang bermutu dan sesuai kebutuhan masyarakat. Otonomi pendidikan secara mikro lebih dikenal dengan otonomi sekolah, juga sering disebut dengan desantralisasi pengelolalan sekolah, pengelolaan pendidikan berdasarkan kebutuhan sekolah/masyarakat, yang mana sekolah-sekolah diberikan kewenangan yang penuh dalam merancang kebutuhan layanan pendidikan.
Berbagai persoalan pendidikan di Indonesia sepertinya tidak pernah usai. Keragaman pendapat tentang berbagai hal menyangkut kebijakan pendidikan malah menyebabkan semakin kisruhnya pendidikan di Indonesia. Sebenarnya bukan berbeda pendapatnya yang menjadi persoalan. Tetapi ketika perbedaan pendapat tersebut menjadi sebuah kebijakan yang harus dilaksanakan di lapangan, terasa benar bahwa guru-guru di lapangan harus berfungsi sebagai seorang tukang atau pelaksana kebijakan atau sekedar sebagai teknisi dan bukan sebagai profesional yang amat dibutuhkan dalam era baru manajemen pendidikan.
Kaitannya dengan pengelolaan pendidikan Islam, bagaimana dengan status pengelolaan pendidikan Islam yang ada di daerah, terutama yang selama ini dikelola dan berada di bawah naungan Departemen Agama? Apakah masih berada di bawah naungan Departemen Agama RI? Ataukah diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah daerah?
Dalam menjawab persoalan tersebut tentu saja masalah pengelolaan pendidikan Islam mengalami dilematis. Sebab, apapun pilihannya akan mengandung risiko. Oleh karena itu, dalam melihat masalah tersebut dibutuhkan perspektif yang multidimensi dan objektif. Di sini, keberadaan pendidikan Islam, baik sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, maupun kualitasnya yang rata-rata masih rendah yang harus dijadikan titik tolak dalam pembahasan.
Lahirnya UU Nomor 34 tahun 2004 tentang Pemerintahan di daerah yang pada hakikatnya memberikan otonomi yang luas di antaranya bagi pengelolaan pendidikan telah memunculkan secercah harapan baru bagi kemajuan pendidikan di masa yang akan datang. Paling tidak, pengelolaan pendidikan yang selama ini amat sentralistik akan berkurang.
Dalam kaitannya dengan isu otonomi daerah, maka isu otonomi pendidikan semakin kencang bergulir. UU Nomor 34 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menegaskan bidang kewenangan yang semestinya di emban oleh pemerintah Pusat dan daerah. Lima bidang menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah pusat , sedangkan selebihnya menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah, belum lagi dengan adanya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 yang telah diperbarui dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, yang menegaskan bahwa sistem madrasah telah terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional.
Merespon lahirnya UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, berarti pilihan pengelolaan pendidikan madrasah menjadi ganda, yaitu pada satu sisi bisa bersifat sentralisasi, dan juga bisa otonomi penuh, kedua pilihan tersebut masing-masing mengandung risiko.
Jika pilihannya sentralisasi, berarti pendidikan Islam masih tetap dikelola oleh Departemen Agama dengan segala risikonya. Artinya pendidikan Islam dalam kerangka UU Nomor 34 tahun 2004 masuk dalam kategori bidang agama. Risikonya adalah anggaran pengembangan dan pembinaan pendidikan Islam akan diambil dari sumber anggaran kegamaan yang bersatu di Departemen Agama. Sedangkan jika pilihannya otonomi penuh yang dipilih, berarti pengelolaan pendidikan Islam sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah (kota/Kabupaten). Artinya pendidikan Islam dalam konteks UU Nomor 34 tahun 2004 masuk dalam kategori bidang pendidikan yang harus diserahkan pengelolaannya ke Pemerintah Daerah atau Departemen Pendidikan Nasional.
Sesuai dengan konsep manajemen, mulai dari tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian program kerja perguruan Tinggi agama Islam diharapkan dapat terpadu dilaksanakan. Strategi perencanaan dapat dilaksanakan antara lain:
• Menyusun kebijakan yang bersifat lintas sektoral berupa kerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional, dalam hal penyusunan kurikulum, metodologi pengajaran, dan strategi pembelajaran;
• Mereorientasi pola rekruitment tenaga dan mahasiswa
• Mendekatkan pola kurikulum dan strategi pembelajaran dengan kebutuhan dunia kerja.
• Meningkatkan kualitas tenaga pengajar dengan standar komptetensi.
• Bekerjasama dengan perguruan tinggi luar negeri dalam hal penerapan kurikulum dan strategi pembelajaran.
• Meningkatkan sarana dan prasarana belajar mengajar.