16 Desember 2009

ISLAM DAN TANTANGAN GLOBALISASI : Berbagai Paradigma Islam dalam Menghadapi Globalisasi

Pengantar

Sebagaimana telah kita ketahui, era globalisasi ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang sedemikian cepat.[1] Kemajuan di bidang ini membuat segala kejadian di negeri yang jauh bahkan di benua yang lain dapat kita ketahui saat itu juga, sementara jarak tempuh yang sedemikian jauh dapat dijangkau dalam waktu yang singkat sehingga dunia ini menjadi seperti sebuah kampung yang kecil, segala sesuatu yang terjadi bisa diketahui dan tempat tertentu bisa dicapai dalam waktu yang amat singkat.[2]

Sulit rasanya meletakkan proses perubahan sosial, budaya dan politik dewasa ini lepas dari perkembangan dinamika global. Kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi memberi pengaruh luas dalam kehidupan sehari-hari, bahkan merombak sistem sosial. Globalisasi ekonomi dan budaya berpengaruh pada penciptaan kultur yang homogen yang mengarah pada penyeragaman selera, konsumsi, gaya hidup, nilai, identitas, dan kepentingan individu. Sebagai produk modernitas, globalisasi tidak hanya memperkenalkan masyarakat di pelosok dunia akan kemajuan dan kecanggihan sains dan teknologi serta prestasi lain seperti instrumen dan institusi modern hasil capaian peradaban Barat sebagai dimensi institusional modernitas, tetapi juga mengintrodusir dimensi budaya modernitas, seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, toleransi, dan hak-hak asasi manusia.

Persoalan-persoalan yang terjadi di suatu negara yang semula disembunyikan atau ditutup-tutupi menjadi transparan dan dapat diketahui secara detail, begitu juga dengan persoalan-persoalan pribadi seseorang yang dipublikasikan melalui media massa. Dalam konteks ekonomi-politik, kenyataan tersebut bahkan dijadikan faktor penting untuk melihat kemungkinan memudarnya batas-batas teritorial negara-bangsa, yang oleh Kenichi Ohmae dibahasakan sebagai “the end of the nation state.”[3]

Dewasa ini, kekuatan kapitalisme global dan perusahaan-perusahaan transnasional bergerak melampaui batas-batas teritorial suatu negara guna melakukan ekspansi ekonomi di berbagai pelosok dunia. Hal mana pada level tertentu telah membawa implikasi makin melemahnya posisi kekuatan ekonomi lokal. Dengan demikian globalisasi juga mengarah pada penguasaan ekonomi di tangan sekelompok kecil pemilik modal, dan akhirnya menuju pada proses homogenisasi. Dalam perspektif cultural studies, hegemoni ini tampak dalam penciptaan pola hidup konsumeristik, dan pop culture, yang memposisikan manusia sebagai obyek distribusi produksi belaka. Meski demikian, yang menjadi titik penting arti globalisasi adalah bahwa ia juga telah memungkinkan tuntutan ke arah demokratisasi transnasional di seluruh penjuru dunia makin meningkat. Tuntutan persamaan hak dan kesejahteraan hidup, kesetaraan derajat, dan desakan terbentuknya keseimbangan tatanan dunia yang lebih adil kian kencang disuarakan. Globalisasi telah membuat dunia makin terbuka, dan melahirkan aneka tuntutan perluasan partisipasi dan pemberdayaan rakyat yang lebih besar. Fenomena ini juga diiringi oleh munculnya berbagai bentuk penegasan kembali identitas-identitas komunal masyarakat. Adanya tuntutan pengakuan atas identitas komunal dan hak budaya lokal sekaligus membuktikan, ada resistensi atas kecenderungan peminggiran, dominasi dan homogenisasi global.

Dalam pengertian yang umum kata globalisasi dipahami sebagai dominasi usaha-usaha besar dan raksasa atas tataniaga dan sistem keuangan internasional yang kita ikuti. Ia juga dipahami sebagai pembentukan selera warga masyarakat secara global/mendunia yang juga turut kita nikmati saat ini. Deretan penjualan “makanan siap-telan” (fast food) menjadi saksi akan pemaknaan seperti itu. Selera kita ditentukan oleh pasar, bukannya menentukan pasar. Dari fakta ini saja sudah cukup untuk menjadi bukti akan kuatnya dominasi tersebut. Pengertian lain globalisasi adalah dominasi komersial dan pengawasan atas sistem finansial dalam hubungan antar-negara, inilah yang sekarang menentukan sekali tata hubungan antara negara-negara yang ada.

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa fenomena globalisasi juga memberikan banyak ancaman bagi kehidupan manusia, dalam konteks Indonesia misalnya, beberapa ancaman globalisasi adalah semakin tidak tertahannya ekspansi kapital, ekspansi investasi, proses produksi dan pemasaran global. Ancaman inilah yang nantinya akan berpengaruh secara langsung --sebab melalui penentuan kebijakan pemerintahan-- bagi proses peminggiran kaum tertindas-terpinggir, semacam: buruh/karyawan, petani, kaum pinggiran kota, guru-pelajar-mahasiswa/ pendidikan, masyarakat lokal. Betapa tidak ? saat ini dengan jelas kita melihat bahwa beberapa kebutuhan “primer” rakyat telah disunat dengan ditiadakan ataupun dikuranginya subsidi; padahal yang kita tahu bahwa kehidupan yang layak, pekerjaan, kekayaan alam, pendidikan adalah kewajiban negara untuk melaksanakannya sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Dasar.

Dengan berjalannya proses tanpa regulasi atau tanggung jawab seluruh perusahaan transnasional yang tidak dibarengi dengan tersedianya suprastruktur dan infrastruktur mengakibatkan semakin berkuasanya pihak perusahaan untuk menentukan segalanya termasuk upah bagi kaum buruh. Dan seperti yang kita ketahui jika posisi tawar calon buruh lemah, maka dapat dipastikan bahwa manusia-manusia Indonesia hanya akan dibayar murah. Begitu pula dengan keberadaan petani, program ketahanan pangan semacam coorporate farming, penggunaan bibit transgenik, Kredit Ketahanan Pangan (KKP)-Kemitraan akan menjadikan petani semakin kerdil di mata perusahaan besar transnasional yang nantinya akan menghilangkan keberadaan petani sebagai penghasil pangan lokal dan bahkan jika petani tak mampu lagi mengikuti “logika pasar bebas” maka kelak petani hanyalah sekedar penonton atas tanah yang telah dikuasai kaum pemodal besar. Hilangnya tanah bagi petani berakibat pula pada peningkatan pengangguran dan angka kemiskinan, sebagaimana yang termuat oleh studi FAO terhadap 16 negara yang mengimplementasikan kesepakatan “Uruguay Round” [4]

Problem diatas masih ditambah lagi dengan “ideologi” yang dianut kapitalisme global yakni kompetisi bebas, efektif, efisien dimana proses di atas hanya bisa dilakukan dengan kesiapan yang telah dibangun lama --dengan tanpa memperhitungkan nilai kemanusiaan sebab pasar dan uang telah menjadi tuhan sekaligus berhala; sekaligus sesuatu hal yang telah direncanakan pihak dunia pertama semenjak lama tanpa melibatkan pemeran-pemeran lainnya-- sehingga upaya mengejar ketinggalan hanyalah sekedar basa-basi seperti halnya keterpesonaan kita terhadap ekonomi pertumbuhan tinggi menuju tinggal landas dan iming-iming menjadi New Asian Tiger.

Proses globalisasi ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan nilai-nilai agama. Realitas ini mendapat respon yang cukup beragam dari kalangan pemikir dan aktivis agama. Agama sebagai sebuah pandangan yang terdiri dari berbagai doktrin dan nilai memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat. Hal ini diakui oleh para pemikir, antara lain Robert N. Bellah dan Jose Casanova, mereka mengakui pentingnya peran agama dalam kehidupan sosial politik masyarakat dunia. [5] Dalam konteks ini agama memainkan peranan yang penting di dalam proses globalisasi. Agama bukan hanya pelengkap tetapi menjadi salah satu komponen penting yang cukup berpengaruh di dalam berbagai proses globalisasi. Karena begitu pentingnya peran agama dalam kehidupan masyarakat, maka perlu kiranya kita memahami sejauh mana posisi agama di dalam merespon berbagai persoalan kemasyarakatan.

Posisi Agama

Agama sebagai sebuah ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan manusia sehari-hari.[6] Agama diturunkan guna memberikan aturan-aturan hidup yang akan membawa kebahagiaan bagi kehidupan manusia. Selain itu agama juga dipandang sebagai instrumen untuk memahami dunia.[7] Namun demikian kehadiran agama selalui disertai dengan “dua muka” (janus face). Pada satu sisi secara inheren agama memiliki identitas yang bersifat “exclusive, particularist”, dan “primordial”. Akan tetapi, pada waktu yang sama agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive, universalist”, dan “transcending”.[8]

Untuk meletakkan hubungan antara keduanya dalam situasi yang lebih empirik, sejumlah pemikir dan aktivis social-politik telah berusaha membangun paradigma yang dipandang memungkinkan. Tentu konstruk pemikiran yang ditawarkan, antara lain dipengaruhi dan dibentuk oleh asal usul teologis dan sosiologis ataupun spacio-temporal serta partikularitas yang melingkupi mereka.[9] Terlepas dari variasi konstruk pemikiran yang ditawarkan, pada dasarnya di dalam memahami posisi agama terhadap persoalan kemasyarakatan ada tiga aliran besar dalam hal ini. Pertama adalah perspektif mekanik-holistik, yang memposisikan hubungan antara agama dan persoalan kemasyarakatan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Kedua adalah pemikiran yang mengajukan proposisi bahwa keduanya merupakan wilayah-wilayah (domains) yang antara satu dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan. Ketiga adalah pandangan tengah yang mencoba mengintegrasikan pandangan-pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan antara agama dan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan perspektif mekanik-holistik yang seringkali melakukan generalisasi bahwa agama selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan.[10]

Berbagai Paradigma Islam dalam Menghadapi Globalisasi

Pada mulanya agama-agama muncul dari unsur kebudayaan sebuah masyarakat sebagai bagian ritus transendental yang didominasi kekuatan mistis. Agama ini lahir dalam bentuk-bentuk yang plural sesuai dengan corak ekonomi sosial tiap-tiap masyarakat pada masanya.[11] Meskipun tidak secara linier bentuk tersebut sesuai dengan kondisi transformasi sosioekonominya, setidaknya fakta telah menunjukkan bahwa agama pada era kini telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan awal kemunculannya. Perubahan nonlinier ini kemudian membentuk beragam kategori. Namun, secara general kualifikasinya hanya menjadi dua bentuk paradigma yang sekarang ada dalam umat Islam. Perspektif ini hampir berlaku pada setiap agama.[12] Demikian pula dengan Islam yang berdiri di atas tiga pilar doktrin dasarnya yaitu akidah, syariah dan akhlak.[13] Dalam perkembangannya mengalami perubahan bentuk aplikasi pemaknaan di kalangan umatnya. Sejalan dengan perubahan tersebut, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini ada dua paradigma fundamental yang berkembang di kalangan umat Islam dalam menghadapi globalisasi yaitu :

1. Paradigma Konservatif

Paradigma pertama ini adalah paradigma yang cenderung bersifat konservatif, yang memposisikan Islam sebagai agama yang memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini dianggap sebagai bagian yang senantiasa berlawanan bahkan mengancam. Dalam dimensi teologi, Tuhan menempati pokok segala kekuasaan yang telah diterjemahkan dalam kajian-kajian pendahulunya dengan peletakan unsur mazhab yang dianggap representatif. Tuhan dengan segala kekuasaannya telah memberikan ukuran dan solusinya sesuai dengan ajaran yang tertulis. Bagi mereka menafsirkan ayat yang berkaitan dengan ketuhanan dengan metode baru adalah kesesatan.

Demikian pula dalam bidang syariat yang menjadi pusat kajian hukumnya. Aspek hukum yang telah ada dalam kitab-kitab tersebut sudah menjadi final untuk dijadikan acuan hukumnya. Alasannya, hukum tersebut murni bersumber dari Alquran dan hadis. Oleh karenanya, tidak ada yang perlu disempurnakan lagi. Realitas sosial politik yang menandai kemunculan hukum-hukum tersebut nyaris tak mendapatkan tempat kajian yang mendalam. Dalam kategori sosiologis Islam seperti di atas, menurut Ali Syariati (1933-1977), Islam hanya menjadi kumpulan-kumpulan dari tradisi asli dan kebiasaan masyarakat yang memperlihatkan suatu semangat kolektif suatu kelompoknya.[14] Ia berisi kumpulan kepercayaan nenek moyang, perasaan individual, tata cara, ritual, aturan, kebiasaan, dan praktik-praktik dari suatu masyarakat yang telah mapan, berlangsung dari generasi ke generasi. Kebiasaan inilah yang biasanya dipelihara oleh penguasa politik untuk melegitimasi kekuasaan. Karena indoktrinasi menjadi bagian yang kuat dalam pemaknaan ajaran agama maka paradigma ini sering pula disebut paradigma konservatif.

Bagi orang-orang Islam berpaham konservatif ini, “ketidakberubahan” (unchangingness) merupakan suatu hal yang ideal bagi individu dan masyarakat serta merupakan suatu persepsi hakikat manusia dan lingkungannya. “Ketidakberubahan” merupakan asumsi berpengaruh luas yang mewarnai hampir seluruh aspek pemahaman kelompok ini.[15] Doktrin “ketidakberubahan”, baik sebagai fakta maupun sebagai cita-cita, barangkali bermula dari pengalaman kehidupan nomadik bangsa Arab, yang mengakibatkan timbulnya paham bahwa keselamatan terletak pada upaya mengikuti jejak para leluhur. Bangsa nomad Arabia tentu saja menyadari perubahan. Suku-suku berhasil dan berkembang semakin meningkat, lalu mengalami nasib pahit, mundur dan terkadang lenyap sekaligus. Namun variasi perubahan seperti itu tidak berarti bahwa pada dasarnya kehidupan mengalami perubahan. Dengan demikian, lebih baik melakukan apa-apa yang telah dilakukan “nenek moyang” sebab dalam banyak hal, cara itu membuahkan hasil yang memuaskan. Iklim Arabia itu tidak menentu dan tak teratur sehingga orang nomad tidak dapat menghindari bencana dengan membuat rencana-rencana cermat, tetapi terpaksa membiasakan diri menerima apa saja yang terjadi pada dirinya.[16] Corak berpikir seperti itu mengakibatkan doktrin mengikuti “jejak leluhur” menjadi opini paling kuat. Segala yang baru pasti akan dicurigai. Dalam teologi Islam, kata yang lazim dipakai untuk “hal baru” ialah bid’ah. Berlandaskan corak pemikiran tersebut akhirnya kelompok Konservatif pun memandang bahwa globalisasi adalah unsur yang sangat mengancam bagi keberlangsungan nilai-nilai Islam.

Bentuk pemahaman konservatif ini dapat dilihat melalui pemahaman kelompok ini di dalam memahami hubungan agama dengan negara. Kelompok ini berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut paham ini pada umumnya berpendirian bahwa : (1). Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. (2). Sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi besar Muhammad dan oleh empat al-Khulafa al-Rasyidin.[17]

Melihat pemahaman tersebut dapat kita mengerti bahwa kelompok ini, sebagaimana telah penulis jabarkan di atas cenderung memposisikan Islam sebagai agama yang serba lengkap, sehingga doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang ada tidak dapat bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam.

2. Paradigma Liberal

Paradigma kedua adalah paradigma yang bersifat antagonistik dengan paradigma konservatif. Islam diasumsikan sebagai agama yang dapat berperan sebagai agen perubahan sosial. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini menjadi komponen yang diterima bahkan menjadi acuan penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang dihadapi umat. Dalam dimensi teologi paradigma ini mengedepankan aspek rasionalisme. Teologi bukan semata menjadi objek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, melainkan sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Paradigma ini berpendirian bahwa walaupun Islam memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama tapi harus dilakukan banyak dekonstruksi terhadap pemahaman doktrin tersebut melalui pengembangan wacana keilmuan yang dapat diperoleh pada sumber-sumber eksternal.

Berkebalikan dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan, dimensi teologi yang mereka ajukan justru menginginkan konsistensi menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Mereka lebih menekankan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga terkadang melampaui garis-garis “larangan” demi mewujudkan teologis humanisnya. Dalam dimensi syariat paradigma ini mengambil hukum-hukum melalui pemahaman yang cenderung terlalu kontekstual, sehingga terkadang mengabaikan tekstualitas dan latar belakang munculnya doktrin-doktrin agama. Mereka juga mengajukan berbagai wacana tentang perlunya tafsir ulang terhadap al-Qur’an dan hadis. Paradigma pemikiran yang cenderung sangat liberal ini sering diistilahkan dengan paradigma liberal.

Secara ringkas, penulis berpendapat bahwa "mazhab" liberal ini sebenarnya berakar pada ide demokrasi. Pemikiran-pemikiran lain sebagai derivatnya akan terlihat sangat bertumpu di atas paham demokrasi ini; seperti gagasan pemisahan negara dengan agama, hak-hak wanita dalam kepemimpinan politik dan kekuasaan, kebebasan penafsiran teks-teks agama, kebebasan berpikir dan berpendapat, toleransi beragama, dialog dan keterbukaan antar agama, pluralisme, demokrasi religius, dan lain-lain.

Pemikiran mengenai hubungan negara dengan agama (Islam) merupakan persoalan krusial yang paling banyak mendapat penolakan dan tantangan dari pengusung Islam liberal. Argumentasi yang sering dipakai: (1) Negara Islam tak pernah dikenal dalam sejarah; (2) Negara adalah kehidupan duniawi, berdimensi rasional, dan kolektif; sedangkan agama berdimensi spiritual dan pribadi; (3) Masalah kenegaraan tidak menjadi bagian integral dari Islam; (4) Islam tidak mengenal konsep pemerintahan definitif, misal dalam suksesi kekuasaan; (5) Rasulullah Muhammad hanya menjadi penyampai risalah, tidak mengepalai suatu institusi politik; (6) Al-Quran dan Sunnah tidak pernah menyebut, "Dirikanlah negara Islam!" dan sebagainya. Penolakan gagasan ini, pada akhirnya mengantarkan pada penerimaan secara total atas ide demokrasi dalam urusan kekuasaan,politik, dan pemerintahan. Konsekuensi berikutnya, menolak kebolehan seorang wanita terlibat dalam urusan kekuasaan adalah bertentangan dengan prinsip demokrasi. Menolak keterlibatan warga negara berdasarkan perbedaan prinsip agama adalah tidak sesuai dengan demokrasi. "Memasung" pikiran dan pendapat bertentangan dengan hak kebebasan dan demokrasi. Mengambil peraturan dan hukum-hukum kemasyarakatan dari satu agama saja (baca: Islam) merupakan diskriminasi atas agama lain, yang berarti sama saja dengan tidak demokratis. Kebebasan dan kebolehan beragamnya menafsirkan teks-teks agama (dalil-dalil) menjadi imbas dari gagasan liberalisasi dan kebebasan berpikir serta berpendapat. Demikianlah, semua pemikiran derivat ini akan berlindung di balik induknya: pemikiran "demokrasi."

Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini dalam memahami hubungan Islam dan negara berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Kelompok ini meyakini bahwa Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara.

Berbagai penjelasan di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa di dalam pemahaman kelompok ini unsur-unsur sosial selain Islam dapat menjadi komponen yang diterima bahkan menjadi acuan penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang dihadapi umat.

Dua paradigma di atas sesungguhnya telah menjadi bagian internal Islam di Indonesia. Paradigma pertama biasanya mengakar pada kalangan kelas bawah yang belum sepenuhnya tersentuh oleh tradisi keilmuan positivisme seperti di pesantren. Sementara paradigma liberal lahir dari rahim generasi muda yang cukup paham terhadap wacana Islam. Namun, juga tersentuh oleh tradisi positivisme dari barat serta memiliki motivasi kuat untuk perubahan sosial. Namun, apakah perkembangan paradigma Islam ini akan hanya berhenti di sini? Inilah sesungguhnya yang harus kita kaji secara mendalam. Yang harus diingat adalah bahwa perubahan kajian ijtihad tersebut berlandaskan aspek perubahan sosial dan mengembalikan semangat pembelaan Islam terhadap umat manusia. Oleh karena itu, pilihan baru harus segera diadakan sebab situasi kekinian telah mengubah transformasi sosial dengan adanya globalisasi.

3. Paradigma Alternatif

Untuk mengintegrasikan dua kubu paradigma yang paradoks ini maka perlu kiranya dikembangkan satu paradigma alternatif, yang mungkin dapat mengkompromikan dua pandangan di atas. Sebab dengan mengkompromikan dua pandangan tersebut paling tidak kita berusaha menjembatani adanya titik temu sebagai salah satu upaya mencari konsepsi final yang paling ideal dalam Islam, meski memang untuk mengejawantahkannya dalam tataran realitas bukanlah persoalan mudah. Paradigma alternatif yang coba penulis tawarkan adalah paradigma moderat yakni paradigma yang cenderung mencoba mengintegrasikan pandangan-pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan Islam dan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan Paradigma Konservatif yang seringkali melakukan generalisasi bahwa Islam selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan. Serta berusaha mengakomodasi dilakukannya pembaruan wacana sesuai dengan diinginkan kalangan liberal dengan tetap memperhatikan nilai-nilai luhur dan keislaman.

Dalam dimensi teologi paradigma ini selain mengedepankan aspek rasionalisme namun juga tidak melupakan aspek keimanan, sebab aspek keimanan ini merupakan salah satu faktor penting di dalam menyikapi berbagai persoalan kekinian. Teologi selain menjadi obyek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, tetapi juga sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Berbeda dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan dan kaum liberal yang terlalu humanis, paradigma ini selain berusaha memelihara nilai-nilai ketauhidan yang bersifat formalistik tetapi juga berusaha secara konsisten menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Dalam arti nilai tauhid harus “membumi” dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dimensi syariat, paradigma ini selain mengambil hukum-hukum Islam dari aspek nilai/substansi tetapi berusaha pula memahami secara tekstual kitab-kitab Islam lama yang dimapankan oleh kalangan konservatif. Alquran dan Hadis memang harus ditafsir ulang tetapi harus dengan pertimbangan ilmiah teoretis dalam pertimbangan praksis sosialnya.

Karena paradigma ini berusaha mengintegrasikan dua kubu paradigma yang antagonistik maka paradigma ini lebih cenderung penulis istilahkan dengan paradigma moderat. Karena istilah moderat cenderung pada pemahaman mencari jalan tengah dari kecenderungan-kecenderungan yang bersifat antagonistik. Hal ini juga sesuai dengan konsep Islam sebagai agama Wasathan (moderat). Dalam melihat hubungan Islam dan negara paradigma moderat menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi kelompok ini juga menolak anggapan bahwa agama adalah dalam pengertian barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Paradigma ini juga berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.

Paradigma ini tidak hanya ingin menonjolkan isu seputar konsep "Negara Islam" dan "Pemberlakuan syariat", tetapi yang paling penting bagaimana substansi dari nilai dan ajaran agama itu sendiri. Agama adalah sejumlah ajaran moral dan etika sosial, serta fungsinya mengontrol negara. Paradigma moderat berpandangan, keterlibatan agama secara praktis ke dalam negara jangan sampai memandulkan nilai luhur yang terkandung dalam agama karena agama akan menjadi ajang politisasi dan kontestasi. Di sisi lain, paradigma moderat mengampanyekan dimensi kelenturan, kesantunan, dan keadaban Islam. Islam sebagai agama penebar kasih, cinta dan sayang (rahmatan li al-’alamien) harus menjadi paradigma yang mengakar di tengah masyarakat. Hal ini penting guna meminimalisir pandangan keagamaan yang selalu berwajah sangar dan keras yang digunakan secara sistematis oleh beberapa kalangan Muslim.

Hanya, yang menjadi tantangan paradigma moderat di masa datang adalah situasi global yang kian tidak menentu serta menampakkan hegemoni yang memungkinkan munculnya resistensi kultural yang bersifat radikal dan anarkis, selain kebijakan politik nasional yang tidak memihak kaum lemah, seperti gejala penggusuran dan hilangnya pekerjaan bagi sejumlah buruh perusahaan dan pabrik. Hal-hal seperti ini akan turut menghambat kampanye paradigma moderat di tanah air. Wacana paradigma moderat akan selalu tampil ke permukaan dengan tradisi dan khazanah keagamaan yang dimilikinya. Paradigma akan kian sempurna bila mendapat "ruang publik" yang memungkinkan terwujudnya wawasan keagamaan yang terbuka dan damai, yaitu kondisi obyektif yang dapat memayungi keadilan bagi tiap warga, kesetaraan bagi keragaman suku dan agama, serta kedamaian di antara pelbagai konflik horizontal yang menyelimuti masyarakat kita belakangan ini.

Namun untuk merealisasikan bentuk paradigma alternatif tersebut, yang merupakan respon terhadap dua paradigma yang sudah cukup berkembang di Indonesia bukanlah persoalan mudah, tetapi memerlukan banyak upaya guna mengaktualisasikan ide tersebut. Dan juga yang harus kita sadari sepenuhnya, bahwa agama Islam telah lengkap dan komprehensif. Namun, "kesempurnaan" Islam hanyalah sebatas dalam tataran teoretis. Pada tataran praksisnya -- terutama ketika era globalisasi bergerak -- Islam belumlah cukup memiliki konsepsi final dan pengalaman praktik perjuangan melawan hegemoni kapitalisme. Untuk itulah kita harus senantiasa melakukan kajian mendalam dan intens guna mencari solusi dan jawaban terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat saat ini.

Penutup

Di dalam masyarakat Islam, khususnya di Indonesia saat ini secara faktual telah berkembang dua paradigma kontradiktif di dalam menghadapi berbagai tantangan globalisasi, paradigma pertama cenderung sangat konservatif sementara paradigma kedua cenderung liberal. Untuk itu penulis menawarkan perlunya kecenderungan alternatif yaitu kecenderungan yang mencoba mengintegrasikan dua kecenderungan di atas yang penulis istilahkan dengan paradigma moderat. Namun untuk merealisasikan bentuk paradigma alternatif tersebut, bukanlah persoalan mudah, tetapi memerlukan banyak upaya guna mengaktualisasikan ide tersebut. Sebagai paradigma yang mengampanyekan dimensi kelenturan, kesantunan, dan keadaban Islam. Maka paradigma ini berupaya menjadikan nilai ajaran Islam sebagai ajaran penebar kasih, cinta dan sayang (rahmatan li al-’alamien) harus menjadi paradigma yang mengakar di tengah masyarakat. Hal ini penting guna meminimalisir pandangan keagamaan yang selalu berwajah sangar dan keras yang digunakan secara sistematis oleh beberapa kalangan Muslim.

Daftar Pustaka



Al-Qardhawi, Yusuf, Islam dan Globalisasi Dunia, terj. dari buku Al-Muslimun wa Al-Aulamah, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, Cet. I, 2001.

Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta : PT. Bulan Bintang, Cet. I, t.th.

Effendi, Bachtiar, Masyarakat Agama dan Tantangan Globalisasi : Mempertimbangkan Konsep Deprivatisasi Agama, Makalah tidak diterbitkan.

Manshur, Faiz, Pilihan Paradigma Islam Menghadapi Globalisasi, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0303/21/0801.htm

Nasution, Harun, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta : UI Press, Cet. V, 1985.

Ratea, Tita Dewinta, Membongkar (Kejahatan) Globalisasi, http ://www.sekitarkita.com/wacana/dewinta.htm.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, Edisi kelima, 1993.

Watt, William Montogomery, Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, terj. dari buku Islamic Fundamentalist and Modernity, Jakarta : CV. Pustaka Setia, Cet. I, 2003.

[1] Bachtiar Effendi, Masyarakat Agama dan Tantangan Globalisasi : Mempertimbangkan Konsep Deprivatisasi Agama, Makalah tidak diterbitkan, hal. 2

[2] Yusuf al-Qardhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, (terj.), Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, hal. 21-23

[3] Bachtiar Effendi, Op.Cit

[4] Tita Dewinta Ratea, Membongkar (Kejahatan) Globalisasi, http ://www.sekitarkita.com/wacana/dewinta.htm

[5] Bachtiar Effendi, Op.Cit, hal. 5

[6] Lihat Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta : UI Press, Cet. V, 1985, hal. 10

[7] Bachtiar Effendi, Op.Cit, hal. 6

[8] Ibid, hal. 7

[9] Ibid

[10] Ibid, hal. 8

[11] Harun Nasution, Op.Cit, hal. 11-14

[12] Faiz Manshur, Pilihan Paradigma Islam Menghadapi Globalisasi, http:// www.pikiran-rakyat.com/cetak/0303/21/0801.htm

[13] Lihat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta : PT. Bulan Bintang, Cet. I, halaman 101-175

[14] Faiz Manshur, op.cit

[15] William Montogomery Watt, Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, terj. dari buku Islamic Fundamentalist and Modernity, Jakarta : CV. Pustaka Setia, Cet. I, 2003, hal. 11-12

[16] Ibid, hal. 15

[17] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, Edisi kelima, 1993, hal. 1


Sumber: Dari blog sebelah..

TUGAS ANDA ADALAH:
1. BACA TULISAN INI DENGAN BAIK DAN PAHAMI ISINYA
2. TULISKAN KOMENTAR ANDA DI BAWAH INI (ADA POS KOMENTAR)....

41 komentar:

rizkiagustriana mengatakan...

Argumentasi yang sering dipakai oleh paradigma liberal diantaranya adalah negara islam tak pernah dikenal dalam sejarah.Menurut saya tidak setuju kalau negara islam tidak dikenal dalam sejarah.Kalau misalkan negara islam tidak dikenal dalam sejarah,maka umat islam yang ada didunia ini tidak merasa bahagia.Apalagi yang namanya sejarah itu kisah masa lampau yang harus diingati secara terus menerus.Kalau misalkan didunia ini negara islam sudah dikenal dalam sejarah,saya yakin negara itu khususnya yang mayoritasnya islam,maka negara tersebut dalam melaksanakan hukum negaranya berdasarkan aturan islam.Apalagi pada zaman sekarang ini banyak yang namanya pencuri ada juga yang korupsi.Dengan berjalannya hukum islam saya yakin pasti tidak ada orang yang berani korupsi atau mencuri,dikarenakan syariat islamnya ditegakan.Maka dari itu perlu negara islam itu dikenal dalam sejarah supaya orang-orang bisa memahami bagaimana"sih"negara islam yang sebenarnya.Kemudian dia berargumentasi bahwa Al-Qur'an dan Sunnah tidak pernah menyebut"Dirikanlah Negara Islam!".Menurut saya walaupun Al-Qur'an dan sunnah tidak pernah menyebut dirikanlah negara islam tetapi "kan"Al-Qur'an dan Sunnah itu mengajarkan kepada kita untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan.Kalau misalkan umat islam sudah bisa terus meninggalkan larangan yang susah dihindari,maka negara yang ada didunia ini khususnya negara yang mayoritasnya islam,Insya Allah negara islam akan berdiri tegak termasuk syariatnya.Jadi kita jangan mempunyai pikiran bahwa Al-Qur'an dan Sunnah itu tidak pernah menyebut"dirikanlah negara islam".

Farida Nuraini mengatakan...

Catatan Tentang: ISLAM DAN TANTANGAN GLOBALISASI

Ada beberapa Catatan terhadap Paradigma Konservatif,Liberal, maupun Al ternatif.

1. Paradigma Konservatif
Paradigma konservatif memposisikan Islam sebagai agama yang memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam. Padahal, Islam telah lama bersentuhan dengan wacana keilmuan hal ini terbukti dalam kitab umat Islam (Al Quran) banyak terdapat ayat-ayat yang membahas tentang keilmuan. Misalnya tentang tiga tahapan Bayi di dalam Rahim

Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?(Q.S Az-zumar:6)
Sebagaimana akan dipahami, ditunjukkan di ayat ini bahwa manusia diciptakan di dalam rahim ibu dalam tahapan yang berbeda. Sekarang, pada semua buku teks embriologis yang dipelajari di fakutas kedokteran, matakuliah ini dipelajari sebagai unsur pengetahuan dasar. Misalnya, didalam buku Basic Human Embriology, teks dasar rujukan di dalam bidang embriologi, fakta yang dinyatakan sebagai berikut:”kehidupan di dalam uretus mempunyai tiga tahapan pro- embrio: pertama dua setengah pekan, embrio; sampai akhir pekan kedelapan, dan fetal; dari delapan pekan sampai lahir.
Ini adalah salah satu bukti bahwa Islam telah lama bersentuhan dengan keilmuan bahkan jauh sebelum ilmuwan Barat.

Farida Nuraini mengatakan...

2. Paradigma Liberal
Negara Islam tak pernah dikenal dalam sejarah sebagai pendapat yang keliru. Tidak sedikit negara-negara Islam yang dikenal dalam sejarah seperti halnya negara-negara Barat. Misalnya saja: Negara Turki.
Al Quran memang tidak pernah menyebutkan ”Dirikanlah Negara Islam” tetapi Al Quran memberikan rambu-rambu suatu negara yang dijalankan sejalan kaidah yang digariskan di dalam ALQUR’AN. Misal bermusyawarah, keadilan, keseimbangan dan lain-lain.. Ini sama dengan asas yang negara kita yaitu asas demokrasi. Namun, penerapan demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya menjadikan Al qur’an sebagai sumber sikap, perilaku dalam menjalankan negara. Misalnya masih dipisahkannya lembaga pengadilan agama dan umum bahkan ada pengadilan militer. Sebenarnya cukup satu lembaga pengadilan saja, asalkan aturan-aturannya disesuaikan dengan ALQUR’AN Meskipun Indonesia terdiri dari berbagai agama, namun ALQUR’AN pada hakekatnya untuk semua manusia. Di Jaman Rasul. Di bawah kepemimpinannya juga mengatur warga non muslim dan bisa berjalan dengan baik.

3. Paradigma Alternatif
Paradigma alternatif harus memberikan gambaran secara jelas dan tegas agar mampu memperlihatkan atas kedekatan dengan kebenaran ALQUR’AN sesungguhnya. Pemahaman ke-2 paradigma di atas sebenarnya menunjukkan bahwa pemahaman dari masing-masing terhadap ALQUR’AN belum Intergratif. Pemahaman secara terpisah antara keagamaan dan kenegaraan akan menimbulkan jurang pemisah yang lebar. Kondisi saat ini masih terjadi di Indonesia. Penguasa ketika akan membuat UU, belum ada yang merujuk ke ALQUR’AN. Sebagai contoh ditolaknya UU Pornografi, UU merokok di muka umum dan lain-lain. Paradigma Alternatif harus mampu menanamkan kepada semua orang bahwa bernegara adalah bagian dari beragama, berpolitik, berekonomi, bermasyarakat (sosial), mendidik dan sebaginya adalah bagian dari keberagamaan. Kalau hal ini sudah menajdi paradigma semua orang Indonesia, tentu negara ini akan sejalan dengan Islam. Bukankah Islam adalah penyempurna dari agama-agama sebelumnya. Dengan merujuk ke ALQUR’AN berarti merujuk pada sumber yang paling lengkap. Masalahnya adalah umat Islam belum mampu menggali pesan-pesan ALQUR’AN kedalam keseluruhan kehidupan. Terjadinya perbedaan persepsi bisa diakibatkan perbedaan kemampuan, niat, wawasan, dan landasan.
Dalam menghadapi globalisasi maka Islamlah satu-satunya yang mampu memberikan solusi. Apabila semua ummat Islam mengkaji ALQUR’AN sesuai kapasitas keilmuannya dengan niat karena Allah, Insya Allah akan terjadi titik tema. Tidak terjadinya titik temu karena niatnya yang tidak satu yakni Allah, tetapi banyak niat..

masih saja enda mengatakan...

apa yang telah bapak kemukakan diatas sangatlah obyektif,hanya saja kurang ditambahkan dengan solusi atau way out agar setidaknya bisa dijadikan pegangan.mengacu pada sebuah statment"apa yang kita lihat,baca,dengar,dan tonton secara berulang-ulang,secara sadar atau tidak kita telah mentransfer dan memberikan informasi kepada otak untuk bersikap seperti apa yang telah kita saksikan dan perdengarkan yang kemudian berubah menjadi paradigma kita".karena saat ini dunia seperti sedang dicekoki oleh berbagai anekdot-anekdot kafir dengan berbagai medianya pula yang kian canggih,ummat manusia seakan terhipnotis dan menjadi satu mimpi tuk bisa menjadi sama seperti yang dia saksikan dan perdengarkan.khusus untuk ummat Islam sendiri saat ini sedang mengalami krisis tauladan terbukti dari cara mereka bertingkah laku dan menyimpulkan sangat bernuanasa kebarat-baratan,bahkan tujuan ummat Islam telah jauh dari apa yang telah Allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ummatnya.ironis memang,kehancuran ummat Islam sebagian besar terjadi karena ummat Islam sendiri.contoh kecil yang berdampak besar adalah dengan cara menghapuskan suatu pandangan hidup dan dan jalan yang telah para salafushaleh lalui dan tinggalkan untuk ummat ini,bagaimana mungkin kalimat takbir "Allahu akbar",bisa membuat kocar-kacir para penjajah dari NKRI ini tanpa ada suatu upaya yang ditempuh oleh para pejuang,satu upaya yang kini hampir telah dilupakan ummat ini atau bahkan tak menyetujui upaya itu,upaya itu adalah dengan cara melakukan perjalanan ruhani menuju Allah,dengan menjadi insan yang bertaqwa sempurna.sebagian besar negara-negara maju dan berkembang telah memiliki rumah sakit-rumah sakit,yang mengurusi hampir semua masalah jasad,tapi adakah satu rumah sakit yang mengurusi qalbu?yang semuanya berawal darinya,di kitab maemuniyyah,Ajjurumiyyah versi Tasawuf menyebutkan bahwa qalbu adalah tempat Sang Raab melihat hambanya,bahkan menurut sebagaian ulama berpendapat bahwa sebagian besar dari kita terlalu meyakini bahwa doa adalah alat kita berkomunikasi dengan Sang Tuhan,namun sesungguhnya tak demikian karena qalbulah yang menjadi alat komunikasi manusia dengan Tuhannya.kesimpulannya selama kita masih mau mengurusi qalbu kita dengan suatu cara atau metode yang dalam bahasa arab lebih dikenal dengan nama thoriqat insyaallah seberapa banyak apapun paradigma yang bermunculan takkan pernah buyarkan pikiran kita,takkan pernah gelapkan jalan kita dalam perjalanan ruhany menuju Allah...

cha mengatakan...

Saya cukup tertarik membaca tulisan anda. Memang, globalisasi dewasa ini semakin menghawatirkan karena akan menimbulkan banyak pihak yang tergilas "kemajuan". Sebetulnya tidak perlu ada perbedaan paradigma antar umat Islam sendiri andai saja semua memahami Islam secara utuh. Karena Islam tidak hanya agama dogmatis, tetapi juga menuntun manusia secara utuh dalam seluruh aspek kehidupannya agar tercipta "baldatun thayyibatun wa Robbun Ghofur". Jika saja semua umat Islam menyadari dan mengaplikasikan ajaran Islam secara benar, tentu takkan ada pertentangan paradigma maupun ketakutan-ketakutan dalam menghadapi tantangan sebesar apapun, seperti globalisasi misalnya.

athieblogg mengatakan...

Apa yang diutarakan dari islam dan tantangan globalisasi itu cukup mengesankan sehingga kita tau akan dampak positif dan negative dari fenomena globalisasi yang semakin berkembang secara pesat.
Telah terbukti bahwa sains dan teknologi mampu memberikan banyak menfaat bagi kehidupan manusia dalam menjalankan hidupnya sehari-hari. Berbagai kemudahan hidup telah diberikan sains dan teknologi. Salah satu ilustrasi digambarkan dalam perkembangan alat angkutan, mulai dari menyeret beban oleh manusia langsung kemudian memanfaatkan alas pengelinding sehingga beban mudah meluncur atau memanfaatkan aliran sungai, meningkat dengan pembuatan roda dan berkembang menggunakan roda kayuh seperti sepeda, hingga menggunakan mesin yang kemudian modifikasi terhadap mesin terus dilakukan untuk mendapat kemampuan dalam kecepatan dan tingkat kehematannya, sehingga akhirnya hari ini kita dapatkan kendaraan bermotor di darat dan pesawat terbang yang dapat melintasi benua dalam beberapa saat bahkan manusia dapat melakukan penerbangan luar angkasa.
Dengan berjalannya waktu dan bertambahnya budaya-budaya dari luar yang masuk kepada kebudayaan kita hal ini sangat berpengaruh pada diri kita, di era globalisasi yang semakin modern ini menjadikan kita semakin berkembang terutama dari hal pola piker seseorang yang mungkin terjadi suatu perkembangan yang begitu pesat sehingga kita tidak seperti orang yang primitive, dengan adanya teknologi yang modern maka segala sesuatu yang kita butuhkan menjadi suatu yang instan yang tidak membutuhkan proses yang lama.
Akan tetapi fenomena globalisasi ini menjadi kita tidak berusaha sepenuhnya, sehingga disisi lain meskipun segala sesuatu itu instan kita tidak tau prosesenya seperti apa? . Disisi lain dari kemajuan sain dan teknologi tersebut, manusia tidak luput dari dampak negative. Semakin banyak pengetahuan sains, semakin banyak teknologi yang mutakir dibuat, dan semakin banyak dampak negative teknologi ditemukan, bahkan tidak hanya itu, dengan pesatnya perkembangan sains dan teknologi . dampak negative sains perlu diwaspadai, mulai dari pengaruh yang mungkin ditimbulkanoleh dasar filosofi, metoda kerja sampai produk sains dalam bentuk informasi saintifik.
Kita sebagai umat islam boleh saja mengikuti era globalisasi dan budaya-budaya yang mungkin masuk pada kebudayaan kita yang menjadikan budaya ini tidak alami seperti halnya dahulu kala. Seperti halnya Allah. SWT berfirman dalam Al-Quran ( Q.S : 7: 10 ) yang artinya “ Sesungguhnya telah kami tempatkan kamu sekalian dimuka bumi itu ( sumber ) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur “. Dan ( QS: 26: 7 ) yang artinga “ dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapa banyak kami tumbuhkan di bumi itu berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik ? “ .
kita tidak boleh mengikuti hal-hal yang menjadikan baik prilaku maupun sikap yang negative karena dampak dari pada fenomena globalisasi itu sendiri. Disisi lain kita sebagai umat islam yang tau akan aturan dalam Al-quran tentang hidup dimuka bumi ini maka kita harus senantiasa menjaga diri kita supaya kita tidak terkominasi oleh budaya-budaya dari luar yang meruksak iman kita.

Unknown mengatakan...

Globalisasi merupakan pendobrakan system kehidupan manusia sesuai dengan perjalanan kehidupan. Globalisasi dikenal saat ditemukan banyaknya pembaruan dalam tatanan kehidupan.Pembaruan ini disebabkan oleh modernisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Dan pengaruhnya dalam kehidupan dan tatanan umat islam memunculkan macam-macam paradigma Islam.
Komentar saya dalam paradigma konserfatif mereka cenderung menutup diri dari hal-hal yang baru. Padahal tidak semua keilmuan khususnya islam ditemukan pada saat Rasulullah. Perbedaan yang sangat jauh apabila kita mengkondisikan kehidupan masa Rasulullah dengan masa sekarang. Seharusnya, mereka tidak terlalu menutup dan menganggap bahwa segala sesuatu yangtidak ada pada masa Rasulullah dan ada pada masa sekarang adalah bid’ah.
ItU adalah sesuatu pemikiran yang salah dan sempit.Seharusnya mereka membuka diri terhadap ilmu-ilmu yang muncul dengan mengkondisikan waktu dan keadaan.Lalu apakah dengan memeluk agama islam kita terus patuh terhadap contoh orang-orang terdahulu tanpa harus berbaur dengan kemajuan zaman? Apakah di rumah kita tidak boleh ada televise, kulkas, mesin cuci, bahkan radio pun dianggap bid’ah hanya karena tidak ada pada masa Rasulullah.Dari situlah sayamenyimpulkan bahwa orang-orang konserfatif berpikiran sempit.

Yang kita harus lakukan adalah sebaliknya kita harus bisa memajukan islam, jangan sampai orang-orang non-islam memojokkan kita dan menganggap islam adalah agama yang kuno, agama yang ketinggalan zaman.
Kebalikannya untuk paradigm Liberal,menurut saya pandangan mereka terhadap globalisasi terlalu berlebihan sehingga mereka menganggap bahwa Islam memerlukan perombakkan besar-bsaran. Akibatnyasyari’at islam pun berani mereka acuhkan demi memperlihatkan bahwa mereka bisa maju mengikuti arus zaman. Namun kenyataannya mereka malah meninggalkan syari’ah islam itu sendiri, .
Adapun untuk paradigm alternative, mungkin memang ada baiknya juga dengan munculnyaparadigma alternative yang merupakan jalan penengah terhadap paradigm Konserfatif dan liberalis. Namun, kelemahannya paradigm alternative banyak bersumber terhadap pengaktualisasian ide (rasional). Lalu bila ide yangdipergunakan, bagaimana dengan syari’ah islam yang sebenarnya ?

Kesimpulannya kita sebagai generasi muda islam harus mampu mengaktualisasikan Syari’at islam dalam kehidupan modern ini (Globalisasi). Kita tidak perlu merombak sepenuhnya ajaran islam, namun kita perlu menghiasnya dengan ragam kehidupan kita saat ini. Namun tetap tidak merubah ajara Syari’at islam itu sendiri.

Tini Rostini mengatakan...

Menurut komentar saya, memang globalisasi itu sangat mempengaruhi manusia baik dalam pola pikir, kehidupan sehari-hari apalagi pada zaman sekarang ini hampir semuanya terpengaruhi oleh berkembangnya teknologi, komunikasi dan transportasi. Kita seakan-akan ketinggalan jauh oleh orang non Islam yang sudah berkembang pesat. Padahal Islam sudah terlebih dahulu menjelaskan dalam kitab Al Quran dan hadits. Dan pada zaman Rasul banyak sekali ahli-ahli ilmu diantaranya pada zaman khulafaurasyidin dan dilanjutkan oleh para tabiin. Karena kelicikan orang-orang Yahudi mereka menghancurkan baik dari dalam maupun dari luar. Sehingga Islam menjadi ketinggalan. Pada zaman sekarang, teknologi memang sangat dibutuhkan tapi jangan sampai akhlak dan ketauhidan kita kepada Allah dikesampingkan, Al Quran dan Hadits harus lebih diutamakan karena banyak sekali orang yang pintar dan tekhnologinya canggih hancur karena melupakan ajaran Islam. Jadi, menurut pendapat saya antara dunia dan akhirat harus sejalan.

Nie mengatakan...

Globalisasi, orang menyambutnya dengan gemuruh keceriaan, harapan tentang terangnya masa depan. Namun disisi lain memunculkan perdebatan bahkan pesimisme tentang kemuraman masa depan manusia.
Dilihat dari segi positifnya memang dengan kemajuan teknologi seperti sekarang ini akan memudahkan berbagai kebutuhan manusia. Tapi akibat dari globalisasi ini juga banyak yang kehilangan dimensi fitrah kemanusiaan manusia. Manusia yang setiap hari dera homogenisasi dan cara pikir rasionalisme semakin lama semakin asing dengan pendiriannya. Agama dan budaya yang sebelumnya menguatkan dirinya tinggal tersisa bias-bias formalnya saja. Symbol-simbol agama tampil luar biasa di ruang publik.
Salah satu sindiran terhadap prilaku yang sekarang menjadi trend prilaku keagamaan adalah tingkat kekhusyuan dan prilaku kesholehan, salahsatunya akan terasa bermakna apabila disorot oleh layer televisi.
Tapi dengan globalisasi ini kita ambil hikmahnya, semoga dengan kemajuan teknologi ini kita senantiasa melakukan kajian mendalam guna mencari solusi dan jawaban terhadap berbagai persoalan yang dihadapi tetapi dengan tidak mengenyampingkan ajaran Islam. Karena Islam tidak memandang seseorang lebih utama daripada yang lain kecuali atas dasar taqwanya kepada Allah SWT.

Hermacute mengatakan...

Jika dilihat dan dibaca apa yang telah terjadi di zaman globalisasi tidak dapat dipungkiri bahwa begitu pesat kemajuan-kemajuan baik itu dibidang teknologi,transpormasi maupun dibidang informasi.Namun dengan adanya kemajan-kemajuan dibidang tersebut tanpa disadari telah memberikan pengaruh yang luas baik itu yang bersifat positif maupun negatif.Contoh pengaruh positifnya:dapat memudahkan kita dalam berkomunikasi,segala sesuatu yang terjadi bisa diketahui dan tempat tertentu bisa dicapai dalam waktu yang amat singkat,dan lain-lain.Sedangkan contoh pengaruh negatifnya:persoalan-persoalan yang terjadi disuatu negara yang semula disembunyikan atau ditutup-tutupi menjadi transparan dan dapat diketahui secara detail,begitu pula persoalan-persoalan pribadi seseorang yang dipublikasikan melalui media masa,dan lain-lain.
Jadi pada intinya globalisasi tersebut memang sangat berpengaruh besar terhadap beberapa agama terutama agama islam.Namun meskipun demikian agama islam tentunya jangan mudah terpengaruh oleh arus globalisasi yang bersifat negatif.Jalan yang terbaik bagi kita sebagai umat islam hendaklah kita kembalikan segala sesuatu yang telah terjadi di zaman sekarang ini kepada Al-quran dan Hadis yang merupakan pedoman atau petunjuk bagi kita dalam mencapai kebahagiaan yang hakiki yakni kebahagiaa dunia dan akhirat.

Enaysumi mengatakan...

Setelah saya membaca tulisan yang berjudul “ISLAM DAN TANTANGAN GLOBALISASI” di zaman yang serba modern ini perkembangan teknologi semakin pesat, dan dapat berpengaruh bagi kehidupan manusia , baik pengaruh positif maupun negatif. Pengaruh positif dapat memudahkan kebutuhan manusia yang serba instan dalam pencapaiannya misalnya jarak yang sedemikian jauh dapat di tempuh dengan waktu yang singkat, sedangkan pengaruh negatifnya menjadikan manusia malas, karena dengan adanya fasilitas yang serba memadai. Tetapi meskipun dengan berkembangnya teknologi itu agama tetap harus mempunyai pengaruh besar baik dalam setiap diri pribadi maupun seluruh umat manusia. Maka perkembangan teknologi tersebut harus dapat disesuaikan dengan agama islam, agar kehidupan dapat terarah dan tidak terbawa pengaruh negative dari perkembangan teknologi tersebut

jujunjunaedi mengatakan...

Makalah yang berjudul "ISLAM DAN TANTANGAN GLOBALISASI : Berbagai Paradigma Islam dalam Menghadapi Globalisasi" menerangkan secara aktual namun kurang mengenai pada pembahasannya, sehingga kurang memenuhi komponen pemikiran ( paradigma) konservatif,liberal,dan alternatif karenan pada intinya paradigma Islam adalah melakukan perubahan secara aktual namun tidak menghilangkan paradigma lama.Pembahasannya kurang lengkap dan adanya kesenjangan antara pendahuluan dan pembahasan. Sebenarnya islam mempunyai peran yang penting dalam Globalisasi, namun dengan adanya fakta sejarah yang ditampilkan di lapangan itu adalah sebuah bukti bahwa Islam itu berkembang secara pesat baik dalam dunia IPTEK maupun yang lainya.

Teti mengatakan...

setelah saya membaca ,menyimak, dan memahami makalah yang berjudul islam dan tantangan globalisasi :berbagai paradigma islam dalam menghadapi globalisasi.menurut saya fenomena globalisasi pada jaman sekarang ini sangat berkembang pesat sehingga berpengaruh terhadap kebudayaan islam terutama dalam hal pola fikir manusia dalam hal sains dan teknologi sehingga menghaslkan alat- alat yang serba canggih dan instan yang tidak membutuhkan proses yang lama .demikian juga dengan sikap yang terkontaminasi pada akhlak seseorang yang menjadikan pola fikir manusia tersebut berkembang sehingga tidak menjadikan kita sebagai manusia yang primitive.
Era globalisasi yang berkembang begitu pesat nya sangat berpengaruh sekali terhadap tatanan kehidupan, terutama bagi umat islam. Dilihat dari segi positifnya bahwa dengan adanya teknologi yang semakin canggih memudahkan kita untuk berkomunikasi baik audio maupun visual disisi lain fenomena globalisasi ini mempunyai hal yang negative yang membuat kebudayaan islam khususnya tidak lagi alami karena telah tercampuri oleh budaya –budaya dari luar yang menyebabkan rusaknya akhlak umat islam, sehingga mereka jauh dari aturan agama yang sebagaimana telah tercantum dalam al-quran .Selain itu teknologi yang canggih menyebabkan rusaknya alam sekitar kita .
Kita sebagai umat islam harus bisa mengikuti sesuai dengan zaman akan tetapi kita jangan sampai meninggalkan aturan yang ada dalam Al-quran dan selalu mendekatkan diri pada Allah SWT.

saroh nurmuawanah mengatakan...

Melihat dari judul pokok atau utamanya bukan merupakan sesuatu yang lagi buming saat ini. Tapi, setelah saya membaca dari keseluruhan isi tulisannya cukup menarik. Dan, memang di jaman globalisasi sekarang ini orang / manusia sudah tidak lagi memposisika Agama atau mementingkan urusan Agama sebagai hal yang paling utama.
Dilihat dari paradigma Islam yaitu, paradigma Konservatif, liberal, dan paradigma alternatif, pada umumnya Agama Islam telah bersiap untuk menghadapi berbagai tantangan dalam pengaruh globalisasi. Akan tetapi, dalam fakta / aktualnya untuk merealisasikan hal tersebut bukanlah hal mudah, contohnya bisa dirasakan oleh kita saat ini. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap masalah agama, hinggga saat ini banyak ditemukannya aliran-aliran sesat, mengakui dirinya sebagai Nabi, dan lain sebagainya.
Dilihat dari segi isi secara umum, bacaan yang disajikan cukup menarik, dan lengkap dari segi penyajiannya. Melihat isi tulisan secara keseluruhan, masih banyak tulisan-tulisan yang kurang tepat, disebabkan tidak diedit / dilakukan cek ulang (pemeriksaan) pada hasil dari tulisan tersebut.
Apabila dilihat dari Karateristik Karangan Ilmiah Populer (Harry Firman), isi tulisan tersebut sudah memenuhi salah satu poin dari karateristik karangan ilmiah populer. Diantaranya, Contoh pada tulisan yang menggunakan kalimat yang lebih kompleks dan relatif panjang serta penuh dengan istilah teknis. Misalnya pada kalimat “ Paradigma yang cenderung bersifat konservatif, yang memposisikan Islam sebagai agama yang memiliki dokrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam”.
Yang lebih menarik dari tulisan tersebut, selain mengenyajikan ceritanya yang menarik, tapi juga memberi penjelasan atau kejelasan dari uraian-uraian kalimat yang banyak menggunakan kata-kata teknis.
Gaya penulisannya kreatif dan mampu mencuri perhatian pembaca, serta dapat mendorong pembaca untuk membaca bagian-bagian berikutnya. Tiap pargrafnya terstruktur, dimulai dengan kalimat topik dan diikuti oleh informasi yang berhubungan dengan topik dalam kalimat topik.
Dalam sistematika penulisannya, tulisan tersebut logis dalam memaparkan atau menyampaikan isi dari materinya.
Menurut saya sekalipun penulis makalah / artikel atau pun bentuk tulisan lain adalah seorang iptekwan, tetapi alangkah baiknya jika dapat menghindari penggunaan terlalu banyak istilah-istilah teknis. Alasannya, tidak semua pembaca mempunyai tingkat pendidikan seperti penulis, hingga menyulitkan pembaca untuk dapat mengerti dan memahami isi dari artikek / tulisan tersebut dengan cepat.

Anonim mengatakan...

dalam menyikapi atau menghadapi era globalisasi yang di tandai dengan kemajuan ilmu teknologi (IPTEK), komunikasi, transportasi yang begitu pesatnya seolah-olah nilai dasar manusia yang di anutsaat ini tidak mampu merespon atau mengapresiasikan kemajuan tersebut apakah kita menolak atau mengiyakan globalisasi tersebut.
kalau mengiyakan artinya nila-nilai dasar sudah tidak mendasar lagi. sebab manusia sudah dapat direkayasa sedemikian rupa sesuai kehendak dan pesanan manusia itu sendiri.
kalau menolak, artinya kita hidup tidak berpijak pada realitas dan mengingkari hasil karya atau budaya manusia itu sendiri.
solusi yang baik dan esensial selain bersandar diri pada firman dan wahyu Allah (Al-Quran) juga memberikan otoriras penuh pada akal yang dimiliki manusia itu sendiri. untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. akal berfungsi sebagai (untuk) pembeda

Achmad reza pahlevi mengatakan...

Komentar Reza semester 3A

Setuju dengan tulisan Bapak, karena dijaman globalisasi ini kita harus mengetahui paradigma-paradigma Islam sehingga umat Islam zaman sekarang tidak tertinggal dengan keadaan dan kembali kepada Al qur’an, Hadits, dan Ijma’ para Ulama, karena dengan agama hidup menjadi lebih terarah.

Mabrur ibnu Sufyan mengatakan...

Mabrur Nur Hakim_3-B_komentar

Mengomentari tulisan diatas, saya berpendapat bahwakelompok yang berparadigma konservatif itu tidak menutup adanya pemikiran baru dalam suatu kajian permasalahan. Namun, dalam faktanya bahwa metode untuk berijtihad tersebut telah berjalan sangat baik dengan menggunakan metode-metode ulama konservatif. Karena dalam menyelesaikan persoalan social dengan cara agama (baca; islam) harus dilakukan pula oleh kelompok yang menguasai dan memahami nilai-nilai keagamaan tersebut. Dibandingkan dengan orang-orang terdahulu sebelum kita, mereka memiliki nilai keislaman yang kokoh. Coba kita bandingkan dengan umat Islam saat ini? Apakah kita temukan adanya solidaritas antar umat beragama Islam tatkala saudaranya didiskriminasi oleh kelompok yang tak manusiawi? Maka dari itu pemikiran para ‘Ulama konservatif lebih baik jika dibandingkan dengan ulama modernis saat ini. Untuk masalah-masalah yang bersifat baru dapat dilakukan cara Qiyas dan apabila belum juga mendapatkan final permasalahan, maka dilakukanlah ijma’ para ‘Ulama. Itu bukan suatu metode penyelesaian masalah yang ringkas ataupun tidak berbobot, melainkan ada beberapa statemen penyelesaian yangperlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat bagi umat.

Typical umat saat ini sulit untuk menggunakan pemahaman moderat tapi menurut kami cara yang akan lebih baik adalah dengan mengenalkan kemajuan ilmu pangetahuan dan teknologi yang sedang berkembang pesat saat ini dengan menjelaskan manfaat kegunaan ilmu sains tersebut untuk kemajuan umat Islam kepada kelompok konservatif (baca;pesantren). Yang kami ketahui mengenai tanggapan kelompok konservatif adalah bukannya mereka tak menginginkan merasakan kegunaan kemajuan dalam bidang sains, namun sarana dan prasarana serta pengenalan hasil ilmu sains tersebut kurang didapatkan.

Kita sebut saja Pesantren Modern yang berada dalam naungan sebuah Yayasan yang notabenenya memiliki perlindungan hukum dari pemerintah. Tapi yang dikhawatirkan oleh kalangan konservatif (baca;pesantren tradisionil) adalah penekanan pola pembelajaran Barat yang perlahan-perlahan mengurangi jam pembelajaran bidang ilmu keagamaan dan menambah jam pelajaran untuk ilmu-ilmu umum lainnya. Dari segi budaya pun lambat laun sudah hilang dari permukaan, mungkin kita telah menyaksikan adanya Parade Band disebuah lembaga yang beratas namakan Islam. Kemudian dari cara berpakaian dan berperilaku pun lambat laun budaya Barat telah mengikis kultur Islam yang sesuai dengan ajaran Islam.
Secara ringkasnya, pesantren-pesantren tradisionil tersebut tak ingin adanya bentuk pengekangan dari pihak pemerintah yang terintimidasi oleh kepentingan orang-orang Barat untuk merusak Islam secara perlahan. Apakah Islam harus diatur oleh sebuah tatanan Negara? Bukankah dengan itu semua Islam semakin berkurang posisinya dimata umat Islam sebagai agama yang didalamnya mengatur seluruh aspek kehidupan manusia?

Saya sendiri yag sekarang berdomisili di sebuah pesantren tradisionil mendapatkan pengajaran dari guru saya bahwa “tujuan adanya pesantren salafy adalah untuk menjaga tradisi para Ulama terdahulu danmengambil sesuatu hal yang baru yang lebih bermaslahat” dari pernyataan tersebut saya berpendapat bahwa golongan yang sangat fanatisme terhadap perkembangan zaman adalah golongan yang tidak mencermati teori ushul fiqih tersebut yang keluar dari ulama terdahulu.
Jika kita pernah mendengar Pondok Pesantren Manonjaya di daerah Kabupaten Tasikmalaya, kita akan menemukan kurikulum sebuah pesantren yang telah kompleks dan sistematis tanpa mengacuhkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Itu dikarenakan telah diadakannya pengenalan manfaat dari menggunakan ilmu pengetahuan yang bersifat umum untuk kemaslahatan umat Islam. Sehingga terciptanya Pesantren dengan basic “Salafy Technology”.

Semoga saja polemic umat islam tidak terus berlanjut dan menimbulkan perselisihan bahkan peperangan. Na’udzubillahi min dzaalik.

Wallahu a’lam bil shawab.

Anonim mengatakan...

islam tidak pernah membatasi atau menutup berbagai macam ilmu atau lebih jelasnya dengan lahirnya era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan dibidang teknologi komunikasi,transpormasi dan informasi yang sedemikian cepat, selama ilmu atau globalisasi ini membawa kemanfaatan di berbagai bidang dan tidak keluar dari nilai-nilai ajaran Islam. Tapi realita berbicara lain fenomena globalisasi terhadap nilai-nilai Islam di lapangan banyak menimbulkan permasalahan sehingga melibatkan kalangan pemikir dan aktivis agama untuk terjun langsung menangani kompleksitas permasalahan yang terjadi pada saat ini.salah satu cara yang dilakukan oleh kalangan elit tersebut yaitu memberikan arahan dengan cara menjelaskan dampak positif dan negatif dari fenomena globalisasi tersebut serta penanaman nilai-nilai Islam yang menjadi dasar dari berbagai segi kehidupan.jadi kalau nilai-nilai Islam sudah tertanam dalam jiwa seseorang maka dia akan mudah menghadapi kehidupan era globalisasi tanpa mudah terpengaruh oleh penyelewengan yang diakibatkan kemajuan globalisasi.

Yuni Sri Wahyuni mengatakan...

Menurut saya....
Fenomena globalisasi atau adanya perubahan disegala bidang ini menuntut semua manusia untuk menyesuaikan dan mengikuti tren masa kini. Banyak dampak atau akibat yang dapat ditimbulkannya. Akibat tersebut bisa positif dan negatif. Hal tersebut bisa terjadi itu bagaimana orang yang menjalankannya. Dampak positif dari globalisasi adalah adanya kemajuan dibidang iptek yang sangat menonjol. Khususnya dibidang teknologi, manusia seakan-akan dimanjakan oleh alat-alat super canggih. Contohnya teknologi komunikasi, kita bisa berbicara tanpa harus bertemu dengan orangnya langsung.seakan-akan orang itu hadir dan berbicara langsung di hadapan kita. selain itu, kebudayaan pun ikut terpengaruhi oleh kemajuan zaman ini. kebudayaan berpakaian sangat tern mengikuti adat atau kebiasaan orang barat. Kebudayaan Indonesia sedikit demi sedikit luntur oleh keganasan globalisasi. Sebagai generasi muda atau seorang Mahasiswa, kita sepatutnya menjaga dan mengembangkan kembali kebudayaan yang akan lenyap dan tenggelam, terlena dan terhanyutkan oleh globalisasi. Proses globalisasi memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan nilai-nilai agama. Agama memainkan peran penting yang cukup berpengaruh di dalam proses globalisasi. Maka, kita perlu memahami sejauh mana posisi agama di dalam merespon berbagai persoalan kemasyarakatan. Agama di turunkan guna memberikan aturan-aturan hidup yang akan membawa kebahagiaan bagi kehidupan manusia. Agama juga dipandang sebagai instrumen untuk memahami dunia. Sejalan dengan perubahan globalisasi Islam mempunyai paradigma yang berkembang di kalangan umat Islam. Islam itu memang sebagai agama yang serba lengkap. sehingga apabila Islam diposisikan dalam menghadapi permasalahan mengenai negara, maka akan adanya jalan keluar yang sesuai dengan ketatanegaran Islam. Karena Islam adalah agama yang membawa kebenaran dan keselamatan bagi umatnya. Jadi negara dan agama itu tidak dapat dipisahkan. Karena tanpa aturan agama akan kacau. Kita memang harus mengikuti perkembangan zaman, tapi tidak mengurangi keimanan kita kepada Allah SWT. Agama merupakan sejumlah ajaran moral dan etika sosial, serta fungsinya mengontrol negara. sehingga agama sangat penting buat negara. Globalisasi ini memamg sangat penting dan berguna bagi kehidupan manusia yang saat ini dituntut untuk serba praktis. sehingga menudahkan manusia dalam segala urusannya di dunia. Apabila kita tidak mau mengikuti perkembangan zaman, maka yang ada adalah keterpurukan karena ketinggalan zaman. Paradigma alternatif memang yang paling cocok untuk perkembangan zaman sekarang ini.Karena sebagai paradigma yang mengampanyekan dimensi kelenturan, kesantunan, dan keadaban Islam.

Yuni Sri Wahyuni mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

syuhada almahalli berkata...

Menurut saya, di dalam mengembangkan kebudayaan dan peradaban di dasari sikap yang seimbang dan menjaga kesinambungan antara yang sudah ada dan mengambil hal yang baru. budaya lama yang masih relavan terus di jaga dan dilestarikan sementara budaya baru di terima setelah melakukan penyaringan dan penyesuaian. terhadap peradaban dan kebudayaan modern yang datang dari barat pada dasarnya memandang sebagai hasil inovasi dan kreatifitas manusia atas dasar rasionalisme dalam menjawab tantangan yang di hadapi dalam bentuk nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi. semua yang ada dalam peradaban modern kebudayaan berupa etos kerja, kedisiplinan, oreantasi ke depan, dorongan penggunaan rasio dan kreatipitas serta penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih merupakan warisan kemanusian yang membawa manfaat untuk kesejahteraan hidup manusia. peradaban dan kebudayaan modern dapat dimanfaatkan sepanjang tidak memgakibatkan bahaya dan tidak bertentangan dengan sendi-sendi dasar akidah dan syriat islam.
komentar saya tentang pemerintahan demokrasi. pemerintahan dalam suatu negara merupakan sunatullah yang mesti terwujud secara syar'i maupun aqli untuk menjaga kedaulatan mengatur tata kehidupan, melindungi hak-hak setiap warga negaranya dan mewujudkan kemaslahatan bersama. kebijakan yang di buat oleh pemerintah sebagai pengemban mandat amanah dari rakyat harus selalu berorientasi pada kepentingan bersama.
kekuasaan dan kewenangan pemerintah selain mengandung amanah ketuhanan yang kelak akan di mintai pertanggung-jawaban di sisi allah SWT. sehingga apapun bentuknya dan bagaimanapun keadaannya harus di dasari oleh rasa tanggungjawab ketuhanan dan di laksanakan sesuai dengan tuntunan moral ke agamaan. paradigma yang di bangun dalam sistem peradaban dan kebudayaan adalah tegaknya moralitas ke agaman dan harkat ke manusiaan juga tegaknya hak-hak asasi manusia demi terwujudnya kemaslahatan di muka bumi.

Anonim mengatakan...

Fenomena globalisasi sudah tidak bisa dihindari lagi, siap atau tidak siap, kita harus menghadapinya. kekhawatiran tidak hanya datang dari sisi perekonomian saja namun juga pengaruh budaya asing yang muncul sebagai akibat dari era globalisasi. jika manusia tidak membekali dirinya dengan keimanan yang kuat, dia akan terjerumus ke dalam jurang krisis moral dan spiritual.
Sebagai umat Islam kita tidak perlu bersikap bermusuhan dengan fenomena globalisasi yang ditandai kemajuan IPTEK, sebab Islam tidak pernah melarang atau mengharamkan umatnya untuk mengikuti arus globalisasi bahkan Islam mewajibkan umatnya untuk terus menggali IPTEK demi perbaikan ibadah dan kesejahteraan hidupnya. Dan IPTEK pada hakikatnya adalah laksana senjata yang sangat ampuh. Adapun kemanfaatan/kemadaratannya tergantung kepada pemakainya.

deden tafsiri mengatakan...

koment saya...
globalisasi membawa dampak yang sangat signifikan bagi kehidupan manusia. perkembangan teknologi membuat jarak tempuh yang sedemikian jauh dapat tersa dekat dengan menggunakan teknologi komunikasi. perubahan ini melepas dari perkembangan dinamika global. Seperti, teknologi informasi, komunikasi, dan transfortasi dalam kehidupan sehari-hari. persoalan-persoalan ini semula disembunyikan atau ditutupi yang belum dapat diketahui dan sekarang sudah menjadi transparan dengan menggunakan media masa. faktor penting untuk melihat batas-batas teritorial negara-bangsa. globalisasi ini memiliki pengaruh yang sangat nesar bagi perkembangan nilai-nilai agama yang mendapatkan respon cukup beragam dari kalangan pemikir dan aktivis agama. Di sini agama sebagai sebuah ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. agama mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan sehari-hari. untuk hubungan antara keduanya yang lebih empirik telah berusaha membangun paradigma yang dipandang, ditawarkan. antara lain dipengaruhi oleh asal-usul ataupun partikularitas yang melingkup mengajukan dan memahami posisi agama saat ini yang pada mulanya agama-agama itu muncul dari unsur kebudayaan atas tiga dasar yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. mengalami perubahan di kalangan umatnya yang sejalan pada saat ini. Paradigma ini cenderung bersifat memposisikan Islam sebagai agama yang memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan dengan keilmuan selain Islam. pokok segala kekuasaan diterjemahkan dengan peletakkan unsur mazhab dengan metode baru adalah kesesatan. bentuk pemahaman ini dapat dilihat dalam hubungan agama dengan negara. Sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan segala aspek kehidupan manusia dalam bernegara. hendaknya kita kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam jangan sampai meniru ketatanegaraan barat. Sebaliknya kita harus diteladani sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad dan empat Al-Khulafa Al-Rasyidin. Pemahamn ini kita dapat mengerti sebagai agama yang serba lengkap sehingga tradisi yang lama tidak dapat bersentuhan dengan keilmuan selain Islam.

LIz_LasTRie mengatakan...

LILIS SULASTRI_SEMESTER 3B

artikelnya sangat menarik,tetapi masih banyak kata asing yang belum saya pahami.globalisasi dapat memberikan dampak yang baik dan buruk terhadap kehidupan kita, apabila kita siap dan mampu memanfaatkannya pasti kita akan mendapatkan dampak yang baik bagi kehidupan kita,misalnya terwujudnya kemudahn-kemudahan yang disediakan IPTEK, tetapi apabila sebaliknya akan memberikan ancaman bagi kehidupan kita. Benar Islam bukan hanya agama semata yang hanya berhubungan dengan Tuhan tetapi Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap yang mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara yang bersumber dari Al-Qur'an dan hadist. posisi agama sangat penting dalam menghadapi era globalisasi ini, karena agama adalah sumber motivasi tindakan sekaligus sebagai pembimbing dan pengarah, tetapi persoalan akhirnya tetap kembali kepada manusianya. karena era globalisasi banyak memberikan perubahan dalam pola fikir manusia.menurut saya agar peranan tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya perlu dilakukan usaha-usaha seperti:
1. aktualisasi agama agar kesenjangan antara agama dan masyarakat di satu pihak, dan kesenjangan agama dengan IPTEK di lain pihak bisa ditiadakan
2. memaksimalkan pengkhayatan agama, sehingga agama menjadi agama yang dewasa, dengan menanamkan keimanan yang kuat pada diri manusia.
dan untuk mencapai tujuan tersebut, peran pemuka agama dan pendidik mutlak sangat diperlukan.

Tujuan Pengkajian Karya Ilmiah mengatakan...

saya tertarik sekali apa yang telah saya baca tentang artikel yang berjudul "Islam dan Tantangan Globalisasi Berbagai paradigma Islam dalam Menghadapi Globalisasi"
Memang tidak bisa di pungkiri kalau di zaman era globalisasi ini terjadi banyak sekali perubahan yang signifikan yang terjadi. bisa di lihat dari segi konsumsi, gaya hidup, nilai, identitas, dan kepentingan individu. memang dengan perkembanagn zaman seperti ini banyak memberikan dampak positiv dan negativ. akan tetapi yang saya baca dalam artikel tersebut nampaknya terlalu membahas dampak negativ di era globalisasi ini, padahal harusnya dampak positiv nya juga harus bisa di bahas secara detail, agar balance, jadi tidak ada yang di sudutkan.kemudian saya melihat kalimat yang kurang pas pada lembar ke-4 yang bertuliskan, " Paradigma tersentuh oleh tradisi keilmuan positivisme seperti di pesantren". Kalimat ini seakan-akan menganggap orang yang ada di kalangan pesantren hanya mengetahui hal-hal yang berbau agama saja. Padahal kita ketahui dan sudah terbukti, banyak orang dari kalangan pesantren yang berperan penting di dunia politik dan mengatur ketatanegaraan di Indonesia.
Tulisan ini terlalu banyak istilah-istilah ilmiah atau kata-kata asing yang sulit di mengerti sehingga menyulitkan para pembaca dalam memahami isi dari tulisan ini. Dan seharusnya di samping kata-kata ilmiah yang di gunakan, harus ada pengertian atau arti dari kata ilmiah tersebut.
Islam bukanlah agama yang mengajarkan masalah-masalah yang terjadi di masa Nabi saja, tetapi apa yang terjadi pada saat (masa Nabi), itu merupakan pelajaran bagi umat-umatnya. Kemudian di turunkannya al-Qur'an adalah sebagai mukjizat yang kekal sampai akhir zaman, yang di gunakan sebagai pedoman hidup umat manusia. Karena al-Qur'an telah menerangkan segala kehidupan manusia yang terdahulu dan kehidupan yang akan datang.

Blog Lisna mengatakan...

Menurut saya,terjadinya globalisasi pada masa sekarang ini sangatlah membantu kita dalam menjalani kehidupan ini, namun banyak sekali dampak yang benar-benar harus kita cermati, baik dampak positif maupun negatifnya. kita sebagai umat islam harus bisa mempertahankan keyakinan dan peraturan yang seharusnya, walaupun begitu kita juga tidak boleh menutup diri dari adanya kemajuan globalisasi ini seperti paradigma konserfatif yang menolak adanya sesutu yang baru berbeda dengan yang ada pada jaman Nabi dulu.Dan saya juga tidak setuju pada paradigma liberal yang terlalu terbuka dalam segala hal tanpa menyarinng apa yang diterima, karena dengan begitu lambat laun kemurnian keyakinan kita sdikit demi sedikit akan pudar dan apabila hal seperti itu terus berlanjut manusia di bumi ini akan lupa dan tidak bersyukur trhadap Allah SWT atas semua yang diberikan kepada kita sebagai mahkluknya. Namun demikian kita harus selalu berusaha untuk bisa memajukan agama islam ini dengan mengikuti keadaan yang ada pada jaman sekarang, tentunya dengan melakukannya masih sesuai dengan aturan agama kita.Karena islam itu agama yang indah dan kita sebagai umat Islam harus selalu memperkuatnya dengan menjalankan syariat Islam di tengah-tengah keadaan sekarang ini yang jauh sekali bebeda dengan kaeadaan para jaman Nabi terdahulu..
cukup sekian komentar dari saya.

Icha_Warisa mengatakan...

Memang saat ini sudah masuk kepada zaman modern yang ditandai dengan Era Globalisasi. Dan saya rasa umat Islam sangat tertinggal apabila dibandingkan dengan dunia Barat. Namun yang menjadi permasalahan saat ini adalah apakah umat islam patut meniru gaya kemodernan barat ini. Tapi disatu sisi globalisasi itu sendiri mempunyai dampak tidak baik bagi umat Islam.
Bagaimana cara kita menanggapi permasalahan ini....???
Sebenarnya seluruh manusia tidak dapat lepas dari era globalisasi ini, orang yang tidak mengikuti kehidupannya pasti tertinggal, dikala orang lain sudah menggunakan telpon atau internet, mungkin ia masih menggunakan surat lewat pos.
Saya lebih setuju dengan pendapat yang ketiga, yaitu kita ikuti zaman globalisasi ini tapi dengan catatan kita bisa menyaring mana yang baik dan diperbolehkan agama, dan mana yang tidak boleh. Yang tidak bertentangan kita lakukan dan yang bertentangan kita tinggalkan. So,,,kita tidak perlu terlalu ikut-ikutan dan tidak terlalu mengharamkan. Emang yang pertengahan selalu yang yang menjadi lebih baik...

jokersgitu mengatakan...

Pada dewasa ini, zaman teramat sangat maju dengan perkembangannya yang amat pesat. Perkembangan zaman inilah yang disebut Era Globalisasi, sehingga tidak sedikit di kalangan masyarakat secara umum menjadikan sebuah kontroversi yang berorientasi pada kemaslahatan umat. Ada yang pro dan adapula yang kontra terhadap hal itu, hal menjadikan suatu pertanyaan bagi kalangan awam.

Bagaimana cara untuk menyikapi hal tersebut agar sesuai denagn jalannya (yang disyariatkan Islam)......? karena di masa krisis agama ini umat islam sangat mudah terpengaruh terhadap hal-hal yang memang bisa menghabcurkan akidah.

Jawabnya, di zaman sekarang ini kehidupan serba canggih. Apa-apa serba menggunakan mesin, bahkan hal sekecil apapun ada campurtangannya dengan permesinan. Pada dasarnya, memang manusia tidak bisa terpisah dan tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan di zaman ini. Apa jadinya nanti kalau kita tidak mengikuti perkembangan multidimensi ini, pastinya negara kita akan jauh tertinggal oleh negara-negara lain. Namun kita harus bisa memilah dan memilih, apa yang bisa menghasilkan kemadharatan dan apa yang dapat menjadikan suatu dampak yang jelek bagi kita...... intinya kita ambil hal-hal yang positif-positifnya saja.

Eneng SY mengatakan...

Adanya globalisasi pada masa sekarang ini memang tidak dapat kita pungkiri karena telah banyak terjadi perubahan seperti yang telah kita rasakan saat ini, baik itu perubahan ke arah yang lebih positif ataupun ke arah yang lebih negatif tergantung dari bagaimana cara kita menghadapi proses globalisasi tersebut.
Jika dilihat dari sisi positifnya, maka globalisasi membawa perubahan yang ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi, transformasi, dan informasi yang sedemikian cepat. Sehingga kita dapat mengetahui apa yang terjadi di tempat yang jauh sekalipun dalam waktu yang singkat. Selain itu, masih banyak dampak positif lain dari adanya globalisasi tersebut. Namun, jika dilihat dari sisi negatifnya, globalisasi juga banyak memberikan ancaman bagi kehidupan manusia, misalnya semakin tidak tertahannya ekspansi kapital, ekspansi investasi, proses produksi dan pemasaran global yang secara langsung akan berpengaruh terhadap kaum tertindas, dsb.
Saya setuju dengan tulisan bapak yang mengungkapkan tentang posisi agama dalam globalisasi serta berbagai paradigma Islam dalam menghadapi globalisasi. Menurut saya, agama itu memang sangat besar pengaruhnya terhadap proses globalisasi karena agama merupakan aturan yang diturunkan guna memberikan aturan-aturan hidup yang akan membawa kebahagiaan bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, jelaslah bahwa kita selaku umat beragama khususnya agama Islam haruslah kembali dan berpegang teguh kepada ajaran yang bersumber dari Al Quran dan Sunah agar kita bisa menghadapi proses globalisasi ini dengan hal yang positif dan tidak ketinggalan dari negara-negara lain yang telah maju.

kamaluddin mengatakan...

Saya sangat setuju sekali dengan argument yang ada di Blog Bapak. Kenapa?Karena dengan majunya era globalisasi ini mempengaruhi terhadap berbagai unsur.Misalnya di bidang ekonomi,polotik, sosial,terlebih dalam agama.
Agama islam merupakan salah satu korban dari kemajuan era globalisasi ini. Umat islam ini cendrung terkontaminasi dengan tantangan dan ancaman dari pihak-pihak tertentu yang ingin menghancurkan dan memecah belah umat. Di indonesia misalnya, saat ini umat islam yang ada di negara kita ini mulai saling menyalahkan dan menyudutkan sesama umat. Tidak hanya itu,dengan kemajuan globalisasi ini muncul aliran-aliran baru di dalam tubuh agama islam.
Agama islam terutama islam yang ada di indonesiaberkembang sesuai dengan kemajuan era globalisasi ini, sehingga munculah beberapa paradigma dalam menghadapi era globalisasi ini.
Walaupun demikian, kita sebagai umat islam jangan sampai diperbudak oleh zaman. Zaman itu harus berada dibawah kendali kta. JAdi pada intinya kita harus bisa keluar dari pandangan-pandangan negatif terhadap agama islam.

karima mengatakan...

Negara kita sekarang ini semakin pintar saja, dengan adanya alat-alat komunikasi yang canggih. Sehingga mempermudah kita dalam menjalin komunikasi secara praktis, walaupun jaraknya jauh tapi terasa dekat.
Adanya fenomena globalisasi banyak terjadi perubahan dalam kehidupan manusia bahkan tidak sedikit menghadapi berbagai rintangan.
Komentar saya, lebih cenderung ke paradigma konservatif karena keteguhannya dalam mempertahankan suatu pendiriannya sangat kuat sekali sehingga tidak adanya suatu perubahan dalam sistem pemerintahan dan hukumnya. Paradigma konservatif ini berpedoman kepada hadits dan al-quran.
Sedangkan paradigma liberal lebih demokrasi karena manusialah lebih berkuasa dan lebih mengedepankan aspek rasionalisme. Paradigma liberal ini berperan sebagai agen perubahan sosial dan pemikirannya mengenai hubungan antara negara dan agama merupakan persoalan yang paling banyak mendapatkan penolakan dan tantangan dari pengusung Islam liberal. Paradigma ini memahami hubungan Islam dan negara itu berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Paradigma alternatif merupakan respon dua paradigma di indonesia, hal itu bukanlah persoalan mudah untuk merealisasikannya membutuhkan upaya guna mengaktualisasikan ide tersebut untuk itulah kita harus senan tiasa melakukan kajian mendalam dan intens guna mencari solusi dan jawaban terhadap berbagai persoalan di dunia apalagi mengenai umat saat ini.

keepistiqomah.blogspot.com mengatakan...

Kita tidak bisa menghindari globalisasi yang terjadi sekarang. hadapi! itulah kata yang menurut saya tepat untuk menyikapinya.
Islam adalah agama rahmatan lil alamiin. Islam datang sebagai agama yang sempurna. Tidak tepat jika ada orang yang mengatakan bahwa Islam tidak mementingkan dunia, Islam kuno, dan lain sebagainya. Islam mengajarkan kepada kita untuk mencari keridhoan Alloh, mencari kebahagiaan akhirat, tapi jangan kita melupakan kehidupan dunia. Diantara keduanya harus ada keseimbangan.
Dalam menyikapi tantangan globslisasi ini, perlu kita ingat dan ketahui bahwa apa yang sedangkita hadapi ini merupakan tantangan bagi umat Islam. Sejauh mana kita bias mengahadapi semua ini. Kita tahu bahwa teknologi merupakan salah satu media ghozwul fikri umat Yahudi dalam melemahkan umat Islam. Kita disuguhi dengan berbagai kesenangan, dari mulai food, fashion, fun. Berbagai fasilitas yang mereka suguhkan agar kita melupakan agama yang kita cintai ini.
Dalam tulisan ini disebutkan berbagai paradigma Islam yang muncul dalam menyikapi globalisasi. Paradigma konservatif, paradigma liberal, dan paradigma alternatif. Paradigma konservatif memposisikan Islam sebagai agama yang serba lengkap, sehingga doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang ada tidak dapat bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam. Paradigma liberal berakar pad aide demokrasi, sehingga cenderung mengesampingkan keislaman yang terkandung di dalamnya. Paradigma ini menurut saya, tidak melibatkan Islam dalam urusan globalisasi yang sedang kita hadapi.
Paradigma yang terakhir, paradigma alternatif. Paradigma ini berusaha mengintegrasikan dua kubu paradigma yang antagonistik maka paradigma ini lebih mengistilahkan dengan paradigma moderat. Karena istilah moderat cenderung pada pemahaman mencari jalan tengah dari kecenderungan-kecenderungan yang bersifat antagonistik. Hal ini juga sesuai dengan konsep Islam sebagai agama Wasathan (moderat). Dalam melihat hubungan Islam dan negara paradigma moderat menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi kelompok ini juga menolak anggapan bahwa agama adalah dalam pengertian barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Paradigma ini juga berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Yang harus kita lakukan untuk menyikapi globalisasi ini adalah dengan tetap menjaga keimanan kita. Jangan sampai kemajuan teknologi membuat kita semakin jauh dengan Alloh SWT. Jadikan kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi saat ini sebagai dakwah untuk membumikan Islam. Kita buktikan bahwa Islam bukan ajaran yang kuno, kita buktikan uamt muslim tidak ketinggalan zaman, tidak gaptek.
Semoga langkah kita senantiasa ada dalam ridho Alloh SWT. Wallahu a’lam bi al-shawab

Reska mengatakan...

Mengomentari isi dari tulisan ini, berbagai paradigma islam dalam menghadapi globalisasi ini sangatlah kompleks. Saya tidak memungkiri bahwa globalisasi telah memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat yang ditandai dengan kemajuan teknologi, namun secara bersamaan globalisasi juga telah memberikan dampak yang negatif bagi kehidupan masyarakat yang ditandai dengan tumbuhnya budaya hedonisme, konsumtif, individualistik, dan sebagainya.
Dalam tulisan ini, membahas tentang paradigma yang ada di kalangan kaum muslim yaitu paradigma konservatif dan paradigma liberal. Kedua paradigma ini antagonis. Adapun paradigma alternatif yang ditawarkannya adalah paradigma mederat. Namun saya tidak sependapat dengan tulisan ini karena diantara dua paradigma yang antagonis tadi terdapat satu paradigma yang benar/shohih yaitu paradigma konservatif. Mengapa demikian?
Paradigma konservatif merupakan paradigma yang memiliki pandangan bahwa islam adalah satu agama yang sempurna dan lengkap dengan peraturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Sebagai seorang muslim, kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad membawa risalah islam untuk seluruh umat manusia dan berlaku sepanjang zaman. Risalah Nabi muhammad berbeda dengan risalah nabi-nabi sebelumnya yang hanya diperuntukkan untuk umat tertentu dan masa tertentu.
Islam tidak hanya mencakup ibadah ritual saja, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan baik sosial, politik, ekonomi, maupun ketatnegaraan. Oleh karena itu, islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan.
Jika kita melihat paradigma liberal, jelas paradigma ini adalah paradigma yang bathil karena memberikan kebebasan yand sebebas-bebasnya kepada manusia untuk membuat hukum sendiri. Akibatnya, mereka mengabaikan tekstualitas dan hukum-hukum islam.
Dalam tulisan ini, paradigma alternatif yang ditawarkan untuk menengahi kedua paradigma yang antonis tadi adalah paradigma moderat.Paradigma moderat berpandangan bahwa dalam islam tidak terdapat sistem ketatnegaraan tetapi hanya terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Agama hanya sebatas ajaran moral dan etika sosial yang fungsinya mengontrol negara. Pada intinya paradigma moderat ini berpandangan bahwa kita boleh mengambil sistem hukum dan ketatanegaraan selain dari islam dan menempatka posisi islam hanya sebatas ajaran moral dan pengontrol negara.
Saya tidak sependapat jika paradigma moderat dijadikan peradigma alternatif karena pada dasarnya yang berhak membuat hukum hanyalah Allah Yang Maha Pengatur segala urusan kehidupan manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 50 yang artinya:"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin".
Kita lihat faktanya sekarang. Akibat dari tidak diterapkannya hukum islam yaitu terjadinya berbagai krisis ekonomi, moral, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Dengan hanya membenahi moralitas para pejabat saja tidak cukup untuk mengatasi berbagai permasalahan kehidupan bernegara, tetapi juga harus dengan mengubah sistem yang ada (sistem yang diadopsi dari barat) dengan sistem islam. Jika para pejabatnya sudah bermoral islam dan sistem yang digunakannya pun adalah sistem islam, maka islam sebagai rahmatan lil'alamin akan terwujud. Oleh karena itu, islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan baik individu, keluarga, masyarakat, maupun negara.

sitizainab.blogspot.com mengatakan...

Argumentasi dalam paradigma Konservativ menyebutkan bahwa Rasululloh tidak meleibatkan dirinya dalam dunia politik. hal ini sangat bertentangan dengan sejarah Islam, karena beliau sudah jelas nabi yang meneruskan kekhalifahan para Nabi sesudahnya. Bahkan, Rasululloh sangat dipanuti oleh masyarakat yang berada pada masa kekhalifahannya, karena beliau sangat berhati-hati memimpin negara pada masa itu. Rasul sangat disegani dengan segala keputusan dan argumennya. kita ambil sample dalam melakukan hukuman terhadap para pemimpin yang menggunakan wewenang secara tidak benar, beliau tidak langsung memfinis mereka. Rasul terlebih dahulu mengadili di meja hijau lalu diharuskannya ada beberapa saksi sehingga tidak menimbulkan keputusan yang salah. Dalam hal mendirikan hukuman pada masa itu,berbeda dengan adanya hukuman di negara Indonesia dengan cara menghukum di dalam kurungan sel besi (penjara) apalagi adanya perbedaan tempat bagi para pejabat pemerintahan. Rasul memimpin neagranya dengan mengadakan aturan hukuman yang sesuai dengan aturan Al-quran dan hadits, sehingga tidak menimbulkan prilaku yang membuat rakyat merasa tidak adil dalam hukuman atas kesalahan yang dilkukannya.
adapun dengan Arbumen di atas bahwasannya Islam dan tantangan Globalisasi sehinnga adanya berbagai paradigma Islam dalam menghadapi Globalisasi. Saya setuju dengan uraian di atas karena Islam harus siap dengan adanya perubahan yang ada pada dunia, sehingga Islam tidak terbelakang. tetapi dalam hal ini Islam tetap harus mempunyai batasan dalam kehidupan sehingga tida ada penyalahgunaan terhadap aturan agama.
sebagai umat Islam kita harus mempinyai keyakinan dalam dunia globalisasi sehingga kita tetap menjalankan sikap apa yang seharusnya kita lakukan. apabila hal ini dapat kita orientasikan dengan benar maka dunia remaja pun tidak akan terarahkan dengan hal-hal yang negatif, sehingga kita tetap dalam aturan sehrusnya.

rahmat hidayat mengatakan...

Menurut saya mengenai paradigma ialam dapat di uraikan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kehidupan dunia dan akhirat, dengan begitu ajaran islam sangatlah erat hubungannya dengan ilmu-ilmu yang lainnya. Karena ajaran islam berpegangan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist yang mengajarkan serta melahirkan ilmu-ilmu baik ilmu untuk kepentingan duniawi maupun akhirat. Islam juga mengajarkan dan menerapkan hokum-hukum untuk mengatur kehidupan supaya kehidupan ini senantiasa berjalan tentram dan aman. Perubahan-perubahan dalam islam yaitu menuntut umat manusia agar dapat merubah dirinya kearah yang lebih baik. Islam juga sangat berperan dalam aspek social, Negara islam sangatlah dikenala karena Negara islam merupakan kumpulan mayoritas penduduk yang beragama islam yang diakui. Rasulullah pun merupakan pemimpin yang mengerti tentang berpolitik, tetapi politik yang dipakai oleh rasulullah merupakan politik yang bersih dan bertujuan untuk kesejahtraan umat. Oleh karena itu islam bukanlah agama yang berpandangan sempit tetapi islam merupakan agama yang memahami tentang arti kehidupan didunia maupun akhirat.

hana nurjanah mengatakan...

Dari pembahasan yang telah saya baca tentang "ISLAM DAN TANTANGAN GLOBALISASI : Berbagai Paradigma Islam dalam Menghadapi Globalisasi"
dapat saya pahami bahwa kata globalisasi merupakan kata yang terkadang menimbulkan masalah terhadap masyarakat yang umumnya kurang mendapatkan pendidikan, tetapi terkadang memberikan kemidahan bagi orang-orang yang mengerti. Dengan adanya Era Globalisasi akan semakin meningkatnya kemajuan IPTEK,dimana kemajuan ini akan membawa penggunanya kearah positif ataukah kearah yang negatif?? semua itu tergantung kepada bagaimana seseorang menggunakan alat-alat teknologi yang zaman sekarang semakin beragam jenis dan fungsinya. Sebagai contoh dari alat teknologi yang telah diungkapkan dalam penulisan diatas adalah sebuah media tontonan seperti televisi, dari media ini saja sudah dapat memunculkan hal-hal yang positif dan negatif, dari hal positifnya kita dapat tahu bagaimana perkembangan dari negara-negara lain,sebuah informasi yang memberikan pendidikan. Namun, selain dari segi positif juga menimbulkan hal yang negatif ketika seseorang menyalah gunakan dari media tersebut. Disadari ataupun tidak disadari, saat ini banyak yang menggunakan media televisi untuk mengungkapkan aib seseoarang yang semestinya dijaga.
Dan demi kesatuan umat Islam dimasa globalosasi ini, hendaknya dihindari sebuah pemahaman yang akan menghancurkan persatuan umat islam, salah satu caranya kita harus bisa memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam dengan benar agar kita selalu bersatu dan tetap berpegangan kepada Al-Quran dan Hadist, karena kita juga mengetahui kalau Al-Quran adalah pedoman kehidupan bagi kita semua. dan apabila kita hidup tanpa berpeganagn kepada pedoman maka hidup kita akan menjadi tak tentu arah.

emarahmawati mengatakan...

komentar saya terhadap tulisan yang telah saya baca cukup menarik untuk dikaji, dan sangat obyektif dengan kenyataan sekarang. globalisasi sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia padahal jika ditilik ke belakang sebenarnya hal itu membawa kemadharatn saja tapi ada hal positihnya juga. untuk itu ada dua paradigma yang berpendapat tentang berkembangnya globalisasi yakni : paradigma Konservatif dan paradigma liberal.
1. paradigma konservatif cenderung memposisikan Islam sebagai agama yang lengkap, memiliki doktrin-doktrin, dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam, tuhan menempati segala pokok kekuasaan yang telah diterjemahkan dalam kajian-kajian pendahulunya.
2. paradigma liberal, Islam diasumsikan sebagai agama yang dapat berperan sebagai agen perubahan sosial. dimensi teologi yang mereka ajukan justru menginginkan konsistensi menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. mereka berpendirian islam dalam pengertian Barat.
untuk menyatkan dua kubu ini. maka diperlukan paradigma alternatif. paradigma ini disebut dengan paradigma moderat yang lebih mengedapankan aspek rasionalisme namun juga tidak melupakan aspek keimanan.
oleh sebab itulah, sebaiknyalah kita lebih menelaah dan cermat dalam era globalisasi ini, jangan sampai kita terbawa oleh arus dan melunturkan keimanan kita.

jenal agra mengatakan...

Mengomentari hasil tulisan Bapak, saya berpendapat bahwa perbedaan paradigma Islam tersebut bersumber pada sebera besar kelompok penganut paham tersebut mengenal agamanya dan akan dibawa kemana agamanya tersebut.

Saya yang berada pada lingkungan Islam Konservatif tapi di dukung dengan pembelajaran IPTEK, sangat berharap jika pada penulisan tulisan ini di sertai dengan penerangan mengenai cara pengenalan IPTEK dikalangan Konservatif.
Karena menurut pandangan saya, sangat bahaya jika agama Isla memiliki kecenderungan yang sangat besar kepada Liberalisme daripada kecenderungan terhadap kepada pemahaman Konservatif. Tapi semua itu dapat terwujud jika ada saling keterbukaan dan pengertian mengenai typical asal kelompok konservatif, dengan kata lain harus dilakukan dengan cara perlahan-lahan.
Saya sangat berharap jika tulisan ini dapat membantu polemik paradigma yang sedang terjadi di negara kita ini.
Amin.

Uyuk Ismat Alamsyah mengatakan...

Era globalisasi adalah zaman kemajuan di bidang teknologi komunikasi, transportasi. dan informasi yang sedemikian cepat. Yang dapat mempermudah setiap kegiatan manusia. Namun globalisasi juga merupakan suatu ancaman bagi masyarakat Islam khususnya, umumnya bagi kehidupan manusia. Karena globalisasi tidak tertahannya ekspensi kapitalis, ekspensi invetasi, proses produksi pemasaran global. Ancaman inilah yang nantinya akan berpengaruh secara langsung. sebab melalui penentuan kebijakan pemerintah sebagai proses pemerintahan kaum tertindas dan terpinggir karena adanya pemasaran bebas dari berbagai negara, sehingga dengan adanya kebebasan tersebut bisa mengancam masyarakat Islam. Maka untuk menghadapi era globalisasi ini harus membentuk paradigma yang mengedepankan nilai-nilai ajaran Islam, ajaran penebar cinta dan sayang (rahamatan lil al-'alamin) harus menjadi paradigma yang mrngakar di tengah-tengah masyarakat.

Anonim mengatakan...

Globalisasi yang kita hadapi sekarang adalah nyata. Dan dampaknya pun begitu terasa, dalam diri dan kehidupan kita. Disamping dampak positif yang kita rasakan, dampak negatifnya pun begitu jelas. Itulah hidup, segala sesuatunya selalu berpasang-pasangan. Didalam menghadapi berbagai tantangan globalisasi ini, kita tidak bias berlaku keras dan kasar. Akan tetapi, kita harus berlaku luwes dan dinamis. Kita harus bias mengakualisasi diri sebaik mungkin. Kita harus bisa masuk kemana-kemana. Tidak menutup diri dengan keadaan zaman yang semakin berkembang dan modern, karena itu akan menyulitkan diri kita sendiri.
Perubahan yang terjadi tidak selalu buruk kok. Perubahan itu ada juga yang baiknya. Tergantung kita yang memanfaatkan. Jadi kenapa tidak kita ambil saja hal-hal positif yang bisa kita manfaatkan dari perkembangan ini dengan sebaik-baiknya.
Lantas jangan kita biarkan perubahan ini terjadi dangan semena-mena, tanpa ada control. Tetap control terhadap perubahan dan perkembangan zaman ini harus ada. Jika tidak, maka kita akan tergilas dan terjerembab dalam kesenangan dunia semata yang semu adanya. Dengan melihat norma-norma dan aturan syara yang berlaku ,kita bisa berjalan berdampingan antara globalisasi dan agama.
Kita tidak bisa melanggar sebuah aturan dan ketentuan-ketentuan yang beraku dan yang telah ditetapkan hanya karena menuntut Demokrasi dan HAM.
Kita harus bisa mempertahankan keimanan kita, ditengah-tengah zaman yang sudah tergusur nilai-nilai normatifnya. Agar kita bisa tetap membatasi diri dari dampak-dampak negative modernisasi dan globalisasi, tanpa memutup diri dari itu semua.

Abdul Muiz mengatakan...

bersikap terlalu fanatik pada zaman sekarang akan membuat sengsara sendiri. ketika kita terlalu mencintai suatu hal atau perubahan dalam kehidupan kita, maka kita akan membenci hal lain selain dari itu. dan ketika kita terlalu membencinya, maka dunia in kan terasa sempit, karena kita tidak bisa membuka diri terhadap sesuatu yang baru. padahal hal itu akan membuat kita ketinggalan dan tidak berkembang. kita akan selalu jalan ditempat ditengah maraknya persaingan dalam berbagai bidang kehidupan, dan kita akan terbelakang,
tapi alangkah baiknya, apabila kita berlaku sewajarnya.tidak terlalu mencinta, dan tidak terlalu membenci. tidak terlalu condong hanya pada satu pihak, keadaan dan satu paradigma saja.
kita harus bijak dan berpikir dengan akal yang sehat dan hati yang jernih. kita tidak boleh melihat sesuatu hanya dengan sebelah mata saja. melihat fenomena sosial dan agama yang terjadi dimasa globalisasi ini, kita harus banyak merenung dan memngingat Allah dalam menjalaninya. karena kita harus tetap melangkah ditengah-tengah dampak dari globalisasi ini