30 April 2009

TRADISI KEILMUAN, KULTUR MAHASISWA DAN UPAYA MENUMBUHKAN ACHIEVEMENT MOTIVATION DI KALANGAN MAHASISWA

Oleh: Mulyawan S. Nugraha

Pendahuluan
Masa depan merupakan sesuatu yang probabilistik, dalam arti berbagai kemungkinan, baik yang dapat diantisipasi dan diketahui sebab akibatnya maupun yang tidak. Dalam hubungannya dengan nasib seseorang, berarti kemungkinan sukses atau gagal dalam menempuh cita-cita, bahagia atau menderita, kaya atau miskin dan berbagai kemungkinan lainnya. Adanya berbagai kemungkinan / alternatif, di satu sisi memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih dan berusaha mencapai apa yang diinginkan . Namun demikian, pada sisi yang lain juga memaksa untuk menerima apa adanya atas kenyataan hidup, baik yang direncanakan maupun yang diluar perencanaan.

Belajar merupakan hak setiap orang. Akan tetapi, kegiatan belajar di suatu perguruan tinggi merupakan suatu privilege karena hanya orang yang memenuhi syarat saja yang berhak belajar di lembaga pendidikan tersebut. Privilege yang melekat pada mereka yang belajar di suatu per¬guruan tinggi tidak hanya terletak pada sarana fisik dan sumberdaya manusia yang disediakan tetapi juga pada pengakuan secara formal bahwa seseorang telah menjalani kegiatan belajar dan pelatihan tertentu. Dengan pengakuan tersebut, harapannya adalah bahwa seseorang yang telah mengalami proses belajar secara formal akan mempunyai wawasan, pengetahuan, kete¬rampilan, kepribadian dan perilaku tertentu sesuai dengan apa yang ingin dituju oleh lembaga pendidikan. Tujuan lembaga pendidikan pada umumnya dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional. Yang perlu dicatat adalah bahwa belajar merupakan kegiatan individual, kegiatan yang sengaja dipilih secara sadar karena seseorang mempunyai tujuan individual tertentu. Belajar di perguruan tinggi merupakan suatu pilihan di antara berbagai alternatif strategik untuk mencapai tujuan individual. Kesadaran mengenai hal ini akan sangat menentukan sikap dan pandangan belajar di perguruan tinggi yang pada akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang belajar di perguruan tinggi.

Menjadi mahasiswa merupakan pilihan. Begitupun tidak menjadi mahasiswa, juga merupakan pilihan. Menjadi dan tidak menjadi mahasiswa adalah pilihan bebas kita selaku manusia. Namun yang pasti bahwa apapun pilihannya, tetap bahwa pilihannya tersebut merupakan pilihan yang menentukan masa depannya dan akan dipertanggungjawabkan suatu hari. Hal ini sekaligus menunjukan bahwa ia sedang mempergunakan hak bebasnya yang masing-masing memiliki risiko. Baik yang memilih meneruskan atau tidak, keduanya berharap agar masa depannya lebih baik. Namun demikian, pada saat seseorang menetukan pilihannya, sejak saat itulah dan seterusnya ia dituntut untuk konsisten (istiqomah) atas pilihannya tersebut.

Pergeseran Paradigma
Memasuki abad 21 atau millennium ketiga telah terjadi pergeseran paradigma atau cara berfikir dalam menghadapi berbagai fenomena. Menurut laporan UNESCO (1996) ada tujuh ketegangan yang dihadapi di awal abad 21 ini yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh pada dunia pendidikan. Ketujuh ketegangan ini adalah:

1. Ketegangan antara global dan lokal, yaitu di satu pihak terdapat kecenderungan manusia akan menjadi satu warga dunia secara global, akan tetapi tidak ingin tercabut akarnya dari budaya local.
2. Ketegangan antara universal dengan individual
3. Ketegangan antara tradisional dengan modernitas
4. Ketegangan antara pertimbangan jangka panjang dan jangka pendek
5. Ketegangan antara kebutuhan antara kompetisi dan kepedulian pada keseimbangan kesempatan
6. Ketegangan antara extraordinary expansion of knowledge dan human being’s capacity to assimilate it
7. Ketegangan antara spiritual dengan material

Selanjutnya dikatakan bahwa dengan tren perkembangan global yang didukung dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, secara global terjadi pergeseran pola-pola kehidupan global yang ditandai dengan perkembangan:

1. Dari komunitas lokal ke masyarakat dunia.
2. Dari kohesi sosial ke partisipasi demokratis
3. Dari pertumbuhan ekonomi ke pertumbuhan sumber daya manusia.

Kondisi ini sudah tentu akan mempengaruhi pola-pola kegiatan pendidikan termasuk di dalamnya kegiatan pendidikan di Perguruan Tinggi.

Proses pembelajaran dalam pendidikan di era abad 21, menuntut satu strategi tertentu yang berbeda dengan di masa lalu. Dengan perkembangan global yang terjadi menjelang masuknya abad 21, proses pembelajaran bukan hanya dalam bentuk pemrosesan informasi, akan tetapi harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mengembangkan sumber daya manusia kreatif yang adaptif terhadap tuntutan yang berkembang. Laporan kepada UNESCO (1996) oleh Commission on education for the twenty-first century memandang bahwa pendidikan sepanjang hayat sebagai suatu bangunan yang ditopang oleh empat pilar, yaitu:

1. Learning to know, yang juga berarti learning how to learn, yaitu belajar untuk memperoleh pengetahuan dan untuk melakukan pembelajaran selanjutnya.
2. Learning to do, yaitu belajar yntuk memiliki kompetensi dasar dalam berhubungan dengan situasi dan tim kerja yang berbeda-beda
3. Learning to live together, yaitu belajar untuk mampu mengapresiasi dan mengamalkan kondisi saling ketergantungan, keanekaragaman, saling memahami dan perdamaian inter dan antarbangsa.
4. Learning to be, yaitu belajar untuk mengaktualisasikan diri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki timbangan dan tanggung jawab pribadi. Termasuk di dalam ‘learning to be’ ini adalah belajar untuk menyadari dan mewujudkan diri sebagai warga negara dan hamba Allah SWT dengan segala konsekwensi dan tanggung jawabnya.

Cita Tanggung Jawab dan Tugas Mahasiswa
Sealur dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi (yaitu Pendidikan, penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat), maka mahasiswa juga selayaknya melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya merujuk pada tiga dharma tersebut.

Dalam hal pendidikan, maka mahasiswa diharapkan dapat melaksanakan fungsi seorang intelektual yang berada dalam koridor akademis. Sebagai seorang mahasiswa, ia dituntut untuk dapat mengkaji, mendalami dan mengembangkan disiplin ilmu yang telah dipilih, sehingga dapat menjadi seorang lulusan perguruan tinggi yang ahli di bidangnya. Maka ia harus memiliki konsistensi dalam pengembangan disiplin ilmunya dengan melakukan tradisi keilmuan.

Bila kita cermati, kita tengah dihadapkan pada situasi yang sulit sekaligus menyulitkan dalam membahas pendidikan. Pertama, pendidikan disinyalir gagal dalam menghasilkan SDM yang berkualitas terutama di daerah. Secara Nasional, pada tahun 1998, berdasarkan Human Development Index (HDI) yang dipublikasikan UNDP, Indonesia berada pada urutan ke-109 -- jauh di bawah negara-negara tetangga lainnya. Malaysia berada pada urutan ke-61. Thailand 76, Filipina 77 dan Singapura 74. Keadaan ini jelas menunjukan posisi Indonesia sangat terpuruk di mata masyarakat internasional. Kedua, sejak beberapa tahun terakhir ini, Indonesia menghadapi ancaman disintegrasi yang cukup parah. Pertentangan etnis, suku dan agama telah terjadi secara terbuka di Maluku, Maluku Utara, Sambas, Poso dan beberapa daerah lainnya. Dalam hal ini, pendidikan kita telah gagal dalam meletakkan pilar-pilar yang kokoh untuk menyangga persatuan nasional yang sangat plural. Ketiga, berbagai studi menunjukan bahwa kualitas proses dan hasil pendidikan (dasar, menengah dan tinggi) belum merata di berbagai daerah. Mutu pendidikan yang diukur lewat out-put (lulusan) perguruan tinggi misalnya, dapat dilihat dari jumlah penganggur intelek yang semakin bertambah seiring dengan tiap tahun diselenggarakan wisuda. Keempat, studi Internasional yang dilakukan oleh The Political and Economic Risk Consultacy (1999) yang bepusat di Hong Kong, melaporkan bahwa Indonesia berada pada urutan teratas sebagai negara paling korup di Asia. Indonesia dengan skor 9,91 untuk korupsi dan 9,00 untuk kroniisme. Keadaan tersebut mengungguli India dengan skor 9,17 dan 8,11, China dengan skor 9,0 dan 7,88 dan Vietnam dengan skor 8,5 dan 7,55. Yang paling bersih adalah Singapura dengan skor 1,55 dan 2,75, kemudian disusul oleh Hong Kong dengan skor 4,06 dan 3,68 serta Jepang 4,25 dan 4,0.
Dari paparan di atas, apa hubungannya dengan tema diskusi kita ini ? Jelasnya bahwa anda—selaku calon mahasiswa, seyogyanya berfikir jernih bahwa tugas dan tanggung jawab menjadi mahasiswa tidaklah mudah. Dengan tidak bermaksud menggurui, bahwasanya hadirnya anda nanti, di tengah-tengah masyarakat akan ditentukan oleh proses yang anda lakukan selama anda berkuliah di perguruan tinggi. Maka konsekwensi logis dari semua itu mengimplikasikan suatu peran yang sinergis antara posisi anda sebagai muslim dan mahasiswa Islam (sebab anda berada di wilayah Sekolah Tinggi Agama Islam Sukabumi).

Sebagai mahasiswa yang notabene adalah warga akademika (civitas academica) atau masyarakat ilmiah, maka tuntutan akademik menjadi kewajiban pertama dan utama selama kuliah. Hal ini mengharuskan mahasiswa mentradisikan budaya akademik. Dilihat dari katanya, akademik menyiratkan suatu proses intelektual dan keilmuan. Mahasiswa dituntut untuk berbudaya akademik; berfikir, bersikap dan berwatak akademik. Membiasakan membaca buku atau jurnal ilmiah, menulis, berdiskusi, aktif mengikuti event-event ilmiah seperti seminar, studium generale dan sebagainya, selayaknya menjadi tradisi yang senantiasa dibudayakan di kalangan mahasiswa.

Tri Dharma kedua yaitu penelitian. Hasil dari unsur pendidikan yang tercermin dalam budaya akademik di atas dijabarkan dalam bentuk etos dan semangat mau melakukan penelitian. Peneltian, bagi mahasiswa adalah ajang melatih intelektual, daya kritis dan kemampuan akademik yang komprehensif. Peran ilmu pengetahuan akan ”hidup“ bila ilmuwan senantiasa membudayakan penelitian. Salah satu contoh konkret adalah bahwa setiap setiap mahasiswa akan dihadapkan pada situasi mendapatkan tugas menyusun makalah ilmiah dari dosen untuk tiap mata kuliah. Secara tidak langsung, menyusun makalah ilmiah merupakan upaya untuk membiasakan mahasiswa mau meneliti suatu permasalahan dengan menuangkannya secara logis, empiris dan obyektif sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah dan diuraikan secara sistematis. Bila mahasiswa tidak dibiasakan membaca buku atau jurnal ilmiah, mana mungkin punya etos kerja ilmiah dan mau membuat makalah. ?

Pengabdian masyarakat merupakan bangunan yang penting sekaligus strategis dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Keberadaan anda sebagai mantan mahasiswa nanti (setelah selesai studi di PT) akan dibuktikan dengan peranan anda di lingkungan masyarakat. Hal ini menyiratkan bahwa anda seyogyanya mampu memenuhi tuntutan masyarakat tersebut dengan bekal yang anda dapatkan selama kuliah. Jadikanlah kampus sebagai miniatur masyarakat atau laboratorium sosial.

Mahasiswa bukan seorang pemburu ijazah an sich atau istilah lain mahasiswa silabus. Ia dituntut untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, selain kuliah rutin secara formal. Apapun program studi yang anda pilih di kampus tercinta ini, anda dididik untuk menjadi guru yang profesional di bidangnya. Di samping anda menjadi pelajar dengan status mahasiswa di STAI Sukabumi sebagai kampus pertama anda, untuk memenuhi tuntutan Tri Dharma Perguruan Tinggi seperti dipaparkan di atas, maka dapat dipastikan adanya sebuah kecenderungan bahwa tidak semua yang anda butuhkan sebagai mahasiswa dan muslim tersedia di kampus. Waktu dan materi kuliah yang terbatas, mengharuskan anda untuk mengisi waktu luang yang dimiliki dengan kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat. Organisasi kemahasiswaan menjadi wadah yang hukumnya relatif ”wajib“ anda terjuni selama anda kuliah. Baik intrainstituter (senat, jurusan) atau ekstra kampus (seperti HMI, KAMMI, ataupun organisasi intelektual, gerakan, seni maupun olah raga dan hobi). Organisasi tersebut diharapkan mampu melatih anda untuk hidup berkelompok, menambah teman dan pengalaman, menyalurkan minat dan kemampuan anda dalam aspek kepemimpinan, intelektual, gerakan, seni maupun olah raga dan hobi, melatih kemampuan akademis dan kompetensi personal, melatih kita agar dapat membagi waktu antara kuliah dan aktivitas organisasi, mendapatkan pengetahuan (baik teoritis maupun teknis) dan lain-lain. Semua itu, menurut hemat dan pengalaman penulis, cenderung memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk karakter mahasiswa dalam menjalani dan memahami konsep dan realitas hidup ketika menjadi mahasiswa dan setelah tidak menjadi mahasiswa.

Mahasiswa di tengah-tengah Kultur dan Fakta
Menjadi mahasiswa, merupakan merupakan saat-saat yang paling indah dan sekaligus saat yang paling menentukan masa depan. Dalam menyikapi posisi demikian terdapat berbagai gaya dan kultur yang muncul di kalangan mahasiswa. Sebagai mahasiswa yang adult educated atau terdidik dewasa, tidak sedikit bahkan relatif sebagian besar di antaranya yang tidak dewasa atau tidak segera dewasa secara akademik. Dalam hal kuliah, tradisi keilmuan atau kultur akdemik relatif kurang dijalani dengan baik dan serius. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi berikut; relatif lebih sedikit mahasiswa yang melakukan kajian ilmiah dengan membentuk forum diskusi, rajin pergi ke perpustakaan untuk meminjam dan membaca buku serta menulis dibanding dengan kecenderungan mahasiswa yang senang pergi ke mall, nongkrong di kafe, sibuk mencari (atau menambah) pasangan, merasa tidak gaul bila tidak memiliki aksesoris (?), malas membuat catatan kuliah (dan akan sibuk memfotokopi catatan temannya yang rajin menulis catatan kuliah saat akan UTS dan UAS), mengisi waktu kosong dengan ngerumpi dan ngobrol di waktu luang dan lain sebagainya.

Kecenderungan demikian antara lain disebabkan oleh motivasi melanjutkan studi yang dikhawatirkan hanya atas dorongan menaikkan status kelas saja, hanya berharap mendapatkan selembar ijazah dan transkrip nilai. Ironisnya, mahasiswa yang berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah ke bawah dan biaya kuliahnya hanya (mungkin) dipenuhi orang tuanya dengan susah payah, justru tidak belajar/kuliah dengan sungguh-sungguh, sehingga menjadi mahasiswa kelas bawah (secara intelektual/keilmuan dan buramnya gambaran masa depan) serta mengecewakan jerih payah orang tua.

Gambaran mahasiswa demikian, bukan saja tidak berperan dan bertanggung jawab, akan tetapi lebih sebagai orang yang tidak istiqomah terhadap pilihannya (menjadi mahasiswa). Selanjutnya, muncul kecenderungan penurunan tingkat kualitas lulusan perguruan tinggi. Secara kuantitas, lulusan perguruan tinggi bertambah, sementara secara kualitas menurun drastis.

Organisasi : Wadah Upaya menumbuhkan Achievement Motivation di kalangan Mahasiswa
Mahasiswa merupakan manusia biasa. Sebagai manusia yang meniscayakan adanya perubahan ke arah yang positif, aktif dan bermanfaat, manusia diharuskan memenuhi kebutuhannya. Organisasi adalah salah satu wadah penting tempat mahasiswa menempa kedewasaan berfikir secara keilmuan, kematangan sikap dan kemandirian hidup.

Kebutuhan untuk berprestasi (need for achievment) merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic need) manusia. Sebagai suatu makhluk yang memiliki kepribadian, manusia tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sebagai makluk individu dan sosial. Dalam hubungannnya sebagai makhluk sosial, manusia memiliki kecenderungan berorganisasi (political interested). Asumsi ontologis ini kalau kita tangkap maknanya menyiratkan bahwa manusia itu tidak bisa sendirian dalam hidupnya.

Secara sosiologis, fakta memperlihatkan bahwa manusia senantiasa berkumpul (zoon politicon) dalam sebuah wadah yang mereka ciptakan sendiri. Dalam pengertian yang paling sederhana, wadah inilah yng dinamakan organisasi. Manusia kuno melakukan aktivitas organisasinya dengan praktik-praktik yang sederhana. Ikatan mereka sering disandarkan pada ikatan mistis ‘ketua suku’ yang menjadi ketua mereka. Ketua suku bahkan sering menjadi “tuhan” yang dapat menjatuhkan atau menghalangi suatu hukuman dengan hanya mengangkat tangan. Sungguh luar biasa.

Perkembangan manusia memang luar biasa. Penggunaan bahasa sebagai simbol komunikasi berkembang. Dari bahasa tubuh-bahkan ada yang dengan cara saling meludahi- sampai kepada bahasa modern yang kompleks dan berlaku universal.

Seperti dikatakan Comte perkembangan ilmu pengetahuan manusia memang berubah, mulai dari tahap mistis sampai pada tahap positivistik. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka perkembangan wadah atau organisasi pun semakin berkembang. Organisasi merupakan perkembangan logis dari hakikat ontologis manusia sebagai makhluk sosial dalam upaya realisasi diri (self realization).

Dalam mempraktikkan perilaku sosialnya, manusia selalu menginginkan aktualisasi yang lebih real dalam masyarakatnya. Ada dilema dalam hal ini Pertama, sebagai individu manusia itu unik secara hakiki dan senantiasa ingin menjaga keunikannya sehingga dia tidak kehilangan pribadinya (Personality) dihadapan orang lain. Kedua,sebagai makhluk sosial manusia juga memiliki kecenderungan mengakui dan ingin diakui oleh orang lain serta dituntut mengakui nilai atau norma yang berlaku yang terkadang berbeda dengan keunikan dirinya. Disinilah manusia harus memiliki “dinamika perimbangan” (balance).

Masalah dari keseimbangan (balance) dalam “ego-alter relationship” adalah bagaimana kita bisa mencapai suatu perkembangan maksimum dari ego dengan “a minimum of damage” (tidak terlampau merugikan orang lain). Kebutuhan akan prestasi dan realisasi diri berarti aktualisasi cita-cita dan tujuan tertentu. Cita-cita ini nyata (real) dalam arti muncul dari sejarah seseorang, muncul dari “the self” yang Fromm katakan sebagai “conscience” (kesadaran/aku). Suatu sita-cita yang supernalistik tanpa mempertimbangkan kemampuan bisa menimbulkan putus asa dan neurosis. Oleh karena itu suatu realisasi diri yang baik harus merupakan konsep yang realistis, yang memberikan kepada kita, bantuan ( rapport), keutuhan (wholeness), kernel (inti), dan kekukuhan pribadi (self consistency).

Seseorang yang ingin berprestasi harus mempunyai karakter produktif. Seorang yang berkarakter produktif dapat mengaktualisasikan potensinya tanpa benturan fungsi-fungsi dalam dirinya dengan orang lain. Produktivitas membuat hidup ini lebih gembira dan bergairah, bebas dan sehat secara mental. Hal ini menuntut keterampilan pengorganisasian atas fungsi-fungsi. Produktifitas dapat dirintangi oleh mekanisme individual yang oleh Freud disebut “mechanically operating respective compulsion”. Hal ini dapat menimbulkan neurosis dan “splitting force personality”.

Seseorang yang memiliki keterampilan sosial mampu mengenal dan menyadari motifnya terhadap orang lain. Hal ini berarti mempererat hubungan dengan orang lain, pengertian, dan pemahaman kepada orang lain. Rapport (hubungan baik/erat) tidak berarti komunikasi lisan semata-mata, sebab sering kita harus berdiam diri dan mempersilahkan orang lain. Hal ini memungkinkan kita mengetahui dan menemukan “the deeper foundations” (fondasi yang paling dalam) dari kepribadian manusia.

Untuk menjadi seorang yang matang dalam berorganisasi dalam perkembangannya manusia harus memiliki “affective - emotional” yang mencakup :
1. A Persistent Emotional Tone
A Persistent Emotional Tone (emosi yang sehat), ialah keadaan yang senantiasa memancarkan rasa aman, percaya pada diri sendiri, yang membantu individu apabila ia menghadapi tekanan dan prustasi. Keadaan emosi yang sehat ini juga mencakup “home Static” atau dinamika perimbangan. Misalnya keseimbangan antara kebutuhan (needs), dan kemampuan (ability) di suatu pihak dan tekanan lingkungan dipihak lain.
2, The Emotional Attitude Toward People
The Emotional Attitude Toward People (sikap emosional yang sehat kepada orang lain) merupakan suatu rasa kemasyarakatan, hasrat untuk diterima dan diakui oleh orang lain.
3. The Capacity to Give and Receive Love
Dengan “love” dimaksudkan sebagai pemberian dan penerimaan kasih sayang yang menyegarkan, bukan jenis inta asmara yang romantis, bukan juga kasih sayang yang berlebihan dari seorang ibu, bukan kasih sayang yang berdasarkan kecemasan dan ketakutan akan kehilangan kasih yang dicintai, juga bukan kasih sayang yang fantastik, bukan pula pencurahan cinta sebagai penyerahan kepada seseorang yang sebenarnya tidak mencintai si pemberinya. Ini adalah jenis cinta (love) yang yang memelihara kita sebagaimana yang kita berikan, mempercayai kita sebagaimana yang kita berikan, dan membantu perkembangan ego-alter kita secara harmonis.


4. Ability for Rilex and Happy
Kepribadian yang matang memilki rasa humor yang baik. Dapat tertawa jika menjumpai hal yang jenaka. Ia peka tanpa cemas. Tidak kaku dan berlebihan dalam reaksinya. Dapat memperlihatkan permusuhan dan marah secara wajar.
5. Sikap Emosional terhadap Diri
Harus ada keseimbangan antara cita-cita seseorang dengan penampilan aktualnya (lakukan yang terbaik), mampu menerima keterbatasannya, mampu menghadapi masalah hidup secara rasional tanpa egoistik, dan tidak suka melemparkan kesalahan kepada orang lain.

Dalam perspektif Islam, manusia mempunyai dua fungsi dan posisi. Pertama, sebagai Abd (hamba) Allah (QS.51:56) dan sebagai khalifah fi al Ard (QS.2:30-31). Dalam posisinya sebagai Abd manusia diharuskan melakukan semua perbuatannya berdasarkan motivasi mencari keridlaan Allah. Karakter abd ini lebih cenderung kepada posisi dan fungsi manusia sebagai individu. Sebagai individu manusia memiliki kemampuan-kemampuan dan potensi. Potensi manusia ini laksana sebuah lautan yang dalam yang penuh dengan mutiara dan ikan beraneka rupa. Lewat upaya pendidikan manusia dapat mengaktualisasikan potensi-potensi itu.

Potensi manusia yang pertama adalah al Aql. Allah SWT sangat menghargai akal ini. Ungkapan sepert afala ta’qilun, afala tadzakkarun, afala tafakkarun, ulul albab. Dalam al Quran terminologi akal senantiasa berhubungan dengan kata kerja dan tidak satupun diungkapkan dalam bentuk kata benda. Hal ini menegaskan bahwa akal itu titik tekannya kepada fungsi. Jadi buat apa punya akal (otak) tetapi tidak berfungsi.

Potensi yang kedua dari manusia adalah al nafs. Dalam al Quran nafs sering diartikan sebagai jiwa (soul), pribadi (person) diri (self) , hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind). Quraish Shihab mengartikan nafs sebagai totalitas manusia (QS. 5:32) dan nafs itu adalah daya yang ada pada manusia yang menghasilkan tingkah laku (QS. 13:11). Nafs manusia selalu mengarah kepada yang baik dan buruk.

Potensi selanjutnya pada diri manusia adalah al Qalb. Kata al qalb dipergunakan dalam al Quran sebanyak 123 kali. Qalb terambil dari akar kata yang berarti membalik karena sering kali ia berbolak balik. Potensi selanjutnya adalah jasad. Dengan jasadnya manusia di sebut al ahsan al taqwin. Sisi lain manusia menurut Islam dapat berbalik 360 derajat menjadi kal an ‘am balhum adhal.

Watak sosiologis manusia lebih tepat jika dihubungkan dengan posisi manusia sebagai khalifah. Sebagai khalifah manusia diberi amanah untuk mengurus dan mengatur alam ini. Sesuai dengan arti kata khalifah, ia berarti wakil atau pengganti, yakni pengganti Tuhan dalam memakmurkan alam ini.Posisi manusia ini tidak sejajar bahkan dilebihkan oleh Tuhan dari sesama makhluk Tuhan. Terbukti dari keengganan makhluk Tuhan yang lain ketika dia diberi amanah. Hal ini jangan menjadikan manusia arogan.

Berdasarkan watak sosial inilah manusia mengatur dan mengorganisasikan dirinya dalam berbagai formula dan wadah. Ada satu hal yang secara alami diakui bahwa semua itu dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia dan bagi umat Islam itu adalah perwujudan dari hakikat dirinya sebagai makhluk sosial.

Sebenarnya apalah arti sebuah wadah atau organisasi jika didalamnya tidak mengakomodir dan mencoba memenuhi keinginan dan tujuan bersama. Tujuan bersama dalam sebuah organisasi adalah hal penting. Yang lebih penting lagi adalah mengusahakan terwujudnya tujuan itu. Hal memerlukan sebuah mengorganisasian yang efektif dan komitmen bersama. Sebuah organisasi akan menjadi kuat dan berkembang jika komponen-komponen organisasi yang berada didalamnya bekerja secara sinergis. Jangan saling menyalahkan dalam berorganisasi. Melempar tanggungjawab juga sebuah kekeliruan. Dalam managemen modern ada istilah the right man on the right job, the right man on the right place.

Berorganisasi merupakan sebuah aktivitas manusia yang berdimensi sosiologis. Organisasi lahir karena kebutuhan manusia.Dari organisasi yang paling sederhana sampai kepada organisasi yang paling besar misalnya negara harus didukung oleh sebuah kekuatan managerial yang mencerahkan. Seorang leaders dalam suatu organisasi sangat penting posisinya. Pemimpin memiliki urutan terpuncak dari sebuah organisasi. Ia mewakili anggotanya untuk keluar dan kedalam. Pemimpin harus bertanggungjawab secara penuh dalam melaksanakan kepemimpinannya.

Seorang pemimpin harus mempunyai watak dan karakteristik ideal. Dalam Islam tipe yang sangat tepat untuk dijadikan pemimpin adalah Nabi Muhammad. Kepemimpinan Muhammad memang luar biasa. Dia mampu mengadakan revolusi sosial secara radikal. Ia mampu mengganti pola lama dengan pola baru. Karakteristik kepemimpinan Muhammad senantiasa berangkat dari keyakinan transendental kepada Tuhan.

Akhlak Muhammad sebagai seorang pemimpin sangat luar biasa. Ia begitu dekat dengan para sahabatnya. Ia sering tertawa, tidur, berdiskusi,dengan para sahabatnya. Ia begitu dekat dengan sahabatnya. Suatu kisah menceritakan bahwa nabi Muhammad bersama para sahabatnya sedang mengelilingi kambing guling bakar bersama sahabatnya. Sambil bercengkrama dan bersenda gurau mereka memakan bersama kambing guling itu. Ada suatu suasana keakraban yang tercipta. Antara rasul sebagai seorang pemimpin dengan sahabatnya begitu dekat, begitu bersahabat. Persahabatan ini dibingkai oleh aturan Allah dan muncul dari kesadaran nurani yang paling dalam untuk saling menghormati dan menghargai. Tidak ada dusta diantara mereka. Alangkah mengagumkan!

Dalam riwayat lain diceritakan bahwa rasulullah meskipun beliau seorang pemimpin tetapi memakai pakaian yang sama dengan para sahabatnya (yang dipimpinnya). Sehingga ketika ada orang yang hendak membunuh Muhammad ia bingung karena mencari Muhammad.Hal ini berbeda dengan tradisi raja-raja Romawi atau Persia.

Memberikan motivasi kepada diri memang suatu hal yang serius dan signifikan. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa semakin sering orang memotivasi dirinya maka ia akan semakin ingat akan keberhasilan. Motivasi dalam suatu sisi tidak lebih daripada sugesti. Seperti doa ia senantiasa menghiasa relung kalbu seorang hamba untuk mencapai tujuannya.

Hidup berprestasi adalah tujuan setiap orang,termasuk dalam berorganisasi. Aktivitas organisasi senantiasa mengarah kepada the ultimate goal yaitu mencapai prestasi.Prestasi itu diukir oleh sinergitas komponen organisasi yang efektif dan harmonis. Prestasi bisa terwujud jika hal itu dilakukan.

Islam memberikan prinsip dan prototipe ideal seorang pemimpin. Muhammad sang ‘Pembaru’ adalah tipe pemimpin ideal. Ia senantiasa beraktivitas dalam rangka mardatillah. Kepemimpinannya senantiasa diabdikan kepada kepentingan kemanusiaan dan ketuhanan. Ia tipe pemimpin yang mementingkan jasmani dan rohani. Ia telah mencapai kematangan berorganisasi. Muhammad sang ‘pembebas’ sekali lagi adalah tipe ideal seorang pemimpin.

Tantangan Tanggung Jawab Mahasiswa Islam
Di usia yang relatif masih muda dan potensial untuk melakukan hal-hal yang yang lebih elegant dan bermanfaat, sangatlah disayangkan bila kecenderungan negatif di atas lebih menguasai mahasiswa.

Adapun tantangan tanggung jawab mahasiswa Islam, minimal dua persoalan, yaitu: pertama, menjadi mahasiswa belum secara otomatis sebagai jaminan (guarantee) masa depan anda menjadi lebih baik. Sementara itu, penghasilan orang tua mahasiswa, terutama yang berprofesi di jalur informal, semakin sulit berkembang ditambah dengan situasi negara yang tidak menentu secara politik ekonomi. Karena itu, sesungguhnya keputusan anda dengan pilihan melanjutkan ke perguruan tinggi tidak hanya penuh dengan resiko, tetapi juga perlu konsistensi (istiqomah) perjuangan (jihad) dan ketabahan (sabar). Selanjutnya, ketika seorang mahasiswa lulus dan menyelesaikan studi di perguruan tinggi, muncul persoalan lain antara lain sulitnya mencari pekerjaan.

Kedua, untuk bisa menempati posisi terhormat sebagai lulusan perguruan tinggi, Anda dituntut tidak hanya menguasai teknis keahlian bidang tertentu. Tuntutan lainnya ialah pembentukan watak keprofesionalan, seperti dapat dipercaya (amanah), jujur, mandiri dan disiplin. Dalam hubungannya dengan sains dan teknologi serta standarisasi kualitas sumber daya manusia saat ini, maka mau tidak mau, suka atau tidak, mahasiswa harus mem-‘fardu-‘ain‘-kan dirinya untuk memacu mengembangkan kualitas ilmu dan kepribadiannya sehingga menjadi lulusan perguruan tinggi yang dapat diandalkan. Tantangan globalisasi dengan ditandai dengan pesatnya sains dan teknologi, sewajarnya ditanggapi dengan serius. Penggunaan komputer dan Internet sepertinya satu hal yang tidak dapat dihindari sebagai alat untuk mengolah data serta memperoleh informasi. Hal tersebut mengindikasikan keharusan mahasiswa Islam untuk dapat mengusainya. Jangan sampai kejadian ada mahasiswa Islam yang Gaptek (gagap teknologi) ! Kemampuan teknis lainnya yang harus dikuasai mahasiswa Islam adalah penguasaan bahasa Arab , bahasa Inggris dan metodologi keilmuan. Mengutip perkataan Mullla Shadra: Canggihkan intelektualitas, tajamkan spiritualitas.

Penutup
Belajar di perguruan tinggi merupakan suatu pilihan strategik dalam mencapai tujuan indivi¬dual seseorang. Semangat, cara belajar, dan sikap mahasiswa terhadap belajar sangat ditentu¬kan oleh kesadaran akan adanya tujuan individual dan tujuan lembaga pendidikan yang jelas. Keselarasan tujuan akan menjadikan belajar-mengajar merupakan kegiatan yang menyenang¬kan dan mengasyikkan tanpa meninggalkan scientific vigor dan rigor perguruan tinggi.

Dosen dan kuliah bukan merupakan sumber pengetahuan utama. Oleh karena itu, perlu diredefinisi pengertian kuliah sejak mahasiswa masuk perguruan tinggi. Kuliah merupakan ajang untuk mengkonfirmasi pemahaman mahasiswa dalam proses belajar mandiri. Untuk mendukung proses belajar-mengajar yang efektif seperti itu, dosen dan mahasiswa harus mengacu dan memegang buku yang sama. Pengendalian proses belajar harus dipandang lebih penting daripada hasil atau nilai ujian. Kalau proses belajar dijalankan dengan baik, nilai merupakan konsekuensi logis dari proses tersebut. Kalau proses belajar tidak dikendalikan secara semestinya, nilai tidak akan mencerminkan adanya perubahan perilaku walaupun nilai tersebut menambah atribut seseorang. Dengan demikian, akhirnya perguruan tinggi hanya ber¬fungsi sebagai lembaga jasa pengujian (testing service institute) bukan lembaga pedidikan.

Memiliki buku tidak sama dengan memiliki kertas bergambar huruf dan garis. Buku hendaknya diperlakukan sebagai teman atau kekasih sejati; buku harus diajak berdialog. Kemampuan berbahasa merupakan dasar yang sangat penting untuk dapat memahami penge¬tahuan yang kompleks dan konseptual. Karya ilmiah dan sastra tinggi tidak dapat begitu saja dipahami dengan hanya menggunakan bahasa alamiah. Penguasaan bahasa yang memadai (baik struktur maupun kosa kata) juga sangat membantu seseorang untuk mampu meng¬ekspresi gagasan dan perasaan atau mendeskripsi masalah secara cermat dan efektif.

Banyak jalan menuju sukses pribadi. Perguruan tinggi paling tidak memberi jalan dan kon¬tribusi yang berarti untuk menuju sukses pribadi sekaligus sukses bagi masyarakat. Perilaku mahasiswa di perguruan tinggi akan mewarnai berbagai sukses pribadi seseorang dan juga suk¬ses masyarakat dan negara.

Dalam kondisi budaya belajar yang telanjur menyimpang dari tujuan belajar yang seharus¬nya, tugas perguruan tinggi adalah mengubah secara radikal budaya menyimpang tersebut. Kesan keliru tentang arti kuliah dan belajar dapat diubah bila perguruan tinggi menciptakan citra baru tentang makna belajar melalui perubahan proses pembelajaran secara radikal. Tidak selayaknya perguruan tinggi mengikuti selera mahasiswa atau masyarakat yang keliru. Pergu¬ruan tinggi mampu menghasilkan lulusan yang dapat mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Hall dan Cannon (1975) berikut ini perlu dire¬nungkan dalam penyelenggaraan perguruan tinggi:
Should a university course be devised to help a student to fit into society or to encourage a student to change society?

Jadi, fungsi perguruan tinggi tidak hanya memberi keterampilan yang sesuai dengan kebu¬tuhan tenaga kerja (link and match) tetapi lebih dari itu memberi wawasan, visi, kearifan, daya inovasi, daya belajar cepat dari situasi, daya nalar kritis, dan kepribadian kesarjanaan !

Uraian di atas tidak bermaksud untuk membuat nyali anda ciut . Justru agar dialektika seperti ini membuat kita lebih dewasa dan bijak dalam mempertanggungjawabkan apapun pilihan Anda, tidak terkecuali pilihan untuk menjadi mahasiswa di STAI Sukabumi. Jadikanlah Kampus ini menjadi kawah candradimuka untuk mengasah, mempersiapkan bekal untuk masa depan dan menampilkan seluruh potensi yang telah anugerahkan kepada kita, manusia, agar sukses di kemudian hari.

Tantangan dan kompetisi masa depan yang makin tajam meniscayakan adanya kompetensi profesional individual yang handal dalam hal intelektual, spiritual, emosional, dan sosial. Yakinkan anda mampu menghadapinya. Jadikan tantangan sebagai peluang anda untuk berbuat lebih cerdik, cantik dan strategik.

Kegagalan adalah nuansa hidup yang muncul mungkin akibat kurang gigih dalam usaha dan doa. Seperti sabda Rasulullah SAW: seorang Muslim tidak akan masuk ke lobang (dalam arti kegagalan) dua kali. Kini anda bertugas untuk meluruskan niat dan menyempurnakan ikhtiar.

Yakin usaha sampai.
Mohon maaf bila tulisan ini kurang berkenan.
Semoga bermanfaat.
Wallaahu a‘lamu bi al-shawab
Ciaul, 07 September 2007

Pendidikan Islam untuk masa Depan

PENDIDIKAN ISLAM UNTUK MASA DEPAN
Oleh: Mulyawan S. Nugraha


Pendahuluan
Dalam al-Qur’ân ditegaskan bahwa Allah menciptakan manu¬sia agar menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya seba¬gai pengabdiannya kepada-Nya. Aktivitas yang dimaksudkan oleh Allah tersimpul dalam ayat-ayat al-Qur’ân yang menegaskan bahwa manusia adalah khalifah Allah. Dalam statusnya sebagai khalifah ini, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa manusia hidup di alam mendapat kuasa atau tugas dari Allah, yaitu memakmurkan atau membangun bumi ini sesuai dengan kon¬sep yang ditetapkan oleh Allah. Ayat-ayat tersebut di atas, jika dicermati, mengandung konsep makna pendidikan bagi manusia. Manusia sebagai khalifah Allah diberi beban yang sangat berat. Tugas tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, jika manusia di¬bekali dengan pengetahuan, keterampilan, dan kepribadian luhur yang sesuai dengan kehendak Allah. Semua ini dapat dipenuhi hanya melalui proses pendidikan.

Pendidikan merupakan suatu proses berkesinambungan yang terencana, terpola dan terarah untuk membentuk manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan juga merupakan suatu upaya yang bersifat eksistensial. Sifat eksistensial pendidikan bagi manusia merujuk pada suatu kenyataan, bahwa sekalipun manusia lahir sebagai manusia, namun untuk mengukuhkan eksistensinya agar hidup secara manusiawi sesuai dengan kodrat kemanusiaannya, manusia harus menjalani proses pendidikan. Proses ini tidak hanya berhubungan dengan benda-benda fisik, tetapi juga dapat memberi makna bagi kehidupannya. Inilah yang menjadi kehendak mendasar dari pendidikan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian cepat memberi dampak terhadap perubahan di segala bidang kehidupan termasuk di antaranya perubahan terhadap kebutuhan peningkatan sumberdaya manusia. Oleh karena itu upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang memiliki daya saing tinggi mutlak diperlukan.

Pendidikan adalah salah satu upaya yang dilakukan manusia untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kemampuan untuk memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan ekonomi, sosial budaya, serta bidang-bidang yang lain. Dalam konteks ini, pendidikan harus mampu menyiapkan sumber daya manusia yang handal, kreatif, dan produktif, yaitu manusia yang mampu menerima, mengolah, menyesuaikan dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus informasi.

Syafaruddin menjelaskan bawah pendidikan sebagai subsistem nasional, dipengaruhi oleh subsistem yang lain, seperti ekonomi, politik, hukum, dan budaya yang berkembang. Meskipun berbagai kebijakan untuk meningkatkan dan mengembangkan pendidikan telah ditempuh pemerintah dan lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan, namun secara umum masih dapat dirasakan bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan belum mencapai mutu atau kualitas yang kompetitif menghadapi masa depan. Hal ini akan berimplikasi pada kualitas pendidikan yang harus senantiasa ditingkatkan untuk mencapai tujuan tersebut.

Perkembangan pendidikan dan hasil yang telah dicapainya, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan yang terjadi dalam sejarah manusia. Fritjof Capra melihat perkembangan paradigma sains yang telah mencapai puncaknya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghilangkan aspek moralitas dan spiritualitas dari alam dan manusia ini. Menurut Capra sudah saatnya Barat mengkaji ulang formasi pandangan dunia dan ilmu. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengevaluasi kembali sumbangan-sumbangan para perintis ilmu modern seperti Francis Bacon, Rene Descartes, dan Isaac Newton.

Ahmad Tafsir secara terang-terangan menyatakan bahwa jika sistem pendidikan Barat sekarang ini – seperti dijelaskan di atas-- sering disebut-sebut mengalami krisis yang akut, itu tak lain karena proses yang terjadi dalam pendidikan tak lain daripada sekedar pengajaran. Ia bahkan secara rinci menjelaskan bahwa peradaban barat dan sistem pendidikannya hancur dan gagal dalam memanusiakan manusia berawal dari dasar paradigma yang digunakan adalah Rasionalisme dan Materialisme.

Selain itu, pendidikan yang berlangsung dalam suatu schooling system tak lebih dari suatu proses transfer ilmu dan keahlian dalam kerangka tekno-struktur yang ada. Akibatnya, pendidikan -katakanlah pengajaran- menjadi suatu komoditi belaka dengan berbagai implikasi¬ yang gagal pula terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan.

Pendidikan Islam sebagai salah satu subsistem dalam sistem pendidikan Nasional, memiliki peran yang strategis dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Maksum mencatat bahwa dalam perkembangan tiga dekade terakhir, pendidikan Islam tampak memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap pendidikan di Indonesia. Ditambahkan oleh Muhaimin, bahwa pendidikan Islam merupakan aktivitas pendidikan yang didirikan, diselenggarakan atas dasar hasrat, niat dan motivasi untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam melalui kegiatan pendidikan tersebut.

Aktivitas pendidikan Islam ada sejak adanya manusia itu sendiri (Nabi Adam dan Hawa), bahkan ayat al-Qur’ân yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw adalah bukan perintah tentang shalat, puasa dan lainnya, tetapi justru perintah iqra' (membaca, merenungkan, menelaah, meneliti atau mengkaji) atau perintah untuk mencerdaskan kehidupan manusia yang merupakan inti dari aktivitas pendidikan. Menurut Muhaimin, dari sinilah manusia memikirkan, menelaah dan meneliti bagaimana pelaksanaan pendidikan itu, sehingga muncullah pemikiran dan teori-teori pendidikan Islam. Karena itu, menurut Abd al-Gani 'Ubud, seperti yang dikutip Muhaimin menyatakan bahwa tidak mungkin ada kegiatan pendidikan Is¬lam dan sistem pengajaran Islam, tanpa adanya teori-teori atau pemikiran pendidikan Islam. Pandangan tersebut diperkuat oleh Hasan Langgulung dan Ahmad Tafsir.

Pendidikan yang dimiliki oleh umat islam sekarang ini memang harus disempurnakan agar dapat mengantarkan lulusan hidup wajar pada masa depan. Mengapa pendidikan harus diproyeksikan ke masa depan? Karena hasil suatu pendidikan tidak dapat dinikmati masa kini melainkan pada masa depan, dekat atau jauh. Pendidikan yang berlangsung saat ini di dunia, khususnya di Indonesia, lebih khusus lagi di kalangan muslim, agaknya harus diperbarui, diberi darah baru yang segar agar ia sehat dan mampu mengantarkan lulusan menghadapi masa depan.

Bagaimana menyiapkan program pendidikan agar sesuai dengan masa depan? Untuk itu kita harus mengenali lebih dahulu kecenderungan dan karakteristik masa depan itu. Masa depan itu kita sebut Abad 21.

Kecenderungan – kecenderungan Menjelang Abad ke-21

Untuk dapat merumuskan paradigma baru perencanaan pendidikan, juga pendidikan Islam, pada Abad ke 21, kita sebaiknya mengenali kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi pada abad itu.

Pertama, kita akan memasuki pasar bebas. Ini berarti akan terjadi suatu interaksi antar negara di dalam investasi, bisnis barang maupun jasa. Masyarakat Indonesia akan membuka diri bagi interaksi dengan bangsa-bangsa lain. Interaksi itu menuntut bangsa Indonesia mampu bersaing. Untuk itu diperlukan peningkatan kemandirian, kerja keras serta etos kerja yang tinggi dan sifat tahan uji bahkan tahan bantingan. Mengharapkan proteksi, dari mana pun, akan sia-sia. Pasar bebas itu tidak hanya akan mempengaruhi aspek ekonomi tetapi juga berpengaruh pada aspek-aspek lain yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung.

Kedua, penerapan otonomi daerah. Pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah menghasilkan antara lain peningkatan kemampuan bangsa Indonesia. Tingkat pendidikan semakin tinggi, rasa percaya diri juga semakin tinggi. Hal itu akan menimbulkan keinginan untuk menuntut otonomi semakin luas. Sementara itu tuntutan otonomi itu tidak akan melemahkan rasa kebangsaan, maupun persatuan, tuntutan itu justru semakin relevan. Akibatnya, pendidikan juga akan semakin beralih dari sentralisasi ke desentralisasi. Dalam bidang pemerintahan, otonomi daerah telah diundangkan. Dalam bidang pendidikan, hal ini ditandai dengan lahirnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Ketiga, kecenderungan masyarakat kita akan semakin menjadi masyarakat madani. Masyarakat madani (civil society) ialan masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab. Inilah masyarakat yang berkembang dari rakyat untuk rakyat sendiri.
Masyarakat madani seperti itu adalah masyarakat yang memiliki disiplin tinggi, masyarakat berdisiplin tinggi juga merupakan ciri masyarakat industri. Masyarakat industri adalah masyarakat serba teratur, masyarakat yang cerdas, yang well informed (hidup dalam masyarakat informasi). Dengan demikian masyarakat madani itu adalah masyarakat yang menguasai sumber-sumber informasi baik politik, hukum, teknologi, seni maupun agama. Masyarakat madani adalah masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya. Karena mengetahui hak dan kewajibannya maka penduduk masyarakat madani itu adalah penduduk yang hidup dalam demokrasi.

Keempat, pada masa datang itu peran swasta akan semakin besar. Ini sehubungan dengan semakin cerdasnya penduduk dan semakin tingginya kesadaran akan tanggung jawab. Semakin tingginya rasa percaya diri pada masyarakat juga akan menyebabkan peran swasta semakin besar. Itu bukan berarti peran pemerintah akan hilang. Pemerintah masih berperan terutama dalam mengarahkan masyarakat besar Indonesia. Ini juga merupakan wujud masyarakat madani.

Kelima, akan terjadi berbagai perubahan dalam masyarakat karena terjadi perubahan dengan cepat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Toffler mengatakan bahwa perubahan itu akan menimbulkan goncangan Nurcholis Madjid menyatakan bahwa perubahan tersebut akan menyebabkan deprivasi relatif, dislokasi, disorientasi dan negativisme.

Deprivasi relatif yaitu perasaan teringkari, tersisihkan atau tertinggalkan dari orang lain dan kalangan tertentu dalam masyarakat akibat tidak dapat mengikuti perubahan dan kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Dislokasi maksudnya ialah perasaan tidak punya tempat dalam tatanan sosial yang sedang berkembang. Dalam wujudnya yang nyata dislokasi itu dapat dilihat pada krisis – krisis yang dialami kaum marginal atau pinggiran di kota-kota besar akibat urbanisasi. Disorientasi ialah perasaan tidak mempunyai pegangan hidup akibat dari apa yang ada selama ini tidak dapat lagi dipertahankan karena terasa tidak cocok dan kehilangan identitas. Sedangkan yang dimaksud dengan negativisme ialah perasaan yang mendorong ke arah pandangan yang serba negatif kepada susunan yang mapan, dengan sikap-sikap tidak percaya, curiga, bermusuhan, melawan dan sebagainya.

Jika gejala-gejala yang disebabkan oleh perubahan mendadak itu tidak diantisipasi dengan baik maka ia akan menjadi lahan subur bagi gejala-gejala radikalisme, fanatisme, sektarisme, fundamentalisme, sekularisme dan lain-lain yang serba negatif.

Karakteristik Abad ke-21
Lima kecenderungan itu telah memberikan cukup banyak pertimbangan kepada kita dalam membuat perencanaan pendidikan kita memasuki abad ke-21. Agar perencanaan pendidikan dapat dilakukan lebih mudah atau lebih operasional dan relevan, berikut ini digambarkan sebagian dari karakteristik abad ke-21. H.A.R. Tilaar melihat empat karakteristik .

Pertama, masyarakat abad ke-21 itu adalah masyarakat tanpa batas (borderless world). Ini berarti komunikasi antar manusia, antar negara, begitu mudah, cepat dan intensif, sehingga batas-batas ruang seolah-olah hilang. Ini diakibatkan juga oleh hilangnya sekat-sekat hubungan antar daerah, antar bangsa, karena adanya perdagangan bebas yang menuntut adanya kerjasama lebih cepat dan lebih intensif. Organisasi perdagangan dunia (WTO - world trade organization) telah diciptakan, tata perdagangan dunia baru telah lahir. Kiranya tidak ada dunia yang dapat menghindari perdagangan global ini.

Kedua, sejalan dengan dunia tanpa batas itu, akan muncul pula masyarakat dengan kegiatan ilmu yang tinggi. Penggunaan ilmu akan melebihi masa sekarang. Karenanya, maka penelitian akan meningkat, kerjasama antar lembaga diduga juga akan meningkat. Hasilnya nanti ialah temuan-temuan baru dalam bidang keilmuan. Temuan baru itu tentu akan menghasilkan ilmu yang semakin berkembang, sejalan dengan itu industri akan tumbuh dan berkembang, demikian juga perdagangan. Dengan sendirinya perdagangan global akan semakin marak, taraf hidup bangsa-bangsa akan meningkat.

Lahirnya dunia baru yang ditopang oleh ilmu dan teknologi yang maju akan lebih menyatukan umat manusia. Zaman global akan semakin menggelobal.

Ketiga, sejalan dengan kesadaran kesatuan dunia tersebut akan timbul kesadaran akan hak dan kewajiban asasi manusia. Warga masyarakat tidak hanya sadar akan hak dan kewajibannya dalam negaranya, hak dan kewajiban itu juga akan mendunia. Jika sekarang masih ada negara yang mengatakan “ ini urusan dalam negeri kami orang luar tidak boleh campur tangan” sedangkan itu menyangkut hak asasi manusia, nanti ucapan seperti itu akan ditertawakan. Itu adalah negara picik yang belum siap memasuki zaman global. Wright or wrong is my country adalah masa lalu, masa sekarang right or wrong is my world.

Keempat, perdagangan bebas dalam negara dunia itu akan melahirkan masyarakat kompetisi bahkan mega kompetisi, kompetisi dalam segala hal dan habis-habisan. Gelombang globalisasi telah melahirkan kesadaran bahwa dunia itu terbuka, dunia itu luas, dunia ini adalah dunia saya. Ini dalam segala aspek kehidupan, baik perdagangan, politik, sosial, budaya, hak asasi, pendidikan, dan juga agama. Menggelobalkan aspek-aspek itulah yang melahirkan kesadaran global, yaitu suatu kesadaran bahwa dirinya telah hidup di suatu zaman yang disebut zaman global.

Kesadaran global itu tidak harus berarti menghilangkan individu manusia sehingga lumat dalam kebersamaannya dan ia hanya partikel-partikel tidak berarti, tetapi justru menuntut adanya sumbangan individu dalam ikut membina masyarakat baru yang lebih baik tetapi global, yaitu masyarakat bersama. Masyarakat baru yang lebih baik itu adalah hasil dari suatu prestasi dan kreativitas manusia dari suatu kompetisi. Itu berarti masyarakat mega kompetisi itu menuntut manusia-manusia terbaik, intelektual, dan moral.

Karakteristik abad ke-21 yang disebut di atas itu masih dapat ditambahi dengan hal-hal berikut :

Kelima, pada masa itu Rasionalisme diperkirakan akan semakin kuat pengaruhnya. Rasionalisme ialah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur kebenaran. Tanda-tanda itu telah tampak sekarang ini. Seringkali kita mendengar anak remaja mengatakan “jika logis oke, bila tidak logis nanti dulu”. Pernyataan ini mungkin saja diucapkan sambil main-main, mungkin juga diucapkan tanpa disadari apa maksudnya, tetapi bukan mustahil hal itu diucapkan dengan sungguh-sungguh. Sekurang-kurangnya ucapan itu dapat dijadikan indikasi kecil bahwa paham Rasionalisme itu telah mulai masuk ke kepribadian remaja itu.

Bila paham itu telah masuk ke kepribadian remaja kita, maka hal itu sungguh tidak akan mengagetkan kita, sebab memang sejak di Sekolah Dasar mereka itu telah dididik berpikir dan bertindak secara rasional. Pendidikan merekalah yang mendidik mereka menjadi seperti itu. Ini akan menjadi tantangan bagi guru agama yang mendapati agama (Islam misalnya) dalam banyak hal tidak dapat dipahami secara rasional oleh orang awam.

Keenam, pada zaman global itu sikap materialistik akan semakin menggejala. Materialisme ialah paham dalam filsafat Metafisika yang mengatakan bahwa yang hakikat di dunia ini hanyalah materi, jiwa atau ruh itu ada. Paham ini menolak adanya Tuhan, kehidupan sesudah mati dan semua yang gaib. Tetapi materialisme yang dimaksud di sini bukan hanya itu. Materialisme, jelasnya Materialistik, yang dimaksud disini ialah sikap seseorang yang senang mengumpulkan materi. Sikap ini akan tertanam dari pengalaman kontak dengan dunia global tadi, juga tertanam karena adanya persaingan yang hebat. Rasionalisme yang disebut di atas tadi akan menyebabkan seseorang semakin menjauh dari agama juga akan menjadi penyebab berkembangnya sikap materialistik.

Sikap rasionalis dan materialis ini terutama akan berhadapan dengan pendidikan agama, tegasnya, ia merupakan tantangan yang khususnya dihadapkan pada pendidikan agama. Padahal kita masa depan kita harus mengetahui lebih dahulu dengan tepat pula hal-hal penting tentang pendidikan kita dewasa ini.

Keadaan Pendidikan Kita Dewasa Ini

Menurut Tilaar, ada tiga hal yang menonjol dalam pendidikan kita sekarang ini. Pertama, sikap yang kaku, kedua, praktek korupsi, dan ketiga, tidak berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Saya dapat menambahkan bahwa sistem pendidikan kita sekarang ini belum mengantisipasi masa depan, selain itu dapat ditambahkan beberapa hal lain.

Pertama, kita melihat sistem pendidikan kita masih kaku. Suatu sistem yang terperangkap dalam kekuasaan otoriter pasti akan kaku sifatnya. Ciri-ciri yang dapat dilihat dengan mudah yaitu sentralisme dan birokrasi yang ketat.

Sesuai dengan asas sentralisme, maka penyelenggaraan pendidikan kita cenderung menuruti garis petunjuk dari atas. Segala sesuatu telah ditetapkan di dalam petunjuk teknis, tidak ada lagi tempat bagi pemikir yang kreatif. Organisasi pendidikan diatur begitu rupa sehingga tidak mungkin muncul terobosan dari organisasi yang dinamis karena segala sesuatunya telah ditentukan dari atas dengan alasan kesatuan persepsi, kesatuan arah, kesatuan wadah, kesatuan tekad, pokoknya keseragaman, semua harus seragam dan itu berarti sama dengan apa yang ditentukan dari atas. Ini tentu saja akan menurunkan kesatuan tujuan, kesatuan sistem,dan sebagainya. Pokoknya semuanya harus sama, seirama, senada. Cobalah lihat bagaimana akibat kebijakan yang mengatur kegiatan mahasiswa di perguruan tinggi, dilarangnya praktik politik praktis di perguruan tinggi, kegiatan dewan mahasiswa yang selanjutnya diubah menjadi senat mahasiswa dengan berbagai pengaturan oleh rektor yang terkenal dengan istilah normalisasi kehidupan kampus (NKK). Ini dilambangkan kekakuan sistem pendidikan.

Akhir-akhir ini muncul sedikit kebebasan. Misalnya adanya kurikulum lokal di perguruan tinggi. Kurikulum lokal memang disediakan untuk dimuati dengan muatan hasil kreativitas perguruan tinggi setempat. Tetapi hal ini baru-baru ini saja terjadi dan cenderung belum memperlihatkan hasil-hasil berarti.

Sistem yang kaku itu mudah sekali dimasuki oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok. Karena itu sistem pendidikan dapat saja dimasuki oleh praktik-praktik sektarisme yang membahayakan bagi kesatuan nasional dan keutuhan bangsa. Menurut Achmad Sanusi, kurikulum seperti ini akan membentuk sikap ketergantungan guru dan murid pada informasi yang telah disediakan tidak ada peluang untuk mempertanyakan, memodifikasi dan menguji nilai-nilai aplikatif, kemungkinan memperoleh nilai tambah sangat kecil.

Kedua, sistem pendidikan nasional kita telah diracuni oleh praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mengapa hal itu mudah masuk ? Karena sistem kita tertutup. Manipulasi dana masyarakat banyak terjadi baik untuk kepentingan organisasi politik atau kelompok ataupun kepentingan pribadi.

Praktek korupsi itu menjadi kanker yang dapat memerosotkan mutu pendidikan, tidak menghasilkan pencerdasan bangsa melainkan memperbodoh bangsa.
Ketiga, sistem pendidikan kita tidak berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Tujuan pendidikan untuk mencerdaskan rakyat telah berganti dengan praktek-praktek yang memberatkan rakyat untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas baik. Rakyat tidak diberdayakan melainkan diperas. Mutu lulusan rendah. Selain tiga hal pokok di atas dapat ditambahkan hal-hal sebagai berikut.

Keempat, sistem pendidikan kita belum mengantisipasi abad ke-21. Memang sering dibicarakan, bahkan oleh Menteri bahwa pendidikan kita harus menyiapkan lulusan yang mampu hidup pada masa depan. Tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian.

Penggantian kurikulum hanyalah bersifat tambal sulam. Watak masa depan memang sering diungkapkan, tetapi tidak diantisipasi secara memadai dalam kurikulum. Memang akhir-akhir ini ada kurikulum lokal, tetapi belum juga ada kurikulum global. Sebenarnya kita lebih memerlukan kurikulum global ketimbang kurikulum lokal.

Masa depan itu penuh tantangan moral, penggoda yang merusak akhlak semakin banyak dan semakin intensif. Tetapi belum ada antisipasi dalam kurikulum untuk menghadapi gejala itu. Sampai akhirnya terjadi krisis nasional yang pada dasarnya disebabkan oleh krisis akhlak.

Krisis akhlak itu berakar pada menurunnya keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi sistem pendidikan kita belum juga mengantisipasi hal itu. Pendidikan kita belum juga menyediakan kurikulum yang dikirakan mampu mempertebal keimanan siswa. Teriakan bahwa akhlak remaja merosot memang sering dilontarkan oleh para pejabat, tetapi antisipasinya di bidang pendidikan belum ada. Pendidikan keimanan semestinya menjadi inti sistem pendidikan, bila tidak maka kemerosotan akhlak akan terjadi lagi dan krisis nasional akan terulang. Akankah kita terperosok dua kali pada batu yang sama?

Pendidikan kita belum mengantisipasi zaman global yang merupakan zaman mega kompetisi. Mampukah lulusan kita berkompetisi secara sehat di abad ke-21? Tidak, karena lulusan kita tidak diprogram mampu menguasai bahasa Inggeris aktif. Bila ada satu dua lulusan yang menguasai bahasa Inggeris aktif, itu adalah berkat usahanya di luar sekolah, dari kursus misalnya, bukan hasil yang diperoleh dari perlakuan kurikulum. Sementara itu peraturan yang kaku itu, yang mengatakan bahwa bahasa pengantar di sekolah harus bahasa Indonesia, masih juga dipertahankan mati-matian. Apakah betul bila bahasa pengantar bahasa Inggeris digunakan di perguruan tinggi -misalnya- akan menghasilkan lulusan yang kurang cinta pada tanah air?

Zaman global yang penuh kompetisi itu memerlukan lulusan yang mandiri. Untuk menghasilkan lulusan seperti itu diperlukan pendidikan kemandirian. Pada tahun sekitar tahun 1997-an, Guru Besar UIN Bandung (dulu IAIN Bandung), Ahmad Tafsir, pernah menelorkan gagasan mengenai perlunya reorintasi terhadap Filsafat pendidikan yang kita anut , yaitu tut wuri handayani. Ia mengemukan beberapa pertanyaan mendasar: mampukah filsafat ini membawa lulusan mampu berkompetisi? Mengapa bukan filsafat pendidikan yang mengkopetisikan siswa? Menurutnya, Tut wuri handayani itu akan menghasilkan lulusan yang selalu menoleh ke belakang, ke pendidik yang nge-tut-kannya. Lulusan itu akan kurang mandiri, kurang harga diri. Bagaimana akan sanggup berkompetisi? Agar pendidikan mampu mengantisipasi zaman global filsafat pendidikan itu harus diganti dengan filsafat pendidikan yang mampu memandirikan lulusan, menanamkan percaya diri, mampu dan berani membuat putusan sendiri, tidak menunggu restu, tidak sering menoleh ke belakang. Gagasan ini pernah menjai polemik di media masa (Koran Pikiran Rakyat) saat itu.

Kelima, biaya pendidikan kita terlalu kecil. Masih untung, karena swadaya masyarakat cukup tinggi. Cukup besar usaha pendidikan yang dilakukan oleh swasta dan pemerintah hanya membantu ala kadarnya.

Keenam, pendidikan kita masih gagal menghasilkan lulusan yang tidak sanggup korupsi. Berikut adalah gambaran posisi Indonesia pada tahun 1997 dalam hal korupsi. Artinya data ini diambil Sepuluh tahun yang lalu. Bagaimana dengan saat ini ? (sekarang Agustus 2007).

Indeks Korupsi beberapa Negara 1997

Ranking Negara Kategori
1
2
3
4
5
6
7
8 Nigeria
Indonesia, Rusia, Argentina, Cina
Filipina, Thailand, Brasil
Korea Selatan, Malaysia
Taiwan
Cili, Jepang
Hongkong, Amerika Serikat
Singapura Sangat Korup
Sangat Korup
Sangat Korup
Sangat Korup
Kurang Korup
Kurang Korup
Kurang Korup
Kurang Korup

Tabel di atas menjelaskan bahwa Indonesia, saat itu, menempati ranking tertinggi kedua setelah Nigeria dalam hal korupsi. Orang-orang yang melakukan korupsi itu adalah lulusan lembaga pendidikan, kesimpulannya lembaga pendidikan kita masih mampu menghasilkan lulusan yang sanggup korupsi. Ini tentu merupakan tantangan yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan pendidikan masa depan.

Ketujuh, daya saing lulusan kita memang belum tinggi. Daya saing yang rendah ini seharusnya dipertimbangkan dalam merencanakan pendidikan yang berwawasan masa depan.

Karakteristik Lulusan yang Diharapkan
Pendidikan untuk masa depan haruslah menghasilkan lulusan yang mampu bersaing secara baik. Untuk itu pendidikan harus menyiapkan manusia yang unggul, yang cirinya sekurang-kurangnya sebagai berikut.
Pertama, haruslah berdedikasi dan berdisiplin tinggi. Manusia unggul haruslah mempunyai rasa pengabdian terhadap tugas dan pekerjaannya. Dia harus sadar arah, harus mempunyai visi jauh ke depan. Ia harus mempunyai visi normatif idealis yang terjabarkan dalam visi strategik yaitu berupa target-target dan terikat di dalam waktu tertentu yang perlu diwujudkan. Orang berdedikasi tinggi itu haruslah berdisiplin tinggi karena ia terfokus pada apa yang ia inginkan untuk diwujudkan.

Kedua, manusia unggul itu harus jujur. Ini sangat penting, bukan saja terhadap orang lain tetapi juga terhadap diri sendiri. Dalam zaman kompetisi itu orang yang tidak jujur akan kalah, karena dalam kompetisi itu ia harus bekerjasama (dalam suatu networking) dengan orang lain, bila ia tidak jujur maka tidak ada orang lain yang bersedia bekerjasama dengan dia.

Kita juga harus jujur terhadap diri sendiri pada zaman itu. Bila kita kurang mampu melaksanakan sesuatu tugas kita harus mengakuinya. Inilah sikap profesionalisme. Masyarakat abad ke-21 adalah masyarakat professional. Kejujuran professional akan menghasilkan produk unggul dan terus menerus sanggup bersaing.

Ketiga, manusia unggul haruslah inovatif ia tidak puas dengan apa yang telah dihasilkannya, tidak puas dengan status quo. Manusia unggul selalu gelisah untuk mendapatkan yang baru. Dengan itu ia selalu menang dalam kompetisi.

Keempat, karena itu manusia unggul itu harus tekun. Ia dapat memfokuskan perhatiannya pada tugas yang sedang dihadapi. Ketekunan akan menghasilkan sesuatu, manusia unggul tidak akan berhenti sebelum menghasilkan sesuatu.

Kelima, sejalan dengan itu manusia unggul haruslah ulet. Artinya, tidak mudah putus asa. Ia terus menerus mencari dan mencari. Dibantu sikap tekun manusia ulet akan sampai pada suatu dedikasi terhadap pekerjaannya dalam mencari yang lebih baik.

Keenam, manusia unggul itu harus juga mampu mengendalikan dirinya. Penelitian menunjukkan bahwa rahasia sukses seseorang ditentukan terutama oleh kecerdasannya (IQ) dan oleh kemampuannya dalam mengendalikan diri (EQ). (Goleman, 1997:Shapiro, 1997). Kecerdasan tidak dapat ditingkat. Adapun kemampuan mengendalikan diri (EQ), dapat ditingkatkan antara lain melalui pendidikan agama. Dari sini kita tahu bahwa pendidikan agama itu amat penting dipertimbangkan dalam merencanakan pendidikan untuk memasuki abad ke-21.

Lebih dari itu, eksis atau lenyapnya suatu negara atau kelompok masyarakat ditentukan terutama oleh akhlak bangsa tersebut terutama akhlak para pemimpin. Krisis yang menimpa negara kita seja Juli 1997 (atau mungkin sampai saat “sekarang”) disebabkan terutama oleh buruknya akhlak sebagian para pemimpn.



Model Sekolah untuk menghadapi Abad ke 21

Pendidikan Barat telah umum kita kenal dan kita pelajari. Pendidikan Barat itu dasarnya ialah filsafat atau paham Rasionalisme. Pendidikan yang berdasarkan Rasionalisme itu menekankan tiga hal pokok dalam tujuannya. Pertama tujuan keilmuan artinya setiap orang memasuki sesuatu sekolah ia harus memperoleh pengetahuan ilmu atau sains. Kedua tujuan keterampilan kerja, artinya, setiap lulusan sekolah harus mampu bekerja atau mampu melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yang pada akhirnya untuk bekerja juga. Ketiga tujuan kesehatan dan kekuatan fisik, artinya setiap lulusan harus mengetahui cara sehat dan cara menjadi orang kuat.

Jadi, sebenarnya kurikulum pendidikan Barat itu terdiri dari tiga materi pokok yaitu materi kegiatan untuk tujuan penguasaan ilmu (sains), materi kegiatan untuk tujuan penguasaan kemampuan kerja, dan materi kegiatan untuk tujuan sehat serta kuat.

Filosofi pendidikan seperti itu tidak persis sama dengan filosofi pendidikan dalam Islam. Dalam Islam tujuan pertama dan utama pendidikan sekolah (juga pendidikan luar sekolah) adalah pembentukan kepribadian muslim. Al-Abrasyi misalnya, menjelaskan bahwa kurikulum sekolah harus mendahulukan pembentukan rohani atau hati. Ini berarti pelajaran ketuhanan atau akidah harus diberikan. (lihat Al-Abrasyi, 1974:173-186). Ini pertama dan utama. Selanjutnya dijelaskan bahwa al-Farabi, sang filosof, telah menempatkan ilmu ketuhanan sebagai pengetahuan tertinggi, pengetahuan lainnya hanyalah penyerta pengetahuan tertinggi tersebut.

Al-Qurthubi menyatakan bahwa ahli-ahli agama Islam membagi pengetahuan menjadi tiga tingkatan yaitu pengetahuan tinggi, pengetahuan menengah, dan pengetahuan rendah. Pengetahuan tinggi ialah ilmu ketuhanan, menengah ialah pengetahuan mengenai dunia seperti kedokteran dan matematika, sedangkan pengetahuan rendah ialah pengetahuan praktis seperti bermacam-macam keterampilan kerja.

Menurut pandangan Islam pendidikan harus mengutamakan pendidikan keimanan. Pendidikan di sekolah juga demikian. Sejarah telah membuktikan bahwa pendidikan yang tidak atau kurang memperhatikan pendidikan keimanan akan menghasilkan lulusan yang kurang baik akhlaknya. Akhlak yang rendah itu akan sangat berbahaya bagi kehidupan bersama, dapat menghancurkan sendiri-sendi kehidupan bersama bahkan dapat menghancurkan negara bahkan dunia. Lulusan sekolah yang kurang kuat imannya akan sangat sulit menghadapi kehidupan pada zaman yang benar-benar global kelak.

Ahmad Tafsir dalam sebuah seminar pendidikan di Bandung, pernah berpendapat bahwa berdasarkan pemikiran yang berperspektif Islam tersebut pendidikan sekolah untuk masa depan haruslah memiliki kurikulum utama yang terdiri atas:
1. Pendidikan agama, agar lulusan beriman kuat, dari iman inilah akan tertanam akhlak mulia, pendidikan keimanan Islam akan memberikan kemampuan kepada lulusan untuk mampu hidup di zaman global yang penuh tantangan dan kompetisi yang ketat, lulusan harus mampu mengatasi tantangan dan menjadi competitors sukses;
2. Pendidikan bahasa Inggeris aktif, agar ia mampu berkomunikasi dan bekerjasama di tingkat dunia pada zaman global itu;
3. Pendidikan keilmuan, agar lulusan mampu meneruskan pendidikannya ke tingkat lebih tinggi, di tingkat perguruan tinggi harus sampai ke tingkat ahli yaitu ia mampu mengembangkan ilmu atau mampu mengerjakan sesuatu keahlian tingkat tinggi;
4. Pendidikan keterampilan kerja sekurang-kurangnya satu macam, agar lulusan dapat mencari kehidupan bila tidak bekerja pada sektor formal sesuai keahliannya.

Berdasarkan itu agaknya perlu dipertimbangkan model-model kurikulum sekolah berikut yang pada dasarnya ditujukan ke dua arah; kemampuan kerja dan keilmuan;

(1) Tujuan untuk kemampuan kerja, model kurikulumnya sebagai berikut :
1. Agama
2. Bahasa Inggeris
3. Salah satu bidang keterampilan
(2) Tujuan untuk keilmuan, model kurikulumnya sebagai berikut :
1. Agama
2. Bahasa Inggeris
3. Bidang ilmu tertentu
(3) Tujuan untuk keilmuan dan kemampuan kerja
1. Agama
2. Bahasa Inggris
3. Bidang ilmu tertentu
4. Salah satu bidang keterampilan

Penutup
Demikian uraian makalah ini saya sampaikan. Banyak kekurangan yang perlu mendapat masukan. Mudah-mudahan pendidikan menjadi kesadaran bangsa ini untuk dikedepankan menjadi bagian penting, strategis dan diutamakan dalam upaya melahirkan generasi yang berkualitas dan berakhlak mulia. Amin.

Billahit Taufiq wal Hidayah.


Ciaul, 2 Agustus 2007



MSN

Harus Bisa !

keinginan yang kuat dan usaha yang maksimal, memungkinkan seseorang mendapatkan apa yang dia inginkan. rasa malaslah yang membunuh potensi manusia untuk maju dan berkembang...